Artikel Terbaru (ke-1.636)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia
Dewandakwahjatim.com, Depok – Beberapa tahun lalu, saat berkunjung ke Pesantren At-Taqwa Depok, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menunjuk sebuah poster berupa nasehat Imam al-Ghazali kepada para pencari ilmu. ”Ini bertentangan dengan semua falsafah pendidikan modern,” ujarnya.
Poster yang ditunjuk Prof. Wan Mohd Nor itu adalah kata-kata Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah: “In kunta taqshidu bithalabil ‘ilmi al-munaafaasaata wa al-mubaahaata wa at-taqadduma ‘alal aqraan wa-istimaalata wujuhinnas wa jam’a khuthami ad-dunya, fa anta saa’in fi hadmi diinika wa ihlaki nafsika wa bai’i aakhiratika bi dunyaaka.”
Jadi, kata Imam Ghazali, jika seorang mencari ilmu ditujukan untuk mencari kehebatan dan keuntungan diri pribadi dan menghimpun harta benda dunia, maka sesungguhnya ia telah menghancurkan agamanya sendiri, merusak dirinya sendiri, dan menjual akhiratnya untuk dunianya.
Inilah sebenarnya problem utama bangsa kita yang harusnya menjadi perhatian utama dan serius dari para calon presiden dan para elite bangsa lainnya. Akar masalah utama bangsa kita adalah penyakit cinta dunia. Inilah akar dari semua kejahatan, pertengkaran, kerusakan lingkungan, dan berbagai kesalahan lainnya.
Dan inilah yang sudah diperingatkan oleh tokoh Islam dan Pahlawan Nasional, Mohammad Natsir: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia. Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak (1989)).
Memang, penyakit cinta dunia (hubbud-dunya) merupakan salah satu sumber kehancuran utama umat Islam. Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.” (HR at-Tirmidzi).
Kini, lihatlah kondisi pendidikan kita! Di tengah-tengah kebangkitan lembaga-lembaga pendidikan Islam, ada satu masalah besar yang masih perlu diatasi dengan serius. Yakni, pendidikan yang mengutamakan kesuksesan duniawi atau berorientasi keberhasilan materi, sehingga mengerdilkan aspek Ilahiyah dan ukhrawiyah.
Banyak universitas berlomba-lomba mendirikan jurusan tertentu yang dianggap sebagai sumber uang. Pada saat yang sama memandang rendah jurusan-jurusan (Program Studi) yang dianggap tidak menghasilkan uang. Mirisnya, jika banyak santri dan wali santri yang terpapar paham materialisme ini, sehingga memandang rendah jurusan yang dianggap tidak prospektif lapangan kerjanya.
Apalagi, jika pendidikan dianggap sebagai investasi duniawi. Pendidikan dianggap sebagai penanaman modal untuk meningkatkan derajat atau kehormatan keluarga. Anak-anaknya dianggap sukses ketika mereka berhasil masuk kuliah di universitas tertentu yang dipandang bergengsi karena banyak lulusannya jadi pejabat atau jadi orang kaya.
Pada saat yang sama, kampus yang mendidik mahasiswanya agar menjadi insan mulia dengan iman, taqwa, dan akhlak mulia, dianggap kampus rendahan dan murahan, karena banyak lulusannya tidak jadi pejabat dan tidak kaya raya.
Cara pandang dan sikap seperti itu merupakan perwujudan dari loss of adab, sebagai dampak dari kekacauan ilmu (confusion of knowledge). Dalam pandangan Islam, dunia ini harus ditaklukkan. Tapi, jangan dicintai. Sebab, dunia ini memang memikat, tetapi kesenangan dunia itu begitu singkat dan menipu (fatamorgana).
Banyak sekali contoh, bahwa harta, tahta, wanita dan popularitas tidak membawa pada bahagia. Bahkan, di dunia ini saja, telah membawa sengsara dan berujung derita tiada tara. Sebaliknya, kehidupan yang bervisi akhirat justru akan membawa pada kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
Karena itulah, kita diperintah untuk mengejar akhirat, dan jangan lupakan dunia. Bahkan, kita diperintah untuk menjadi kuat, agar bisa menjadi khalifatullah fil-ardh, memakmurkan bumi untuk kemaslahatan umat manusia.
Karena itu, jika ingin sukses dalam pendidikan, tetapkan visi sukses akhirat sebagai kriteria utama pendidikan. Didik anak-anak menjadi pejuang kebenaran, pelanjut perjuangan para nabi. Kuasai ilmu-ilmu agama dengan baik sebagai bekal untuk menyelamatkan aqidah, menguatkan semangat ibadah, dan membangkitkan ruhul da’wah Ilallah. Kuasai juga ilmu-ilmu aqliyah dan empiris sebagai bekal membangun kemandirian hidup.
Jika anak aktif dalam mengamalkan dan mengajarkan kebaikan maka si anak akan menjadi sumber amal jariyah bagi orang tuanya. Bahkan, setelah orang tuanya meninggal, aliran pahala itu akan terus berlangsung. Sebab, orang tua memiliki andil besar dalam mendidik anak-anaknya, sehingga menjadi orang baik, orang berguna bagi sesama.
Pendidikan jangan disamakan dengan sekolah dan kuliah formal semata. Itu terlalu sempit. Bahkan, bisa menyesatkan, jika guru dan kurikulumnya salah! Pendidikan itu adalah penanaman nilai-nilai kebaikan dalam diri seorang insan, yang dilakukan dimana saja, kapan saja, dan belajar kepada siapa saja yang patut dijadikan sebagai guru kehidupan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 29 Agustus 2023).
Adm8n: Kominfo DDII, Jatim