BUKAN HAL BARU DAN PATUT DIAPRESIASI,KEBIJAKAN LULUS TANPA SKRIPSI

Artikel Terbaru (ke-1.638)
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Da’wah lslamiyah lndonesia

Dewandakwahjatim.com, Depok – Laman republika.co.id (29/8/2023), menurunkan berita berjudul: “Tak Lagi Wajibkan Skripsi, Nadiem: Kebijakan yang Lama Aneh.” Berita itu terkait dengan kebijakan baru Program Kampus Merdeka yang tidak mewajibkan mahasiswa lulus kuliah dengan menulis skripsi.


Disebutkan, bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengatakan, kebijakan baru yang dia buat adalah suatu bentuk transformasi yang radikal di perguruan tinggi. Salah satunya, Kemendikbudristek memerdekakan perguruan tinggi untuk memilih ada-tidaknya tugas akhir atau skripsi bagi mahasiswa sarjana/sarjana terapan atau S1/D4.


“Ini benar-benar tranformasi yang cukup radikal dan besar. Di mana kami memberikan kepercayaan kembali ke kepala program studi, dekan-dekan, dan kepala departemen untuk menentukan (ada-tidaknya tugas akhir),” ujar Nadiem dalam paparannya pada peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-26 yang disiarkan secara daring, Selasa (29/8/2023).
Nadiem menjelaskan, di peraturan sebelumnya, rumusan kompetensi sikap, pengetahuan umum, dan keterampilan umum dijabarkan secara terpisah dan secara rinci. Selain itu, kata dia, mahasiswa sarjana/sarjana terapan diwajibkan untuk membuat skripsi. Kemudian mahasiswa magister/magister terapan juga diwajibkan untuk menerbitkan makalah di jurnal ilmiah terakreditasi, dan mahasiswa doktor/doktor terapan diwajibkan untuk menerbitkan makalah di jurnal internasional bereputasi.


“Tapi di dunia sekarang, ada berbagai macam cara untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi lulusan kita. Ini mulai aneh kebijakan ini, yang legacy ini. Karena ada berbagai macam program studi yang mungkin cara kita menunjukkan kemampuan kompetensinya itu dengan cara lain. Apalagi vokasi ya. Sudah sangat jelas,” kata Nadiem.


Karena itu, Menteri Nadiem menilai hal tersebut semestinya bukan Kemendikbudristek yang menentukan. Seharusnya, kata Nadiem, setiap kepala program studilah yang punya kemerdekaan untuk menentukan bagaimana caranya mereka mengukur standar kelulusan dan capaian mereka. Lantas, di peraturan baru rumusan-rumusan itu tidak dijabarkan secara rinci lagi. Perguruan tinggi kini dapat merumuskan kompetensi sikap dan keterampilan secara terintegrasi.


“Dan tugas akhir bisa berbentuk macam-macam. Bisa berbentuk prototipe, bisa berbentuk proyek, bisa berbentuk lainnya. Tidak hanya skripsi, thesis, atau desertasi. Bukan berarti tidak bisa tesis atau disertasi, tapi keputusan ini ada di masing-masing perguruan tinggi,” kata dia.


Ketentuan di atas merupakan ketentuan bagi program studi sarjana/sarjana terapan. Sementara untuk mahasiswa magister/magister terapan dan doktor/doktor terapan tetap wajib untuk diberikan tugas akhir. Hanya saja, mereka tak lagi diwajibkan untuk menerbitkan tugas akhir mereka di jurnal sebagaimana peraturan sebelumnya.
“Jadi dampaknya dengan adanya ini, semakin bebas program studi untuk mendorong anaknya melakukan pendidikan di luar kampus, semakin bebas program studi melakukan project base learning, semakin bebas program studi untuk menjadikan project riset menjadi pendidikan atau bagian dari pendidikan kurikulum mereka,” terang Nadiem.


Begitulah kebijakan baru Mendikbud Ristek Nadiem Makarim, melanjutkan proses kebijakan Kampus Merdeka. Sebenarnya, kebijakan ini sudah diterapkan oleh sejumlah Perguruan Tinggi, tetapi masih dalam lingkup terbatas. Saya, misalnya, lulus Sarjana Kedokteran Hewan IPB, tahun 1989, tanpa menulis skripsi. Tetapi, harus menjalani kuliah penuh selama delapan semester. 

Bagi banyak kampus dan program studi (jurusan), kebijakan ini tentunya melegakan. Sebab, itu sudah sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi lapangan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa keguruan yang terbukti mampu mengajar dengan baik dan profesionalitasnya diakui, tentu layak diberi gelar sarjana pendidikan. Ia tidak perlu menulis skripsi. 
Contoh lain, seorang sarjana jurnalistik yang terbukti mampu membuat reportase dan menulis berita secara profesional – dengan bukti-bukti pengakuan lembaga pers atau penyiaran – lebih layak mendapat gelar sarjana jurnalisik, ketimbang sarjana yang mampu menulis skripsi tetapi belum memiliki profesionalitas di bidangnya.

Masih ada contoh lain. Seorang sarjana ilmu hadits yang terbukti memiliki hafalan ribuan hadits dan mampu menulis buku-buku hadits secara ilmiah, tentu sudah layak diberi gelar sarjana hadits. Sarjana seperti ini tidak perlu diwajibkan untuk menulis skripsi. Kualitas ilmu dan karya-karya tulisnya sudah menunjukkan bahwa ia layak menjadi sarjana bidang Ilmu Hadits.
Jadi, kebijakan ini patut diapresiasi, tetapi sekaligus juga perlu kehati-hatian. Kepercayaan besar yang diberikan kepada perguruan tinggi jangan sampai disalahgunakan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Tetapi, pihak-pihak tertentu yang menyalahgunakan kebijakan ini, tentu akan rugi sendiri, sebab cepat atau lambat akan menurunkan kepercayaan masyarakat.

Kebijakan semacam ini memang sudah sepatutnya, mengingat di era disrupsi dan semakin menguatnya peran Kecerdasan Buatan (AI), membuat skripsi bisa dilakukan dengan mudah. Pola pikir mahasiswa dan masyarakat juga harus berubah. Jangan lagi lebih mementingkan gelar akademik formal, ketimbang penguasaan ilmu, adab, dan ketrampilan yang diperlukan.

Walhasil, kita tunggu kebijakan-kebijakan dari Mendikbud yang lebih mendasar dan semakin memberikan kepercayaan kepada Perguruan Tinggi untuk menentukan kebijakan pendidikan. Sebaliknya, pihak Perguruan Tinggi harus meningkatkan kualitas pendidikannya, sehingga kualitas lulusannya pun semakin meningkat dan semakin bermanfaat bagi masyarakat. (Depok, 30 Agustus 2023).

Admin: Kominfo DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *