Artikel ke-1.511
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Dewandakwahjatim.com, Depok – Dalam khutbah Idul Fithri 1444 Hijriah, saya menyerukan pentingnya umat Islam benar-benar menjaga ukhuwah dan persatuan. Khususnya, dalam satu organisasi Islam, lalu antar organisasi, dan kemudian antar sesama muslim dan seluruh bangsa Indonesaia. Sebab, tantangan bersama kita – sebagai umat Islam dan sebagai bangsa Indonesia – sangatlah berat. Ini memerlukan kebersamaan dan persatuan.
Menurut Mohammad Natsir, tantangan eksternal terberat adalah paham sekulerisme. Paham ini menyerbu dan mendominasi seluruh aspek kehidupan kita. Pak Natsir mengajak umat Islam dan bangsa Indonesia tidak memilih jalan sekulerisme dalam membangun bangsa, sebab paham ini tidak akan mengantarkan bangsa kita pada kehidupan yang bahagia.
Paham sekulerisme ini menafikan aspek Ilahiyah dan Ukhrawiyah dalam memahami realitas. Dominasi paham ini di dunia pendidikan dan bidang kehidupan lainnya sangat tampak nyata. Pemujaan yang berlebihan terhadap hal-hal duniawi – tahta, harta, wanita, popularitas, dan sebagainya – telah berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat.
Demi meraih sukses duniawi itu, tak jarang seseorang melakukan hal-hal yang merusak persaudaraan sesama muslim. Demi meraih sukses duniawi, ada yang tega mencelakai saudaranya sesama muslim. Kasihan orang seperti ini, karena ia akan menerima balasan berat di akhirat.
Idul Fithri tahun 1444 Hijriah ini masih diwarnai dengan perbedaan dalam penentuannya. Sebagaian besar umat Islam Indonesia merayakan Idul Fithri selama dua hari, yaitu tanggal 21 dan 22 April 2023. Meskipun saling menghormati, tetapi harapan umat Islam untuk bersatu dalam penentuan Hari Raya, semoga terus bergaung di banyak kalangan masyarakat.
Hanya saja, hingga saat ini, kondisi itu belum bisa dipenuhi. Ironisnya, pasca Idul Fithri, polemik dan perdebatan seputar masalah tersebut terus bergulir. Bahkan, akhirnya “meledak” menjadi kasus hukum, menyusul ancaman pembunuhan yang dicuitkan oleh seorang peneliti BRIN.
Tentu ini menyedihkan. Kita berharap, hal-hal seperti ini tidak terjadi. Semua upaya penyatuan penetapan Hari Raya perlu dilakukan dengan kepala dingin dan tanpa saling mencela. Masalah perbedaan ijtihadiyah perlu disikapi dengan arif-bijaksana. Masalah perbedaan penentuan Hari Raya ini sudah terjadi ratusan tahun di Indonesia.
Banyak ulama berpendapat bahwa yang perlu ditaati dalam hal ini adalah keputusan Ulil Amri – dalam hal ini pemerintah/Kementerian Agama. Nah, merujuk kepada pendapat itu, sepatutnya pemerintah bergerak cepat untuk melakukan berbagai upaya agar penetapan Hari Raya tidak berbeda.
Sebagai pihak yang paling potensial untuk melakukan penyatuan, maka pemerintah perlu memiliki integritas yang tinggi. Pemerintah dituntut berlaku adil terhadap semua masyarakat. Kementerian Agama didirikan utamanya adalah untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Menteri Agama pertama yang memimpin Kemenag adalah Prof. HM Rasjidi, yang juga salah satu pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, tahun 1967.
Tugas Kemenag yang utama ada tiga bidang, yaitu pendidikan, peradilan, dan dakwah Islam. Jabatan Menteri Agama RI sangat penting dan strategis untuk menyatukan dan memajukan umat Islam dan bangsa Indonesia. Siapa pun yang menjadi Menteri Agama sejatinya sedang mengemban amanah yang sangat berat, dunia-akhirat.
Dalam hal upaya penyatuan Hari Raya, Indonesia memang berbeda dengan negara-negara muslim lainnya, seperti Mesir, Malaysia, Arab Saudi, Brunei, Malaysia, dan sebagainya. Rakyat mereka tidak terlibat dalam penentuan Hari Raya. Sebab, hal itu dipandang sebagai wewenang negara.
Akan tetapi berbeda dengan Indonesia. Sejak masa penjajahan, masyarakat Indonesia sudah terbiasa mendengar pengumuman penetapan Hari Raya dan awal Ramadhan dari berbagai organisasi Islam, pondok pesantren, dan sebagainya. Karena itulah, pemerintah perlu menjalin diskusi serius dan dari hati-kehati untuk bisa menyepakati hal-hal yang sepatutnya disepakati.
Penetapan Hari Raya ini adalah masalah ijtihadiyah. Karena itu, umat Islam dipersilakan untuk berbeda. Sejak zaman sahabat Nabi, sudah terjadi perbedaan antara umat Islam di Madinah dengan si Syria. Menurut Ibnu Abbas, terjadinya perbedaan seperti itu, memang diijinkan oleh Rasulullah saw. Inilah yang dijadikan landasan dalam mazhab Syafii.
Berbeda dalam hal penentuan Hari Raya memang dibolehkan. Syaratnya, harus masih dalam batasan ijtihad dan menggunakan metode ijtihad yang masih dalam ruang lingkup keilmuan Islam (ulumuddin). Misalnya, jika pemerintah menetapkan Idul Fithri 1444 H, jatuh pada tanggal 25 Maret 2023, maka hal itu tentu menyalahi keputusan syariat Islam dan harus ditolak. Karena pemerintah memutuskan Idul Fithri 1444 H, jatuh pada 22 April, maka itu masih berada dalam cakupan ijtihad yang sesuai dengan syariat Islam.
Upaya penyatuan Hari Raya di Indonesia, mungkin kita bisa belajar dari keteladanan Mohammad Natsir saat menggulirkan Mosi Integral, 3 April 1950, yang mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan. Sukses Pak Natsir dalam melakukan lobi-lobi intensif, ditunjang oleh sosoknya yang memiliki integritas tinggi. Disamping itu, Pak Natsir punya tiga kemampuan yang tinggi, yaitu ilmu, pidato, dan lobi.
Jadi, selama perbedaan penentuan Hari Raya Islam terjadi dalam lapangan ijtihadiyah, masih sangat mungkin – bahkan harus – untuk diusahakan penyatuannya. Jika dengan umat beragama lain saja kita bisa membangun komitmen bersama sebagai satu bangsa, insyaAllah, kita juga lebih bisa membangun persaudaraan, kebersamaan dan persatuan dengan sesama muslim.
Kata mahfudzhat terkenal: “man jadda wajada!” Siapa yang berjuang dengan sungguh-sungguh, insyaAllah akan berhasil! Aamiin. (Depok, 24 April 2023).
Admin: Sudono Syueb