MENGENANG RIDWAN SAIDI, SOSOK MANUSIA LUAR BIASA

Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)

Ketua Umum Dewan Dakwah

Dewandakwahjatim.com, Depok - Hari Ahad (25/12/2022), di sejumlah group WA beredar kabar bahwa Ridwan Saidi – budayawan senior – meninggal dunia. Inna lillaahi wainna ilaihi raji’un. Tentu saja berita itu terasa menyentak. Sebab, saya berencana bersilaturrahim dengan beliau, dengan membawa sejumlah santri.
Kabarnya, Ridwan Saidi meninggal dunia  di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Bintaro sekitar pukul 08.35 WIB. Ridwan Saidi adalah sosok multitalenta. Ia seorang sejarawan yang hebat, politisi handal, budayawan dan sekaligus seniman hebat berbakat. Wawasan ilmunya ensiklopedik. Mungkin sudah puluhan kali saya sempat berdiskusi dengannya.
SINDOnews.com menulis, bahwa pria kelahiran Jakarta, 2 Juli 1942 ini juga menyukai musik jazz dan seni sastra. Ridwan Saidi menamatkan sekolah di SMAN I Budi Utomo, lalu melanjutkan pendidikan di Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Baru setahun jadi mahasiswa, Ridwan memutuskan keluar, tahun 1962. 

Setahun kemudian, Ridwan kembali menjajaki dunia akademis di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) Universitas Indonesia (UI). Dia menyelesaikan pendidikan di fakultas tersebut pada 1976. Semasa di UI, Ridwan aktif dalam kegiatan keorganisasian.
Dia pernah menjabat Kepala Staf Batalyon Soeprapto Arief Rahman Hakim (1966), Sekjen Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (1973-1975), dan Ketua Umum PB HMI (1974-1976). Dia juga pernah terlibat dalam kegiatan internasional seperti White House Conference on Youth di Colorado, Amerika Serikat (1971); Australia-Indonesia Dialogue di Canberra, Australia (1981); hingga ASEAN Parliament Conference di Singapura (1983).


Dari bekal menjadi aktivis mahasiswa itu, Ridwan pun terjun ke ranah politik. Dia sempat menjadi anggota DPR dari Fraksi PPP mulai 1977-1982 dan 1982-1987, menjadi Wakil Ketua Komisi APBM (1977-1982), Wakil Ketua Komisi X (1982-1987), Ketua Umum Partai Masyumi Baru (1995-2003), sampai menduduki jabatan Ketua Komite Waspada Komunisme.
Ridwan Saidi juga hobi menulis. Sejak 1992, dia sudah aktif menerbitkan banyak buku, antara lain: Golkar Pascapemilu; Anak Betawi Diburu Intel Yahudi; Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya; Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah; serta Fakta dan Data Yahudi di Indonesia.


Saya punya pengalaman pribadi yang cukup menarik tentang buku Ridwan Saidi yang berjudul Dakta dan Data Yahudi di Indonesia. Sekitar tahun 1993, saat masih aktif sebagai wartawan, buku itu pernah saya kutip dalam satu tulisan saya di Harian Republika.
Besoknya, seorang wartawan asing yang bertugas di Jakarta menghubungi saya. Ia mengaku seorang Yahudi. Ia memprotes tulisan saya itu, karena menurutnya ada data yang salah. Saya menjelaskan, bahwa data itu saya sebutkan sumbernya dari buku Ridwan Saidi.


Bagi saya pribadi, Ridwan Saidi adalah sosok manusia luar biasa. Bacaannya sangat kaya. Pengalaman lapangannya pun sangat luas. Ia seorang ilmuwan yang multitalenta dan multidisiplin. Dan yang sangat istimewa adalah gaya bertuturnya yang memukau dan kaya akan humor. Kita bisa berjam-jam berdiskusi dengan beliau tanpa bosan. Acapkali pembicaraan itu diselingi dengan ketawanya yang “ngakak”, sekencang-kencangnya!


Saya bersyukur sempat mengenal dan berjumpa langsung dengan Ridwan Saidi di awal-awal tahun 1990-an. Suatu saat di rumahnya, saya sampaikan bahwa saya sudah mengenal beliau sejak saya masih duduk di bangku SMPN 1 Padangan, Bojonegoro. Ketika itu, saya beberapa kali membaca kolomnya di Majalah Panji Masyarakat. Ia menggunakan nama “Abu Jihan” untuk kolomnya itu.


Sebagai contoh, di Majalah Panji Masyarakat edisi 328 tahun 1981, mantan anggota DPR dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengritik pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).


Begini petikan tulisan Ridwan Saidi: ”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”


Itulah salah satu contoh tulisan Ridwan Saidi yang tajam dan lugas. Pertanyaan “Bagaimana cara gosok gigi menurut Pancasila” adalah sebuah pertanyaan serius, khususnya bagi umat Islam. Sebab, umat Islam memiliki panduan dan contoh hidup yang lengkap dari Rasulullah saw. Sejak bangun tidur, orang muslim sudah ada contoh dari Nabi Muhammad saw: bangun tidur terus berdoa! Mau masuk kamar mandi, ada contoh dari Nabi saw. Mau makan ada contohnya!


Sebagai tokoh HMI, Ridwan Saidi mengenal dengan dekat sosok Prof. Nurcholish Masjid. Ia memanggilnya Mas Nur. Menurut ceritanya kepada saya, Mas Nur itu beberapa kali datang ke rumah Ridwan, bertemu dengan ayah Ridwan.
Saya pernah bertanya secara khusus kepada Ridwan Saidi, bagaimana hubungannya dengan Nurcholish Madjid. Sebab, ketika itu, Ridwan Saidi termasuk yang memberikan kritik keras terhadap gagasan pembaruan dari Nurcholish Madjid. Ridwan memberikan cerita dan analisis seputar hal itu. Ceritanya menarik, meskipun sulit untuk ditulis sebagai data jurnalistik. Biarlah cerita itu tetap menjadi catatan pribadi saya.


Akhirul kalam, selamat jalan Bang Ridwan. Semoga Allah menempatkan Bang Ridwan di tempat yang mulia di sisi-Nya. Aamin. (Depok, 25 Desember 2022).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *