Akidah Menjadi Sumber Adab

Oleh: Muhammad Hidayatullah
Pengurus Dewan Dakwah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
Apa itu akidah?

Akidah berasal dari bahasa arab ‘Aqada ya’qidu ‘aqdan yang berarti mengikat, sehingga akidah adalah sesuatu yang terikat dalam benak seseorang yang dapat mempengaruhi sifat dan prilakunya. Akidah bersifat abstrak sehinga dalam agama ini akidah berarti keyakinan akan wujud Allah dengan pemahaman yang benar yang dapat mempengaruhi sikapnya dalam kehidupannya.

Jadi akidah merupakan wujud pemahaman yang melekat pada setiap orang atau merupakan persepsi seseorang terhadap segala sesuatu, dan persepsi seseorang pada sesuatu itulah yang akan mempengaruhi ia memperlakukan sesuatu itu sesuai persepsinya, pada keadaan saat ini akidah juga disebut dogma atau doktrin.

Akidah Islam adalah Dua Kalimah Syahadah

Akidah islam mengajarkan agar yang terikat dalam setiap benak kita adalah sebagaimana yang dijarakan dalam rukun islam yang pertama, yaitu persaksian bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah ilah yang tiada ilah selain-Nya.

Akidah ini yang menjadi sumber etika atau akhlak atau adab. Dengan akidah yang benar akan melahirkan adab yang baik pula atau akhlak karimah. Jadi adab itu membutuhkan landasan atau pondasi yaitu akidah islamiah. Tanpa landasan akidah yang kuat dan benar adab hanya akan menjadi ilusi dan bahkan yang berbahaya adalah timbulnya sifat kemunafikan dalam dirinya.

Oleh karena itu pemantapan persoalan akidah menjadi hal yang terpenting dalam pendidikan umat ini. Dan itulah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah pada masa dakwah beliau di Makkah selama kurang lebih 13 tahun. Setelah akidah ini tertanam kuat lahirlah sosok-sosok yang dengan keyakinannya itu siap diatur menurut ketentuan-Nya. Sehingga tahap berikutnya ketika syariah ini diturunkan secara bertahap tidak ada lagi kesulitan dalam tataran pelaksanaannya.

Begitulah metode pendidikan Rasulullah kepada generasi muda, sebagaimana tergambar dalam hadits berikut.

عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ, قَالَ: ” كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ, فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ, ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ, فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا ” رواه ابن ماجه , وصححه الألباني في “صحيح سنن ابن ماجه”
Dari Jundub bin Abdullah berkata: “Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan kami adalah relative masih muda lagi kuat, maka beliau mengajarkan kepada kami iman sebelum mengajarkan al Quran, kemudian mengajarkan al Quran maka bertambahlah keimanan kami. (HR. Ibnu Majah)

Materi Akidah lslam

Materi akidah islam terutama adalah mengenal Allah secara benar, dalam hal ini jangan sampai ada salah persepsi terhadap Allah, karena hal itu dapat berakibat fatal karena akan sangat berpengaruh pada sikap dan prilakunya.
Maka tidak salah jika sebagaimana atsar dari Sayyidina Ali Radliyallahu anhu, bahwa beliau menyampaikan pertama kali dalam agama itu adalah makrifatullah atau mengenal Allah. Hal ini menjadi hal yang sangat urgent karena kesalahan persepsi ini menjadikan agama ini tidak jelas wujudnya dalam aspek kehidupan masyarakatnya. Inti persoalannya pada aspek akidah yang tidak dipahami sebagaimana mestinya.
Kalimah syahadah harus dipahami sampai mandarah daging, yang intinya bahwa Allah tidak berharap keburukan pada setiap hamba-Nya. Karena Allah tidak sedikitpun berbuat dhalim kepada hamba-hamba-Nya, tetapi manuslialah yang dhalim kepada dirinya dan sesamanya. Curahan kasih sayang Allah melimpah ruah dan tidak bertepi serta tidak cacat sedikitpun,
Keyakinan ini yang pertama kali harus dipahamkan, sehingga pada tahap selanjutnya, ia akan memahami bahwa semua syariah Allah adalah wujud kasih sayang itu. Hal ini tercermin dari kandungan syahadah berikutnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Rasulullah yang diberikan otoritas penuh untuk mengejawantahkan kehendak Allah bagi hamba-hamba-Nya. Beliau dikawal Allah sedemikian rupa sehingga ketika beliau melakukan “kesalahan” langsung ditegur oleh Allah, sebagai bukti pengawalan itu.
وَٱلنَّجۡمِ إِذَا هَوَىٰ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمۡ وَمَا غَوَىٰ وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ
Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. (an Najm: 1 – 5)
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (al Hijr: 9)

Sehingga nikmat dan rahmat Allah begitu semakin sempurna dengan diturunkan al Quran dan uswah hasanah Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam. Dengan demikian semua bentuk ibadah mahdalh merupakan hidangan yang super lezat dari Allah untuk hamba-hamba-Nya. Jika secara fisik kita membutuhkan asupan yang lezat dan bergizi, maka demikian pula dengan ruhani kita, Allah juga telah menyediakan asupan yang tidak kalah lezat dan bergizinya yaitu berupa dzikir kepada-Nya.
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (ar Ra’d: 28)

Paham Akidah, Paham Hak dan Kewajiban

Sebagai hamba setiap kita memahami hak dan kewajiban masing-masing. Pertama dan utama adalah hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah. Hak Allah harus ditunaikan di dunia ini saja, sedangkan hak hamba dari Allah untuk di dunia dan akhirat.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ – رضي الله عنه – قَالَ: كُنْتُ رِدْفَ رَسُولِ اللّهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى حِمَارٍ يُقَالُ لَهُ عُفَيْرٌ. فَقَالَ: يَا مُعَاذُ! أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللّهِ عَلَى الْعِبَادِ وما حقُّ العبادِ عَلَى الله, قُلْتُ: الله وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوا اللّهِ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً. وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئاً. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللّهِ! أَفَلاَ أُبَشِّرُ النَّاسَ, قَالَ: «لاَ تُبَشِّرْهُمْ. فَيَتَّكِلُوا. رواه البخارى و مسلم

Dari sahabat Mu’adz bin Jabal berkata, aku dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas keledai namanya ‘ufair, maka Rasulullah bertanya: “Wahai Mu’adz! Tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab, Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, Rasulullah bersabda: “Hak Allah yang harus dipenuhi hamba-Nya adalah hendaknnya mereka meyembahN-nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sedangkan hak hamba dari Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksanya bagi siapa yang tidak menyekutukannya. Aku berkata: Apakah boleh aku kabarkan kepada orang lain (hal ini)? Rasulullah bersabda: Jangan kau kabarkan hal ini kepada mereka, karena mereka akan menggantungkan dengan hal ini saja. [HR. Bukhari Muslim)
Jika hak dan kewajiban tidak dilakukan secara seimbang mengakibatkan timbulnya prilaku kekafiran, kefasikan, kemunafikan, kedhaliman, kemusyrikan dan lain sebagainya.

Tegaknya Keadilan, Hak Bagi Semuanya

عَنْ أبى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لَتُؤَدُّنَّ الحُقُوقَ إلى أهْلِها يَومَ القِيامَةِ، حتَّى يُقادَ لِلشّاةِ الجَلْحاءِ، مِنَ الشَّاةِ القَرْناءِ .رَوَاهُ مسلم

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ, “Semua hak itu pasti akan dipenuhi pada hari kiamat kelak, hingga kambing bertanduk pun akan dituntut untuk dibalas oleh kambing yang tidak bertanduk.” (HR. Muslim)

Allah turunkan syariat ini dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap hamba. Itulah sebabnya tiada konsep keadilan kecuali semua itu ada pada syariat Allah. Seberapa kuat dan hebatpun manusia berusaha mengerahkan kemampuannya, bahkan sekalipun mereka bersekutu, bersatu untuk membuat konsepsi yang bernilai keadilan tidak akan berhasil, karena kemampuan mereka terbatas dan cenderung memandang segala seuatu dengan kacamata subyektifitas pribadi yang tinggi.

Allah dalam hadits di atas menjamin akan tersampaikan hak-hak setiap hamba pada Hari Kiamat, karena sebagian besar hak-hak itu tidak tersampaikan secara baik sewaktu di dunia. Allah Maha Adil, keadilan Allah akan ditegakkan di Hari Kiamat, sehingga tidak ada seorangpun yang tidak akan mendapatkan keadilan.

Maka janganlah seorang hamba risau jika hak-haknya belum terpenuhi sewaktu di dunia, karena itu bisa jadi tabungan kebaikan dirinya di akhirat kelak. Di akhirat kelak akan banyak orang-orang yang terkejut-kejut, baik secara positif maupun negative.

Terkejut secara positif adalah ia akan mendapatkan pahala yang besar sekali tanpa ia sadari, hal itu karena sewaktu di dunia ia berbuat kebaikan yang bernilai pahala jariyah kebaikan. Sedangkan mereka yang terkejut secara negative ialah karena ia sewaktu di dunia seolah menjadi orang baik teteapi ternyata banyak di antara orang lain yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil darinya, maka dosa-dosanya semakin menumpuk tanpa ia sadarinya.

Maka berhati-hatilah dalam hidup ini, karena semua yang kita lakukan pasti akan berdampak di akhirat kelak. Pada waktu itu tidak ada lagi hubungan antara guru dan murid, kyai dan santri, bos dan bawahan, direktur dan karyawan dan seterusnya, semua akan di sidang dengan timbangan syariat Allah yang berintikan nilai keadilan bagi semuanya tanpa kecuali.

Semua Modal ltu Dari Allah

Allah Maha Pemberi Anugrah, ada dua dalam hal ini yaitu diberikan anugrah lebih atau pas-pasan. Keduanya merupakan Amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban. Anugrah lebih menjadi ujian yang berat karena jangan sampai menjadikan diri lupa akan asal-muasal anugrah tersebut. Sehingga tidak ada anugrah yang kekurangan bagi seorang hamba, yang ada hanya lebih atau pas. Kalau ada merasa kurang itu hanya persepsi yang salah dari seorang hamba.

Lupa diri menyebabkan seseorang mudah meremehkan orang lain, memandang orang lain dari sudut pandang kualitas duniawinya, jika anugrahnya lebih rendah bahkan jauh darinya maka tidak dianggap bahkan tidak diperhitungkan, akan tetapi jika anuhgrahnya banyak maka ia akan dihargai, dihormati dan diperlakukan secara mulia. Sehingga ia memperlakukan manusia sesuai dengan tingkat kualitas anugrahnya dengan pandangan subyektif yang sempit.

Bahkan semua manusia dihidupkan di dunia ini oleh Allah tanpa modal sedikitpun, semua yang ada padanya adalah berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak sepantasnya manusia menghaki dirinya itu, yang sesungguhnya ia sendiripun tidak kuasa sepenuhnya akan dirinya. Kalau ditelisik lebih dalam, apa yang tidak diberikan oleh Allah kepada manusia, semua yang menjadi kebutuhannya telah disediakan sedemikian rupa.

Manusia Semua Sama, Tidak Ada Yang Lebih

Semua manusia hakekatnya adalah mulia dan harus diperlakukan sama dan tidak boleh diperlakukan berbeda, tidak ada yang lebih antara satu dengan lainnya, walaupun dari sisi keduniawiaan ia seolah sebagai orang yang lebih sukses. Karena hakekat semuanya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah juga sempat “diingatkan” atau “ditegur” oleh Allah terhadap prilaku yang memandang orang lain dengan cara yang berbeda ini.

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰٓ أَن جَآءَهُ ٱلۡأَعۡمَىٰ
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. (Abasa: 1 – 2)

أَمَّا مَنِ ٱسۡتَغۡنَىٰ فَأَنتَ لَهُۥ تَصَدَّىٰ
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. (Abasa: 5 – 6)

Begitulah jika seorang hamba yang tidak paham terhadap akidah islam secara benar, seringkali prilakunya menyimpang dari ketentuan Allah Sang Maha Pimilik Kehidupan ini, dan hal itu tanpa ia sadari, bahkan ia merasa sikap dan sifatnya selama ini adalah baik dan benar, tidak melanggar sedikitpun dengan ketentuan dan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Maka memahami akidah dengan benar merupakan sesuatu yang urgent bagi umat ini, lebih-lebih kepada pemimpin umat agar tidak terjebak merasa hebat dan senantiasa meminta dilayani oleh umat, merasa harus dimuliakan, dihargai, dihormati dan seteruanya, dan sebaliknya akan tersinggung jika tidak diperlakukan sebagaimana yang ia harapkan.

Memahami akidah secara benar akan menjadikan setiap manusia dapat memandang kebenaran yang hakiki dalam kehidupan ini. Akidah inilah sumber etika atau akhlak yang terpenting di dalamnya adalah akan memahami hak dan kewajiban masing-masing sebagai bagian dari makhluk Allah ini. Wallahu a’lam

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *