ANAK-ANAK INDONESIA, JANGAN LUPAKAN BAHASA JAWI

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah

Dewandakwahjatim.com, Kuala Lumpur – Pada hari keempat kunjungan ke Malaysia (Kamis, 17/11/2022), para santri At-Taqwa College Pesantren At-Taqwa Depok berkesempatan menimba ilmu di Akademi Jawi Malaysia. Di Akademi Jawi, selama enam jam, para santri diberikan penjelasan tentang sejarah Bahasa Jawi dan dilatih untuk lebih berkemampuan membaca dan memahami bahasa Jawi.

Tak hanya itu, 21 santri yang ikut dalam rombongan ini, masing-masing mendapat hadiah istimewa berupa dua buku: “Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu” karya Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dan “Tradisi Keilmuan Bahasa Jawi” karya Muhammad Syukri Rosli dan Ahnaf Wafi Alias.

Akademi Jawi Malaysia — didirikan tahun 2016 — memiliki visi menjadi sebuah badan keilmuan utama yang di’itirafi di peringkat kebangsaan, serantau dan antarabangsa. Ada pun misinya ialah: (1). Menjadi pusat budaya ilmu berteraskan peradaban Islam (2). Memperkenal dan menghidupkan semula Bahasa Jawi sebagai sebuah tradisi ke‘ilmuan. (3). Menerajui ekosistem perbukuan bermutu untuk judul-judul ke‘ilmuan.”

Para santri Pesantren at-Taqwa Depok sudah dua kali mengunjungi Akademi Jawi Malaysia.  Lembaga ini dikelola secara profesional. Mereka sangat serius dalam menjalankan programnya. Dalam penerbitan buku, lembaga ini pun menerbitkan buku-buku ilmiah serius. Hingga kini, Akademi Jawi telah menerbitkan 60 judul buku yang berkaitan dengan bahsa Jawi dalam berbagai bidang ilmu. 

Dalam buku “Tradisi Keilmuan Bahasa Jawi”, disebutkan, bahwa Bahasa Jawi didefinisikan sebagai: “Bahasa Melayu yang disuratkan dengan huruf Arab yang dimelayukan, yang bersilsilah daripada tradisi keilmuan Bahasa Islam.”

Bahasa Jawi (Bahasa Melayu dengan huruf Arab) telah mengalami proses Islamisasi dengan menerima masukan kata-kata Arab-Islam, seperti kata: Allah, Rasul, Sahabat, alam, aqal, ilmu, dunia, akhirat. Ada juga Islamisasi melalui proses perubahan dan penetapan makna baru bagi istilah-istilah yang ada, berdasarkan makna al-Quran dan perbendaharaan ilmu Islam. Misalnya, kata-kata berikut: sorga, neraka, dosa, pahala, titian, sembahyang, puasa. Ada juga penggabungan dua istilah, seperti: puasa sunnah, naik haji, dan qadha’ sembahyang.
Cara lain adalah dengan penggabungan dua atau lebih kata-kata tunggal bahasa Melayu yang asal dengan makna baru yang istimewa pada pandangan alam (worldview) Islam; dimana tidak pernah terdapat makna seperti itu sebelumnya, seperti ungkapan: “Tuhan Yang Maha Esa”, dan “Suci lagi Mensucikan.”

Bahasa Jawi ini berkembang selama beratus tahun di Alam Melayu dan pada abad ke-19, muncul dua ulama ahli bahasa Melayu-Jawi terkemuka, yaitu Raja Ali Haji (w. 1873 M) dan Wan Ahmad Muhammad Zayn al-Fatani. Kedua ulama ini telah menerapkan kerangka dan disiplin tradisi keilmuan bahasa Jawi dalam pengesahan, penyuntingan, dan penerbitan kitab-kitab Jawi yang disebarkan ke seluruh Alam Melayu.

Bahasa Melayu -Jawi inilah yang pada 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa Indonesia. Bahasa ini telah menjadi bahasa pengantar di seluruh wilayah Nusantara. Atas jasa besarnya, Raja Ali Haji dianugerahi gelar “Pahlawan Nasional”. Dari sini jelas, bahwa proses penyatuan Nusantara tidak terlepas dari proses Islamisasi dan penyebaran bahasa Melayu ke wilayah Nusantara.
Penjajahlah yang kemudian memecah peradaban Melayu-Nusantara ini dengan memasukkan ke dalam wilayah negara-negara di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sungapura, Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja, dan sebagainya, sesuai dengan kemauan dan kepentingan mereka. Inilah pentingnya anak-anak Indonesia memahami bahasa Jawi dan sejarah perkembangan Islam di wilayah Nusantara.
Menurut buku “Tradisi Keilmuan Bahasa Jawi”, penggunaan istilah “Bahasa Jawi” sudah digunakan oleh para ulama sejak abad ke-16 dan ke-17 M. Misalnya, Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658 M), dalam kitabnya, al-Shirath al-Mustaqim, menulis: “… menterjemah daripada bahasa Arab kepada Bahasa Jawi.”

Syekh Abur Rauf al-Singkili (w. 1693 M), dalam kitabnya, Umdat al-Muhtajim ilaa Suluuk al-Maslak al-Mufridin, menulis: “… kusertakan ia dengan bahasa Jawi pada hal aku memudahkan atas segala faqir yang mengikut pada hal aku minta pahala yang amat besar daripada Tuhan yang memerintahkan pekerjaanku.”
Dua ulama itu tinggal di Aceh. Ulama daerah lain yang juga menggunakan istilah “Bahasa Jawi” adalah Syaikh Arsyad al-Banjari (w. 1812 M) di Kalimantan dan Syaikh Dawud al-Fatani (w. 1847 M) di Thailand. Dalam kitabnya, Durr al-Tsamin, Syaikh Dawud al-Fatani menulis: “… lagi keadaannya menterjemahkan dengan bahasa Jawi supaya difaham akan dia oleh orang yang tiada ketahui Bahasa Arab.”


Jadi, begitulah kegigigan dan kreativitas para ulama kita dalam mendakwahkan Islam di wilayah Nusantara. Mereka tidak mengganti begitu saja bahasa-bahasa yang ada dengan bahasa Arab, tetapi melakukan proses Islamisasi bahasa secara cerdas dan kreatif.
Pemahaman semacam ini sangat penting diketahui oleh generasi muda, khususnya anak-anak Indonesia, Malaysia, dan sebagainya. Jangan lupakan sejarah kegemilangan Islamisasi dan penyatuan Nusantara.
Pakar Sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan yang sejak awal 1970-an, sudah mengungkap bahwa faktor ’Islam dan Bahasa Melayu’ adalah faktor yang paling signifikan dalam proses penyatuan Nusantara. Gagasan itu diungkap al-Attas melalui buku ’klasik’nya, Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, dan sejumlah karya lainnya, seperti buku Historical Fact and Fiction (HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011).

Karena pentingnya sejarah dan kemampuan berbahasa Jawi ini, maka Pesantren At-Taqwa Depok memiliki program khusus dalam pembelajaran Bahasa Jawi. Beberapa kitab dalam huruf Jawi (Arab Melayu) dijadikan sebagai kitab wajib bagi para santri, seperti kitab Risalah Dua Ilmu, Gurindam 12, dan sebagainya. Kami memandang penting penguasaan huruf Jawi ini dalam upaya pembangunan peradaban Islam di Tanah Melayu-Nusantara.

Kini, ribuan karya ulama Nusantara tersimpan dalam bahasa Jawi. Dengan memahami bahasa Jawi, maka terbuka luas akses penguasaan terhadap kitab-kitab klasik para ulama Nusantara tersebut. Dengan itu pula, kita bisa mengambil pelajaran berharga dari kesuksesan proses Islamisasi Nusantara.
Untuk melahirkan generasi yang tidak lupa sejarahnya itulah, maka dalam tiga kali kunjungan ke Malaysia, para santri Pesantren At-Taqwa Depok, tidak melewatkan untuk berkunjung ke Akademi Jawi Malaysia. Wallahu A’lam bish-shawab. (Kuala Lumpur, 17 November 2022).

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *