(Artikel ke-1.280)
Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok – Pada hari Ahad, 28 Agustus 2022, saya menemani tiga anak muda dalam acara “DIALOG PENDIDIKAN KELUARGA”, dengan tema: “KIAT MEMBANGUN BUDAYA ILMU DAN TRADISI MENULIS: Konsep dan Aplikasinya”. Tempatnya di Kota Surabaya.
Dialog itu diikuti oleh sekitar 40 peserta dari berbagai latar belakang dan profesi. Ada dosen, dokter, guru, penulis, pimpinan pesantren, mahasiswa, dan sebagainya. Ketiga anak muda itu ialah: Fatih Madini (19 tahun), Azzam Habibullah (20 tahun) dan Bana Fatahillah Lc (25 tahun).
Dalam pengantar diskusi, saya menyampaikan pentingnya budaya ilmu sebagai prasyarat kebangkitan suatu umat atau bangsa. Konsep budaya ilmu sudah dirumuskan dan disebarkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, yang hari itu juga sempat memberikan sambutan, sebelum kembali ke Malaysia.
Dalam bukunya yang berjudul “Penjelasan Budaya Ilmu” Prof. Wan Mohd Nor memaparkan, bahwa Islam memiliki akar konsep dan budaya yang kuat dalam pengembangan tradisi ilmu. Prof. Hamidullah, misalnya, menunjukkan, bahwa kebanyakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan aspek keilmuan, justru diturunkan di Mekkah.
Berbagai hadits Nabi Muhammad saw menekankan pentingnya kedudukan ilmu dalam Islam. Para sahabat Nabi juga dikenal sebagai orang-orang yang haus akan ilmu. Kata Muadz bin Jabal: “Ilmu adalah pemimpin bagi amal; amal menjadi pengikutnya.” Salah satu sabda Nabi saw yang sangat popular adalah: “Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim.”
Tetapi, Budaya ilmu di dalam Islam memiliki ciri yang khas. Konsep pembagian ilmu menjadi “ilmu fardhu ain” dan “fardhu kifayah”, misalnya, tidak dikenal dalam konsep peradaban lain. Umur manusia yang terbatas tidak memungkinkan manusia mengejar semua ilmu. Maka, perlu dipelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sebab, ujung dari pengejaran ilmu adalah pengenalan Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Dalam konteks inilah bisa dipahami makna ayat Quran: ”Hanyasanya hanya mereka yang berilmu yang takut kepada Allah.”
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, definisi budaya ilmu ialah: “Budaya ilmu antara lain bermaksud kewujudan satu keadaan yang setiap lapisan masyarakat melibatkan diri, baik secara langsung mahupun tidak langsung, dalam kegiatan keilmuan bagi setiap kesempatan. Budaya ilmu juga merujuk kepada kewujudan satu keadaan yang segala tindakan manusia baik di tahap individu, apatah lagi di peringkat masyarakat, diputuskan dan dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan, sama ada melalui pengkajian mahupun syura. Dalam budaya ini, ilmu dianggap sebagai satu keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat di setiap peringkat.”
Menguraikan isi bukunya yang ketiga “Solusi Kekacauan Ilmu”, Fatih Madini menguraikan empat cara membangkitkan budaya ilmu dalam diri para pelajar atau santri.
Pertama,
memahami kemuliaan dan urgensi ilmu beserta tradisinya dalam Islam. Burhanuddin al-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim-nya mengatakan: “Adapun orang-orang berilmu, sekalipun ajal menjemput, mereka akan selalu hidup di tengah umat manusia. Mereka akan terus hidup kekal setelah kematiannya, bahkan setelah tulang-berulang mereka hancur seketika di dalam kubur. Sedangkan mereka yang malas memupuk dirinya dengan ilmu, hanya akan seperti orang yang mati, namun berjalan-jalan di alam dunia. Pada hakikatnya, keberadaan mereka di muka bumi, adalah suatu ketiadaan.”
Kedua, menelaah sejarah kegemilangan ilmu dalam peradaban Islam. Muhammad Asad, dalam bukunya, Islam di Simpang Jalan, mengatakan: “tidak ada agama yang pernah memberikan dorongan semangat bagi kemajuan ilmiah seperti yang diberikan Islam.”
Ketiga, mengikis penyakit “sekolahisme” dan “linierisme”. Bahwa, mencari ilmu itu harus dilakukan dimana saja dan ilmu apa saja, selama ilmu itu bermanfaat bagi umat manusia. Mencari ilmu tidak terbatas di sekolah atau di kampus.
Keempat, mendudukkan aktivisme dan intelektualisme secara adil. Para aktivis yang sibuk dengan berbagai kegiatan dakwah dan pendidikan, perlu diberikan kesempatan untuk melakukan pendalaman atau penambahan ilmu secara berterusan.
Sementara itu, Azzam Habibullah menceritakan bahwa hingga kini, ia telah menulis lima buku. Sejak kecil, di rumahnya, ia sudah akrab dengan keluarganya yang aktif membaca buku. Rumahnya, di Medan, dipenuhi dengan buku-buku. Kemana saja memandang, ia berjumpa dengan buku. Ibunya seorang dosen yang konsultan pendidikan. Ayahnya, seorang sarjana teknik elektro dari Universitas Sumatera Utara.
Uniknya, orang tuanya merestui ketika ia memilih untuk melanjutkan belajar di At-Taqwa College dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir. Sebab, bagi orangtua Azzam, mereka merasa tenang jika anaknya belajar ilmu-ilmu yang baik kepada guru-guru yang baik. Mereka tidak mempersoalkan jika Azzam tidak mengambil kuliah tingkat S-1 di kampus-kampus yang dianggap bergengsi. Azzam pernah menyampaikan satu makalahnya di Amerika Serikat, Turki, dan Austria.
Sementara itu, Bana Fatahillah berkisah tentang banyaknya dosen-dosen Universitas Al-Azhar Kairo yang aktif menulis. Selama kuliah di Universitas Al-Azhar, ia banyak menghadiri majelis ilmu para ulama dan menulis sejumlah artikel yang kemudian diterbitkan dalam satu buku berjudul “Capita Selecta: Bunga Rampai Pendidikan dan Pemikiran Islam dari Teras Al-Azhar”.
Moderator acara diskusi itu adalah Dr. Muhammad Ardiansyah, yang sejak tahun 2013 sudah mendidik Fatih Madini dan kawan-kawannya di pendidikan tingkat SD bernama “PADI” (Pesantren Adab dan Ilmu). Sejak kelas 5 SD, anak-anak itu sudah dibiasakan berinteraksi dengan kitab-kitab para ulama Nusantara, seperti Adabul Insan, dan Risaah Dua Ilmu. Pada tingkat SMP, mereka harus mengkaji puluhan kitab, seperti Adabul Alim wal-Muta’allim, Ta’imul Muta’allim, Bidayatul Hidayah, al-Arabain an-Nawawiyah, dan sebagainya.
Dialog Pendidikan Keluarga di Surabaya itu merupakan rangkaian acara Rihlah Ilmiah yang diselenggarakan oleh Komunitas Pecinta Ilmu (KOPI). Ada seorang guru dari Tulungagung yang bertanya, bagaimana cara menyadarkan orang tua agar berniat ikhlas dalam mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ilmu di sekolah Islam atau pesantren.
Caranya, bisa seperti yang diuraikan dalam buku Solusi Kekacauan Ilmu, bahwa anak dan orang tua akan ikhlas dalam mencari ilmu jika memahami betapa agungnya kedudukan ilmu dan aktivitas mencari ilmu. Niat ikhlas adalah kunci keberhasilan. Karena itu, memerlukan usaha yang sungguh-sungguh (mujahadah) dalam mencari ilmu. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 30 Agustus 2022).