Menghadirkan Allah dan Kesucian Jiwa

Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus Dewan Dakwah Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
Al-Qur’an memandu manusia untuk memiliki kesadaran dan menghadirkan Allah di segala situasi. Adanya kesadaran diri akan kehadiran Sang Pencipta akan menggerakkan jiwa manusia untuk berbuat baik serta mengagungkan-Nya. Sebaliknya, hilangnya kesadaran dan ketidakmampuan menghadirkan Allah di dalam jiwa, bukan hanya melalaikan manusia untuk berbuat baik, tetapi mendorong dirinya untuk berbuat kerusakan. Al-Qur’an memberi sinyal agar manusia mentauhidkan Allah sehingga tercipta amal kebaikan yang kokoh dan istiqamah. Jiwa yang bertauhid tidak sekedar menghasilkan hati selalu mengingat Allah di saat beribadah, tetapi di luar ibadah. Khusyu’ mengingat Allah bukan hanya ketika shalat di masjid, tetapi ingat Allah di luar masjid, ketika bermuamalah dengan manusia. Dengan kata lain, mengingat Allah bukan saat melaksanakan ritual ibadah, tetapi saat berhubungan dengan manusia dan alam semesta.

Menghadirkan Tuhan

Nabi Musa merupakan manusia istimewa yang diajak berbicara langsung dengan Allah. Pengenalan Nabi Musa terhadap Allah sudah melalui beberapa babak. Beliau semakin mengenal dan tahu Allah, ketika Allah memanggilnya dan mengajak berdialog berdua. Allah mengajak dialog kepada Nabi Musa dalam rangka untuk membekali dan menguatkan misi suci, yakni mendakwahkan tauhid kepada Fir’aun.

Allah pun memanggil Nabi Musa dan membekalinya dengan berbagai kalimat yang menguatkan dirinya. Allah mengkisahkan perjalanan Nabi Musa ketika melakukan perjalanan bersama keluarganya. Di tengah perjalanan itu, Allah SWT memperlihatkan kepada Nabi Musa, api yang menyala. Ketika mendekati api itu, Allah memanggilnya dan mengajak berbicara. Hal ini diabadikan sebagaimana firman-Nya :
اِذْ اٰ ا ا ا لَ لِاَ لِهِ امْكُثُوْۤا اِنِّيْۤ اٰنَسْتُ ا ا لَّعَلِّيْۤ اٰتِيْكُمْ ا اَوْ اَجِدُ لَى النَّا
“Ketika dia (Musa) melihat keluarganya melihat api, ” di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit nyala api atau aku akan mendapat petunjuk di api itu.” (QS. Ta-Ha 20:10)

Sebelum mengajak dialog, Allah memberi perintah Nabi Musa untuk melepas sandalnya. Sandal sebagai simbol keduniaan dan kerendahan harus dilepas ketika naik ke suatu tempat yang disucikan. Melepas sandal merupakan adab ketika bertemu dengan Allah, Tuhan yang Maha suci. Hal ini merujuk kepada Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
اِنِّيْۤ اَنَاۡ رَبُّكَ فَا خْلَعْ نَـعْلَيْكَ ۚ اِنَّكَ بِا لْوَا دِ الْمُقَدَّسِ طُوًى 
“Sungguh, Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa.” (QS. Ta-Ha : 12)

Di tempat suci dengan kesucian diri itulah Nabi Musa berdialog dengan Sang Pemberi misi suci. Allah memperkenalkan dirinya kepada Nabi Musa sekaligus perintah untuk menjalankan misi besar, yakni memperingatkan Fir’aun atas kejahatannya. Dalam menjalankan misi besar itu dengan menjalankan shalat. Shalat merupakan cermin sekaligus parameter ketaatan seorang hamba kepada Sang Pencipta alam semesta. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
اِنَّنِيْۤ اَنَا اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّاۤ اَنَاۡ فَا عْبُدْنِيْ  ۙ وَاَ قِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah sholat untuk mengingat Aku.” (QS. Ta-Ha : 14)

Mentauhidkan Allah dengan terus mengingat-Nya dan istiqamah dalam kewajiban shalat merupakan kepatuhan terhadap seorang hamba yang diistimewakan. Betapa banyak manusia yang mengaku bertauhid namun meremehkan shalat. Meremehkan shalat menjauhkan diri dari mengingat Allah. Shalat merupakan salah satu sarana untuk mengingat dan menghadirkan Allah di setiap keadaan. Dengan mengingat dan menghadirkan Allah, bukan hanya memperteguh jiwa manusia, tetapi menjaga diri dari hadirnya tuhan-tuhan semu.

Melenyapkan Tuhan Semu

Para nabi dan rasul selalu mengingatkan manusia untuk mengetahui tauhid dengan mengingat Allah, serta menjauhi Tuhan yang bersifat semu. Tuhan semu hanya akan menjadikan kehinaan di dunia dan hidup tercela di akherat. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
ذٰلِكَ مِمَّاۤ اَوْحٰۤى اِلَيْكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ لَا لْ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ لْقٰى لُوْمًا ا
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Tuhan yang lain (Muhammad). , nanti engkau dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela dan dijauhkan (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Isra’ : 39)

Inilah implikasi manusia yang tak bertauhid mendorongnya untuk berani melakukan pelanggaran dan kemaksian hingga berujung dilemparkan ke dalam neraka. Neraka merupakan tempat yang hina dan tercela. Betapa tidak hina dan tercela, karena manusia yang tak bertauhid akan memproduksi ucapan dan perilaku yang tidak pantas. Salah satu perkataan yang tak pantas, di antaranya, ketika mengatakan bahwa Allah memilih anak perempuan untuk dirinya, dan memilihkan laki-laki untuk mereka. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
اَفَاَ صْفٰٮكُمْ رَبُّكُمْ بِا لْبَـنِيْنَ وَ اتَّخَذَ مِنَ الْمَلٰٓئِكَةِ اِنَا ثًا ۗ اِنَّكُمْ لَتَقُوْلُوْنَ قَوْلًا عَظِيْمًا
“Maka apakah pantas Tuhan memilihkan anak laki-laki untukmu dan Dia mengambil anak perempuan dari malaikat? Sungguh, kamu benar-benar mengucapkan kata yang besar (dosanya).” (QS. Al-Isra’ : 40)

Pernyataan yang diucapkan oleh orang tak bertauhid, ketika menyematkan Allah sebagai pemilik anak perempuan, jelas sebagai pelanggaran dan dosa yang amat besar. Ganjaran yang sangat pantas bagi mereka yang melanggar dan berbuat dosa besar ini adalah kehinaan dan ketercelaan, baik di dunia maupun akherat. Sebaliknya orang yang beriman selalu mengagungkan Allah, dengan amalan ketaatan, sehingga jiwanya senantiasa bersih dan suci.

Surabaya, 9 September 2022

Admin: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *