Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua umum Dewan Dakwah lslamiyah lndonesia
Dewandakwahjatim.com, Surabaya - Secara konstitusional, Indonesia adalah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi umat Islam, itu artinya, Indonesia adalah negara berdasar atas Tauhid. Setidak-tidaknya, ada enam agama yang diakui di Indonesia. Umat Islam mendapatkan hak khusus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan diberikan hadiah Kementerian Agama.
Itu bukan diskriminasi terhadap umat agama lainnya. Tetapi, itu satu bentuk keadilan dan kekhususan. Di negara mana pun, prinsip seperti itu diterima. Di AS dan banyak negara Barat lainnya, mereka enggan mengangkat seorang muslim menjadi menteri. Di AS, umat Islam belum mendapat hak libur Hari Raya sebagaimana kaum Kristen di sana.
Beberapa hari lalu, ada seorang peneliti sebuah Universitas Islam Negeri, bertanya kepada saya. Bagaimana sikap Anda jika tahun 2024 nanti ada calon presiden RI yang non-muslim? Apakah itu bisa diterima?
Saya menjawab: “Coba buatlah survei di Bali, dan tanyakan kepada umat Hindu Bali, apakah mereka bisa menerima jika tahun 2024 nanti gubernur Bali adalah seorang muslim?”
Apakah boleh suatu negara mencampuri urusan agama dan menentukan mana aliran yang benar dan aliran yang salah? Bagi umat Islam, pertanyaan seperti itu adalah aneh. Sebab, setiap muslim, siapa pun dia, pasti memiliki pendangan alam tentang mana benar dan mana salah; mana halal dan mana haram; mana iman dan mana yang kufur; dan sebagainya.
Negara Vatikan, misalnya, juga memutuskan mana tafsir agama yang benar dan mana tafsir yang salah. Vatikan tidak bersikap netral terhadap paham-paham keagamaan. Umat Islam tidak memiliki lembaga kependetaan dan kenegaraan menjadi satu sebagaimana kaum Katolik.
Tetapi, umat Islam memiliki konsep Ijma’. Nabi Muhammad saw menjamin bahwa umat Islam tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan. Umat Islam memiliki banyak kesepakatan akan kebenaran yang tidak mampu diubah oleh siapa pun sampai Kiamat. Misal, umat Islam yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir; bahwa shalat lima waktu adalah wajib; bahwa zina, babi, dan khamr adalah haram; bahwa haji dilaksanakan di Tanah Suci, bukan di Jawa; bahwa berwudhu harus menggunakan air dan bukan menggunakan oli atau sabun cair; dan sebagainya.
Karena itulah, bagi umat Islam memang ada yang disebut ajaran-ajaran pokok dan ada yang cabang (furu’iyyah). Sesuai UUD 1945 pasal 29 (2), negara wajib menjamin warganya untuk melaksanakan agamanya. Maka, negara juga berkewajiban melindungi ajaran-ajaran agama itu dari perusakan, penistaan, atau penodaan.
Dan itulah sebenarnya tujuan terpenting dari UU No.1/PNPS/1965 tentang larangan Penodaan Agama. UU ini asalnya dikeluarkan oleh Bung Karno tahun 1965 dalam bentuk Penetapan Presiden (Penpres). Dengan UU ini pula, berbagai penafsiran subjektif dapat dinilai secara objektif di depan sidang pengadilan. Jika seseorang atau sekelompok orang merasa agamanya dinodai, dia dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan. Di situlah hakim akan menilai, apakah pemahaman sebjektif penggugat itu benar atau tidak secara objektif.
Gagasan negara yang netral agama – dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran – pada hakekatnya juga sebuah ide yang sangat naif. Meskipun secara umum mengaku menghormati sejumlah rumusan HAM, tetapi sebenarnya masing-masing negara tetap memiliki kekhasan berdasarkan sejarah dan konstitusinya dalam meletakkan posisi agama dalam negara. Malaysia, misalnya, meskipun jumlah umat Islam hanya sekitar 55 persen, tetapi menegaskan, bahwa Islam adalah “agama Persekutuan” (agama resmi negara). Berbagai negara lain, seperti India, Pakistan, Arab Saudi, Singapura, pun memiliki kekhasan sendiri.
Karena itu, Dunia Islam, misalnya, jelas-jelas tidak menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai “kitab suci”, dan tidak bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam DUHAM. Pada tahun 1981, beberapa pemikir Islam terkemuka dari negara-negara anggota OKI mengeluarkan Universal Islamic Declaration of Human Rights. Dan pada tahun 1990, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam memunculkan Deklarasi Kairo tahun 1990.
Lihatlah Amerika Serikat! Meskipun sering dianggap sebagai negara contoh dalam “Kebebasan Beragama”, jauh-jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.” Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” Theodore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut “a Christian Nation”: “In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Christianity and the Gospel…” . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 persen penduduk AS mengaku Kristen. Tahun 1997, jumlah Muslim di AS diperkirakan sekitar 3,5 juta jiwa. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004).
AS juga tidak memperlakukan semua agama dengan sama. Melihat perkembangan yang pesat berbagai agama di luar Kristen, sebagian kalangan di AS mulai mengusulkan agar hari libur resmi juga diubah. Hari Raya Kristen diusulkan hanya Natal saja. Sedangkan Paskah dan Thanksgiving diganti dengan libur untuk Hari Raya orang Muslim dan Yahudi.
Hingga kini, usulan semacam ini masih sulit diwujudkan. Pengangkatan menteri orang Muslim juga masih belum terwujud. Bahkan, dalam soal Kebebasan Beragama ini, Indonesia jauh “lebih maju” dibandingkan AS. Menurut Prof. Diana L. Eck, baru pada tahun 1996, Gedung Putih, mengadakan Perayaan Idul Fithri. Tahun yang sama, untuk pertama kalinya, Angkatan Laut AS mengangkat seorang Imam, yaitu Letnan M. Malak Abd al-Muta Ali Noel. Dan baru pada tahun 1998, untuk pertama kalinya, dibuka sebuah Masjid di Angkatan Laut AS di Pangkalan AL Norfolk, Virginia. (Lihat, Diana L. Eck, Amerika Baru Yang Religius, (Terj.), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 15).
Jadi, Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu model yang baik dalam pengelolaan hubungan antar-agama. Keberagaman dan kebebasan beragama perlu ditempatkan secara adil. Kebebasan beragama bukan berarti kebebasan untuk merusak ajaran-ajaran agama. Kebebasan – apa pun juga – pasti ada batasnya, demi kemaslahatan bersama. Wallahu A’lam bish-shawab. (Surabaya, 26 Agustus 2022).