Oleh M. Anwar Djaelani, pengurus Dewan Da’wah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan tiga orang bersaudara. Mereka adalah Ahmad Sahal, Zainuddin Fanani, dan Imam Zarkasyi. Maka, mencermati riwayat dan kiprah mereka sungguh penting mengingat lembaga pendidikan tersebut telah turut berkontribusi bagi kemaslahatan bangsa ini. Adapun kajian ini lebih berkonsentrasi kepada sosok Imam Zarkasyi.
Jejak Kebaikan
Imam Zarkasyi lahir di Desa Gontor Ponorogo pada 21/03/1910. Dia pernah belajar di Pesantren Jamsaren Solo dan di Sekolah Mamba’ul ‘Ulum Solo. Lalu, meneruskan ke Sekolah Arabiyah Adabiyah sampai 1930, juga di Solo. Terutama di Sekolah Arabiyah Adabiyah, dia mendalami bahasa Arab.
Selepas itu, dia ke Sumatera Barat, berguru kepada para lulusan Darul Ulum Mesir di Normal Islam dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Dr. Mahmud Yunus adalah salah satu gurunya.
Pada 1936 Imam Zarkasyi kembali ke Gontor. Sebelumnya, pada 1926, Pondok Gontor didirikan oleh Ahmad Sahal, kakak Imam Zarkasyi. Maka, bersama Zainuddin Fanani–kakaknya yang lain-Imam Zarkasyi membuka program Kulliyatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) di Pondok Gontor. KMI adalah model pendidikan di pesantren yang telah lama mereka–tiga pendiri Pondok Gontor-idam-idamkan, yaitu sebuah sekolah tingkat menengah dengan masa belajar enam tahun.
Para santri di Pondok Gontor tidak hanya dibekali pengetahuan dasar tentang Islam, tapi juga diajari ilmu pengetahuan umum. Ketika pesantren dengan kriteria seperti itu benar-benar mewujud pada 1936 dengan berdirinya KMI, masyarakat menyebutnya sebagai Pondok Modern, nama yang lalu melekat dengan nama aslinya yaitu Darussalam. Boleh jadi, sebutan itu timbul karena Pondok Gontor mengintegasikan model pendidikan ala pesantren dan ala madrasah.
Pondok Gontor berkembang pesat. Alumninya banyak yang menjadi tokoh. Mereka–untuk sekadar menyebut contoh-adalah Idham Cholid (pernah menjadi Ketua Umum PB NU dan Ketua MPR), Hasyim Muzadi (pernah menjadi Ketua Umum PB NU), Din Syamsuddin (pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah), Hidayat Nur Wahid (pernah menjadi Ketua MPR), dan Hamam Ja’far (pendiri Pesantren Pabelan Jawa Tengah).
Pandangan Sang Pendidik
Imam Zarkasyi salah satu pendidik yang berhasil. Pondok Gontor sekarang, dalam usia hampir 100 tahun, tetap dipercaya umat. Lulusannya telah banyak memberi manfaat kepada sesama di berbagai penjuru bahkan hingga ke mancanegara.
Keberhasilan itu tak lepas dari konsep pendiri Pondok Gontor yang dalam hal ini bisa diwakili Imam Zarkasyi. Hal ini, antara lain karena arsip tertulis tentang pandangan Imam Zarkasyi terdokumentasi dengan baik. Salah satunya, berupa buku berjudul “KH Imam Zarkasyi; Dari Gontor Merintis Pesantren Modern”.
Di buku tersebut ada bahasan “Definisi dan Isi Panca Jiwa Pondok Pesantren” (2016: 437-440). Apa itu pondok pesantren? Pondok pesantren adalah “Lembaga Pendidikan Islam dengan sistem asrama, dengan kiai sebagai sentral figurnya, dan masjid sebagai titik pusat kejiwaannya,” kata Imam Zarkasyi (2016: 437).
Apa hakikat Pondok Pesantren? Hakikatnya terletak pada isi dan jiwanya, bukan pada kulitnya. Dalam isi itulah kita temukan jasa pondok pesantren bagi agama, nusa dan bangsa.
Adapun pokok isi dari pondok pesantren adalah pendidikan mental dan karakternya. Di dalam pendidikan pondok pesantren itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan filsafat hidup para santri (adapun pelajaran/pengetahuan yang mereka peroleh selama bertahun-tahun tinggal di Pondok Pesantren merupakan bekal kelengkapan atau alat dalam kehidupan mereka kelak). Alhasil, jiwa pondok pesantren itulah yang menentukan arti hidup serta jasanya (2016: 438).
Tentang Panca Jiwa
Masih di buku yang telah disebut di atas (2016: 438-440), kehidupan dalam pondok pesantren dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa sebagai berikut:
- Jiwa keikhlasan: Sepi ing pamrih (tidak karena didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu), semata-mata karena dan untuk ibadah. Hal ini meliputi segenap suasana kehidupan di pondok pesantren. Kiai ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar, lurah pondok ikhlas dalam membantu (asistensi). Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dalam suasana keikhlasan yang mendalam. Dengan demikian terdapatlah suasana hidup yang harmonis, antara kiai yang disegani dan santri yang taat serta penuh cinta.
- Jiwa kesederhanaan: Kehidupan dalam pondok diliputi suasana kesederhanaan, tetapi agung. Sederhana bukan berarti pasif (bahasa Jawa: nrimo), dan bukan melarat atau miskin. Bukan, tetapi mengandung unsur-unsur kekuatan dan ketabahan hati dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terpancarlah jiwa besar; berani maju terus dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental/karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.
- Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help) atau berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Didikan inilah yang merupakan senjata hidup yang ampuh. Berdikari bukan saja dalam arti bahwa para santri selalu belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri. Tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain. Itulah self bedruiping system (sama-sama memberikan iuran, dan sama-sama dipakai).
- Jiwa ukhuwah diniyah yang demokratis, antara para santri. Kehidupan di pondok pesantren meliputi suasana persaudaraan yang akrab, suasana persatuan dan gotong-royong, sehingga segala kesenangan dirasakan bersama, dengan jalinan perasaan keagamaan, pesantren itu sendiri, tetapi juga dibawa sampai sesudah ke luar, bahkan sampai mempengaruhi pula ke arah persatuan umat dalam masyarakat.
- Jiwa bebas. Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depannya, dalam memilih jalan hidup di dalam masyarakat; dengan berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi kehidupan. Kebebasan itu bahkan sampai kepada bebas dari pengaruh asing/kolonial (di sinilah harus dicari sejarah pondok pesantren yang mengisolir diri dari kehidupan Barat yang dibawa oleh penjajah).
Hanya saja dalam suasana kebebasan ini seringkali kita temui unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggap sendiri telah (pernah) menguntungkan pada zamannya sehingga tidak hendak menoleh keadaan sekitarnya. Akhirnya tidak bebas lagi, karena mengikatkan diri kepada yang diketahui itu saja.
Maka kebebasan ini harus dikembalikan kepada aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis disiplin yang positif, dengan penuh tanggung jawab. Baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, ataupun dalam kehidupan masyarakat.
Jiwa yang menguasai suasana kehidupan pondok pesantren itulah yang dibawa oleh para santri sebagai bekal pokok dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa pondok pesantren inilah yang harus senantiasa dihidup-hidupkan, dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
Relevan, Relevan!
Saat KH Imam Zarkasyi meninggal pada 30/04/1985, sontak sejumlah media besar–seperti Jawa Pos, Kompas, Sinar Harapan, dan Panji Masyarakat-menurunkan berita dan/atau obituari. Sinar Harapan–misalnya-pada 01/05/1985 menulis: “KH Zarkasyi terkenal karena sering memberikan nasihat terhadap problematika-problematika besar yang terjadi di dunia pendidikan, terutama di lingkungan umat Islam”.
Seperti apa contoh nasihat Imam Zarkasyi? Perhatikanlah buku “Ajaran Kiai Gontor; 72 Wejangan Hidup KH Imam Zarkasyi” yang terbit pada 2019, sebagaimana yang dikutip Adian Husaini berikut ini.
“Dalam hidup ini akan selalu ada masalah, ujian dan cobaan. Jangan menghindari masalah jika harus terjadi. Jangan meninggalkan masalah jika harus dihadapi. Selesaikanlah masalah, ujian, dan cobaan itu dengan tenang. Nah, berbesar hati ketika menghadapi masalah dan cobaan hidup, itulah kunci kesuksesan masa depan. Ingatlah bahwa masa depanmu masih cerah. Datangnya masalah justru sebetulnya untuk mendidik kita, melatih kesabaran kita, menuntut kesungguhan kita, dan untuk memperkuat karakter kita,” kata KH Imam Zarkasyi.
Bahkan, KH Imam Zarkasyi menguatkan pernyataannya dengan menghubungkannya kepada ungkapan bijak berikut ini: “Orang lemah dihancurkan oleh masalah, tetapi orang yang kuat dicerahkan oleh masalah” (www.adianhusaini.id 21 Januari 2020).
Sungguh, terasakan bahwa apa yang telah lama disampaikan KH Imam Zarkasyi itu relevan kapanpun. Relevan di masa lalu, relevan pula di masa kini. Bahwa, datangnya masalah justru sebetulnya untuk mendidik kita. []
Admin: Sudono Syueb