Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus Dewan Da’wah Bidang Ghazwul Fikri, Jawa Timur
Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
” Dulu kita adalah kaum yang paling hina, tapi Allah lalu memuliakan kita dengan Islam. dimuliakan Allah terhadap kita, maka Allah akan menghinakan kita.” (Umar bin Khaththab)
Pernyataan Umar bin Khaththab merefleksikan adanya pengagungan yang tinggi terhadap Islam, sehingga membuat masyarakat Quraisy, yang dulunya terhina menjadi mulia. Sebaliknya ketika masyarakat meniti jalan selain jalan yang digariskan Islam, maka akan terhina. Demikian pula kepemimpinan yang tidak mengindahkan atau merendahkan Islam, maka masyarakat itu akan terhina. Apa yang terjadi di negeri ini, dimana umat Islam sebagai kelompok mayoritas selalu merasa terpinggirkan (terhina), di antaranya disebabkan oleh ketidakteguhan para pemimpin dalam memegang nilai-nilai Islam. Mereka yang dipercaya menjadi pemimpin, baik kepemimpinan formal maupun non-formal, namun tidak memperjuangkan nilai-nilai Islam,
Pentingnya Integritas Pemimpin
Peradaban yang kuat dan kokoh diawali dari kepemimpinan yang berintegritas. Dan sebaliknya, peradaban yang lemah karena dominasi pemimpin hilang integritasnya. Kepemimpinan yang demikian, bukan hanya memnbuat tatanan sosial hancur, tetapi memberi ketidakpastian hukum pada masyarakat. Hal ini jelas akan menghancurkan dan menceraiberaikan masyarakat.
Kasus raibnya duit senilai 54 trilyun lepas dan orangnya kabur menggambarkan hancurnya tatanan sistem ekonomi negara. Tatanan sistem ekonomi itu merupakan rusaknya integritas pemimpin. Mereka lemah dalam melakukan kontrol, sehingga uang sebesar itu bisa raib. Demikian pula terbunuhnya seorang anggota polisi secara sadis oleh sekelompok orang, namun untuk mengungkapkan secara transparan dan terbuka sulit untuk diungkap. Sulitnya mengungkap kasus ini karena hilangnya integritas pemimpin. Penyelesaikan dari dua kasus di atas membuat masyarakat rendah harapannya pada negara, dan ini merupakan fenomena hilangnya trust pada pemimpin.
Realitas ini hampir mirip ketika masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam. Para pemimpin menggunakan kepemimpinannya untuk kepentingan kelompok. Mereka menciptakan kecintaan pada suku. Kecintaan pada suku membuat masing-masing kelomok membela sukunya. Perang antar suku dimanfaatkan oleh elite pemimpin untuk mempertahankan kepemimpinannya. Mereka mempertahankan tradisi perbudakan, dimana seorang budak membela tuannya. Elite pemimpin mempergunakan perbudakan untuk menopang kelanggengan dan keberlanjutan kepentingannya. Adanya disparitas kaya miskin menjadi pemandangan biasa.
Kedatangan Islam berhasil membangun kesadaran kolektif. Penghambaan diri tidak lagi kepada pemimpin tetapi kepada Sang Pecipta. Tumbuhnya kesadaran kolektif ini umumnya disambut oleh mereka yang mengalami penindasan, yakni para budak. Bilal bin Robah merupakan representasi budak, dimana sangat gembira karena ada kesetaraan di antara manusia. Abu Bakar merupakan sosok terdidik=berintegritas juga mendukung apa yang didakwahkan Nabi Muhammad. Abu Bakar Ashshiddiq berhasil menggerakkan orang-orang berintegritas lainnya untuk bergabung. Dua kekuatan inilah yang menopang dakwah Islam.
Dakwah Islam lebih bersinar lagi dengan keislaman Umar bin Khaththab. Dia sebelumnya masuk dalam deretan orang yang memusuhi Islam. Ketika hatinya berbalik masuk ke dalam Islam, maka dia all out mendedikasikan diri dan mengintegrasi kemuliaan dirinya bersama Islam.
Kumpulan orang yang berintegritas itu bersatu padu, menyamakan langkah, dan bergerak untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban tinggi. Firman Allah berikut bisa menggambarkan bagaimana tingginya budaya dan kualitas bangsa Arab, setelah datangnya cahaya Islam. mereka benar-benar dimuliakan Allah dengan Islam ini. Hal itu diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :
وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَاۤ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗ مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِ يْمَا نُ وَلٰـكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَآءُ مِنْ عِبَا دِنَا ۗ وَاِ نَّكَ لَتَهْدِيْۤ اِلٰى صِرَا طٍ مُّسْتَقِيْمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus,” (QS. Asy-Syura 42: Ayat 52)
Tak butuh waktu lama, Islam menjadi sinar dunia dan menjadi komunitas yang mulia. Daam konteks ini, benar apa yang dikatakan Umar bin Khaththab bahwa umat yang memuliakan Islam akan berperadaban tinggi, sebaliknya Ketika mencampakkan Islam akan bangsa yang terhina. Islam menghargai nyawa, sehingga pembunuh harus mendapat hukum bunuh. Demikian orang yang melakukan pencurian akan mendapat hukuman potong tangan. Intinya, siapapun yang melakukan kejahatan akan mendapatkan hukuman setimpal.
Bagaimana mungkin menjadi bangsa yang mulia, ketika para pemimpin mengeksploitasi rakyatnya dan berani melanggar nilai-nilai Islam. Pihak keamanan menjadi ancaman warganya, hingga lupa tugasnya untuk melindungi dan mengayomi rakyatnya. Sementara hukum rimba berlaku dimana para mafia dan preman menjadi penyelesai persoalan. Kondisi ini membuat rakyat tak berdaya, dan hilang harapan untuk mendapatkan keadilan. Berkeinginan menjadi masyarakat mulia tapi pemimpinnya hilang marwahnya karena berani melanggar nilai-nilai keadilan, dan menggadaikan integritas kepemimpinannya.
Surabaya, 15 Agustus 2022