Sulitnya Menghapus Mental Budak Bani lsrail

Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus Dewan Dakwah Bidang Pemikiran dan Ghazwul Fikri, Jawa Timur

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Al-Qur’an menarasikan Bani Israil sebagai bangsa yang rendah diri (inlander). Hidup dalam keadaan merdeka justru merasa menderita. Mereka memprotes makanan yang dari langit, dan menginginkan makanan seperti ketika diperbudak Fir’aun. Fir’aun benar-benar berhasil telah membentuk watak Bani Israel sebagai bangsa bermental budak. Hidup berabad-abad dalam keadaan tertindas dan hina di era kepemimpinan Fir’aun, membuat Bani Israel merasa nyaman dengan makanan era Fir’aun. Nabi Musa berjuang mereka dari cengkeraman Fir’aun. Allah memberi dua nikmat sekaligus, yakni mengenggelamkan Fir’an ke sungai Nihil, dan menurunkan makanan istimewa. Alih—alih berterima kasih, Bani Israil justru memprotes dan ingin memakan saat diperbudak Fir’aun. Memori sebagai bangsa budak sulit terhapus. Candern tidak, ketika diberikan makanan dari langit, mereka memprotes Nabi Musa agar didatangkan makanan sebagai saat diperbudak dulu. Mereka bosan dengan makanan yang monoton seperti “Manna” dan “Salwa”. Mereka tidak memandang kemerdekaan sebagai rahmat besar dengan mensyukuri nikmat besar dari Allah. Perbudakan benar-benar telah mendarah daging, sehingga sulit mengeluarkan mental inlander.

Bani Israil dan Warisan Perbudakan

Fir’aun merupakan raja paling sempurna dalam kebengisannya. Demikian bengisnya membuat rakyatnya ketakutan dan tidak berani melawan atau menentang perintahnya. Fir’aun dikenal pembunuh yang sadis. Kalau membunuh seseorang yang membangkang, dia ikat masing-masing tangan kakinya dan kemudian ditarik ke arah yang berbeda. Otomatis tangan dan kakinya terlepas. Dia juga membunuh laki-laki. Fir’aun membunuh Masyithah yang bertauhid, dan tak mengakui Fir’aun sebagai Tuhan. Fir’aun pun marah dan memasukkan Masyithah dalam minyak yang mendidih bersama anak-anaknya.

Bani Israil pun sangat takut dan senantiasa tunduk pada perintah Fir’aun. Tak pernah sekalipun berani membangkang. Hal ini membentuk karakter yang terbiasakan dengan tradisi, sehingga seolah-olah nyaman dengan keadaan ini. . Kebengisan dan kekekejaman total Fir’aun inilah yang mencetak mental inlander (rendah diri) bani Israil yang hidup dalam keadaan tertindas. Pola dan gaya hidup Fir’aun telah mempengaruhi dan membentuk pola pikir, termasuk pola makan.

Oleh karena itu, ketika terlepas dari cengkeraman Fir’aun, Bani Israil masih menyisakan pola dan gaya hidup yang telah tertanam lama. Dalam suasana hidup ketika di bawah kepemimpinan Nabi Musa, Bani Israel tidak dapat beradaptasi dengan makanan dari langit berupa Manna (makanan manis seperti madu) dan Salwa (sejenis burung). Mereka meminta Nabi Musa untuk dimintakan makanan yang berasal dari bumi seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.


Hal ini diabadikan Al-Qur’an tentang permintaan Bani Israil pada Nabi Musa di saat hidup bebas, dan meminta makanan yang dihasilkan dari bumi. Alih-alih nyaman dengan kemerdekaan, mereka justru memprotes pola hidup dengan makanan yang enak dipandang. Hal itu digambarkan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah.” Dia (Musa) menjawab , “Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” Kemudian, mereka ditimpa kenistaan ​​dan kemiskinan dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah : 61)

Karakter Protes

Protes Bani Israil atas makanannya satu jenis kamanan itu membuat Nabi Musa marah karena dianggap tidak bersyukur dengan makanan pemberian Allah. Pemberian makanan yang sangat mudah dan nikmat rasanya tidak membuatnya bersyukur. Maka pantas apabila Nabi Musa marah dan memerintahkan mereka kembali ke kota untuk menikmati perbudakan kembali bersama tradisi komunitas Fir’aun.

Allah menganggap Bani Israil sebagai kaum pembangkang, sehingga Allah menistakan hidup mereka, dengan kemiskinan dan kekurangan. Ini merupakan bentuk kemurkaan Allah pada Bani Israil yang suka protes. Hal itu terjadi karena mereka mengingkari dan menentang ayat-ayat Allah dan senantiasa melawan perintah nabi yang diutus kepadanya.

Potret Bani Israil yang merasa nyaman dengan tradisi perbudakan, bisa disetarakan dengan sebagian anggota masyarakat kita. Para pemuda terbiasa dengan hidup di kota yang penuh dengan berbagai gemerlap hidup menyimpang, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengolah sawah dan ladangnya. Mereka tidak mau bersusah payah dengan kebebasan yang melekat. Mereka justru melepas kemerdekaan mengeolah sawah-ladang dengan membeli sayur dan aneka buah di pasar swalayan, atau super market. Mereka rela mengeluarkan uang untuk membeli sayuran dan buah-buahan, yang bisa mereka hasilkan bila mau mengolah sawah dan ladangnya.

Surabaya, 7 Agustus 2022

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *