Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwaj
Dewandakwahjatim.com, Depok - Salah satu makna penting dari rangkaian ibadah Hari Raya Idul Adha adalah penanaman jiwa pengorbanan. “Berkorban” sudah menjadi tradisi sejak hadirnya generasi pertama manusia di bumi. Tragedi pembunuhan Habil berawal dari soal pengorbanan. Tak akan ada kesuksesan tanpa pengorbanan.
Dalam suratnya yang terkenal, Limaadza Taakkharal Muslimun wa-Limaadza Taqaddama Ghairuhum, Syekh Amir Syakib Arsalan mengungkap sejumlah perbandingan, mengapa kaum Muslimin bisa dikalahkan oleh bangsa-bangsa Barat di berbagai lini kehidupan. Salah satu sikap yang menonjol adalah rendahnya sikap rela berkorban kaum Muslim dalam perjuangan.
Sebagai contoh, ia mengungkapkan kesetiaan bangsa Inggris terhadap barang-barang produksinya dan toko-tokonya sendiri, walaupun harganya lebih mahal. “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli barang-barang yang diperlukan, terutama barang-barang yang berharga, melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negara mereka sendiri…” tulis Syekh Arsalan.
Lebih jauh tentang sebab-sebab kemunduran umat Islam di awal abad ke-20, diuraikan dengan sangat tajam oleh Amir Syakib Arsalan dalam risalah yang ditulisnya menjawab pertanyaan Syekh Muhammad Basyuni Imran, Imam Kerajaan Sambas, dengan perantaraan Muhammad Rasyid Ridha. Moenawwar Chalil menerjemahkan buku ini tahun 1954 dengan judul Mengapa Kaum Muslim Mundur. (Jakarta: Bulan Bintang, 1954).
Tentu saja, menyambut Idul Adha 1443 Hijriah, kita patut merenungkan secara mendalam, keteladanan pengorbanan yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim as. dan keluarganya. Pada tahap pertama, demi memperjuangkan tegaknya kalimah Tauhid, Nabi Ibrahim a.s. harus mengorbankan hubungan kekeluargaan dengan ayahnya sendiri. Sangatlah berat tugasnya, harus menyampaikan ungkapan yang benar kepada ayahnya sendiri:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan-tuhan. Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata!” (QS al-An’am: 75).
Menyampaikan ucapan dan sikap yang berseberangan dengan keluarga dan masyarakat, adalah pengorbanan yang sangat berat. Ibrahim paham benar akan akibatnya. Bahkan, ia berani melukan tindakan yang sangat berbahaya, yaitu menghancurkan patutng-patung sesembahan penguasa dan masyarakatnya.
Demi perjuangan menegakkan kebenaran, Ibrahim rela mengorbankan kenyamanan hidupnya. Bahkan, akhirnya, ia pun harus menjalani hukuman terberat bagi seorang manusia, yaitu hukuman mati dengan cara dibakar. Tetapi, Allah menyelamatkannya.
Pengorbanannya tidak berhenti sampai di situ. Ketika mendapat keturunan, Ibrahim a.s. taat dan patut pada perintah Allah untuk berpisah dan meninggalkan Hajar dan Ismail di padang pasir. Bertahun-tahun tak berjumpa dengan Ismail, ketika bertemu pun, Ibrahim diminta mengorbankan anaknya. Hebatnya lagi, Ismail pun dengan ikhlas menyerahkan diri untuk disembelih. Mengorbankan manusia memang biasa terjadi dalam tradisi pagan.
Kisah Ibrahim-Ismail dalam soal “qurban” ini juga merupakan satu bentuk Islamisasi konsep “qurban”. Masih ada pada sebagain kalangan masyarakat Indonesia sebelum kedatangan Islam, yang melaksanakan praktik “korban manusia”. Ada juga yang berkorban dalam bentuk sesajian yang dibuang. Konsep korban dalam Islam adalah konsep berbagi dan bertujuan untuk menyejahterakan manusia.
Hilangnya semangat berkorban – jiwa, raga, harta, dan sebagainya – di tengah umat, biasanya bersamaan dengan munculnya sikap cinta dunia (hubbud-dunya). Sikap cinta dunia ini muncul karena ilmu yang salah; salah dalam melihat dunia sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang kehidupan akhirat.
Kapan saja sikap ini muncul, maka umat Islam tidak akan pernah mengenyam kejayaan. Rasulullah saw sudah mengingatkan, umat Islam akan menjadi sampah (buih), ketika sudah terjangkit penyakit “al-wahnu” (hubbud-dunya dan takut mati) dalam diri mereka. Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah saw juga menyebutkan, jika umat Islam sudah mengagungkan dunia, maka dicabutlah kehebatan Islam.
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, sampai mengingatkan umat Islam Indonesia. Jika cinta dunia yang berlebihan terus dibiarkan merajalela, maka umat Islam bisa mengalami nasib seperti muslim di Spanyol. (Lihat buku Percakapan Antar Generasi: Pesan Perjuangan Seorang Bapak, (Jakarta-Yogya: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan Laboratorium Dakwah, 1989).
Semoga kita bisa mengambil hikmah Idul Adha dan meneladani semangat berkorban yang dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s. dan keluarganya. Aamiin. (Depok, 10 Juli 2022).
Editot: Sudono Syueb