Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok – “Kerusakan ilmu” (corruption of knowledge) adalah akar dari semua krisis yang melanda umat Islam. Belajar ilmu yang rusak tidak akan menjadikan seseorang meraih ilmu yang manfaat (ilmu nafi’). Akibatnya, manusia pun gagal menjadi manusia yang baik (good man).
Masalah ini harus menjadi prioritas perjuangan umat Islam Indonesia. Caranya adalah dengan melaksanakan program Islamisasi lmu-ilmu kontemporer melalui proses bernama ta’dib (pendidikan).
Karena itu, kunci kesuksesan dakwah adalah kesuksesan pendidikannya. Dan kunci sukses pendidikan terletak pada ketepatan dalam perumusan konsep ilmu yang benar. Di dalam Majalah Islamia edisi ke-5, 2005, yang membahas tentang “Epistemologi Islam”, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, menguraikan bahaya kekeliruan dan kejahilan dalam ilmu.
Menurut konsepsi Islam tentang kejahilan seperti diuraikan Ibn Manzur dalam karyanya, Lisan Al-’Arab, bahwa kejahilan itu terdiri daripada dua jenis. Pertama, kejahilan yang ringan, yaitu kurangnya ilmu tentang apa yang seharusnya diketahui; dan kedua, kejahilan yang berat, yaitu keyakinan salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realita, meyakini sesuatu yang berbeda dengan sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan yang seharusnya.
Jelaslah bahwa kejahilan dalam kedua konteks di atas adalah penyebab utama terjadinya kesalahan, kekurangan, atau kejahatan manusia. Kejahilan yang ringan dapat dengan mudah diobati dengan pengajaran biasa ataupun pendidikan, tetapi kejahilan yang berat, sebagaimana, merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan akhlak individu dan masyarakat. Sebab, kejahilan jenis ini bersumber dari diri rohani yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran.
Demikian kutipan ringkas pendapat Prof. Wan Mohd Nor. Kita bisa memahami, kerusakan ilmu atau kejahilan jenis kedua justru terjadi di kalangan para cendekiawan/ulama. Sebagian mereka sudah dianggap memiliki otoritas keilmuan. Tetapi, ilmunya salah! Kemunkaran ilmu akan semakin besar dampaknya jika dipaksakan dalam sistem pendidikan. Para pelajar dan santri atau mahasiswa dipaksa untuk mempelajari ilmu-ilmu yang menolak sumber ilmu dari al-Quran. Ini adalah contoh kemunkaran yang besar.
Allah SWT berfirman, yang artinya: “Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS al-Maidah: 78-79).
Jadi, satu kewajiban penting yang diamanahkan oleh Rasulullah saw kepada kaum Muslim adalah “al amru bil ma’ruf dan al-nahyu ‘anil munkar” (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran). Secara umum, kaum Muslim wajib mendukung tegaknya kebaikan dan melawan kemunkaran.
Tugas ini wajib dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Sebab, Rasulullah saw sudah mengingatkan, agar siapa pun yang melihat kemunkaran, maka ia harus mengubah dengan tangan, dengan lisan, atau dengan hati, sesuai kapasitasnya. Namun, secara kolektif, umat juga diwajibkan melakukan aktivitas ini secara jama’iy. Sebab, ada hal-hal yang tidak dapat dilaksanakan secara individual (fardiy).
Kemunkaran terbesar dalam pandangan Islam adalah kemunkaran ilmu. Khususnya, ilmu-ilmu yang munkar yang merusak aqidah dan akhlak. Kemunkaran jenis ini jauh lebih dahsyat daya rusaknya dari pada kemunkaran di bidang amal.
Dosa orang yang mengingkari kewajiban shalat lima waktu, lebih besar daripada dosa orang yang meninggalkan shalat karena malas, tetapi masih meyakini kewajiban salat. Berzina adalah perbuatan dosa besar. Tapi, kufurlah orang yang berkampanye, bahwa berzina adalah halal, asalkan dilakukan saling suka.
Jadi, kerusakan ilmu yang merusak pemikiran dan keimanan merupakan kemunkaran terbesar. Sebab, jika ilmu salah, maka akan muncul ulama, ilmuwan, atau guru yang salah. Jika ulama salah, maka umara (penguasa) dan umat pun akan salah pula. Kemunkaran ilmu adalah sumber kesalahan asasi dalam Islam. Ilmu yang salah akan menutup jalan kebenaran.
Akibatnya, orang yang bathil tidak menemukan jalan untuk bertaubat, sebab dia merasa apa yang dilakukannya adalah baik. Allah SWT berfirman, yang artinya: “Katakanlah, akankah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sesat amal perbuatannya di dunia ini, tetapi mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi:103-104).
Jadi, dalam perjuangan dakwah Islam di Indonesia, kita perlu merumuskan daftar kemunkaran yang perlu ditanggulangi. Jangan sampai ada anggapan, bahwa berjuang untuk menjadi anggota DPR RI dipandang lebih mulia dibandingkan dengan perjuangan dai pedalaman yang mengajarkan Islam kepada para muallaf di pedalaman.
Bahkan, berjuang di lapangan politik pun perlu ilmu yang benar. Jangan sampai politisi muslim memahami, bahwa tujuan utama berpolitik adalah meraih kursi kekuasaan untuk kebanggaan diri. Setelah berkuasa, ia pun tidak paham, bagaimana membuat kebijakan yang benar dan adil, sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
Prioritas kebijakan penguasa sepatutnya adalah pembangunan jiwa manusia. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Bangunlah jiwa manusia Indonesia agar kita semua memiliki jiwa yang bersih, jiwa yang sehat. Yakni, jiwa yang bebas dari berbagai penyakit jiwa, seperti penyakit malas, sombong, dengki, pembohong, dan sejenisnya.
Penyakit jiwa yang paling merusak adalah penyakit cinta dunia. Cinta dunia adalah sumber segala kerusakan. Inilah sejumlah kemunkaran yang utama, yang patut diprioritaskan untuk ditanggulangi secara adil.
Karena itu, di antara para pejuang dakwah, perlu saling memahami dan melaksanakan sinergi dakwah dalam berbagai bidang kehidupan. Jangan saling mencela atau merendahkan. Sebaliknya, wajib saling bekerjasama dan bersinergi dalam perjuangan, agar Allah cinta kepada kita semua. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi laksana satu bangunan yang kokoh.” (QS ash-Shaf: 4). (Depok, 7 Juli 2022).
Editor: Sudono Syueb