Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim.com, Depok – Dari berbagai program studi (prodi) di Perguruan Tinggi, tampaknya prodi keguruan belum menjadi pilihan utama para pelajar lulusan SMA. Data peminat SBMPTN tahun 2022 menunjukkan, Prodi Kedokteran adalah yang paling banyak diserbu para calon mahasiswa. Padahal, guru menjadi faktor terpenting dalam kesuksesan dan kemajuan pendidikan.
Mohammad Natsir terkenal dengan ungkapannya: “Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sekelompok guru yang ikhlas berbuat untuk bangsanya.” Natsir kemudian menjadi contoh yang hebat. Lulus SMA, ia memilih terjun langsung menjadi guru.
Para misionaris Katolik di Tanah Jawa, sejak dulu, sadar benar akan nilai strategis pendidikan guru, sehingga mereka menggarap bidang ini dengan sangat serius. Ini bisa disimak dalam buku berjudul: “Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia” oleh Fl. Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009).
Buku “Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai Sekarang” karya Dr. Th. Van den End dan Dr. J. Weitjens SJ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), menyebutkan, bahwa posisi Sekolah Guru (kweekschool) Katolik asuhan Pastor Frans van Lith di masa kolonial diuntungkan oleh kebijakan pemerintah penjajah Belanda, khususnya di bawah Gubernur Jenderal AF van Idenburg (1909-1916) yang sangat berpihak kepada misi Kristen di Hindia Belanda (Indonesia).
Lulusan sekolah ini diberi hak yang sama dengan sekolah milik pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat pada umumnya, saat itu merupakan suatu yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah milik pemerintahan penjajah Belanda. Dalam buku “Ragi Carita” itu disebutkan, bahwa lulusan kweekschool Muntilan “harus berani berkecimpung di seluruh masyarakat Indonesia, menjadi ragi di mana pun mereka bekerja.”
Perkembangan Katolik di Jawa lumayan pesat. Pada tahun 1940 sudah ada sekitar 500 sekolah Katolik, dengan sekitar 56.000 murid dan lebih dari 1.300 guru pribumi. Pada situasi seperti itulah, pada 4 Agustus 1940, Paus Pius XII mengangkat Albertus Soegijapranata SJ, sebagai Vikaris Apostolik Semarang, sebagai uskup pribumi pertama. Pada 1939, Soegija diangkat sebagai consultor (penasehat) pribumi pertama bagi Superior Serikat Yesus (SJ).
Sekolah Guru Katolik di Muntilan bukan hanya dikenal sebagai tempat mendidik muridnya menjadi guru, tetapi juga tempat menjalankan misi Katolik. Dalam buku “Ragi Carita…” dikisahkan tentang seorang murid beragama Islam bernama Soegijapranata, yang memasuki sekolah guru ini dan kemudian mengubah agamanya menjadi Katolik di bawah asuhan van Lith.
“Ada beberapa hal yang diutamakan Pastur van Lith: murid-murid Muntilan hidup dalam internaat-asrama supaya pendidikan sungguh-sungguh membina orang dewasa berkepribadian. Pastur sendiri kerap kali pergi ke Yogya, Solo, dan tempat-tempat lain untuk mencari murid: Kasimo dan Soegija adalah di antara murid-muridnya yang terkenal. Waktu masuk Muntilan, Soegija menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 24 Desember 1909 Albertus Soegijapranata dibaptis.”
Dalam buku “Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa..” dikisahkan bahwa pada tahun 1912 – tepat dengan tahun berdirinya Muhammadiyah — Sekolah Guru Katolik ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda. Sekolah ini dianggap bergengsi dan menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka datang dengan satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik.”
Itulah kondisi masyarakat kita waktu itu. Sekolah-sekolah Belanda dan sekolah-sekolah yang disamakan statusnya menjadi tujuan banyak pelajar untuk meraih status sosial yang tinggi di tengah masyarakat. Ketika itu di Sekolah Guru Katolik Muntilan ada 350 siswa non-asrama dan 150 siswa asrama. Dikisahkan dalam surat Pater I. Vogels kepada para Pater Jesuit di Oudenbosch, tertanggal 24 Oktober 1910:
“Jumat lalu ada 53 siswa yang mengikuti ujian masuk, tetapi yang diterima hanya 28 karena kapasitasnya memang tidak bisa lebih dari 115 orang. Sampai sekarang para siswa ini datang sebagai Moslem dan hampir semua dari mereka di kemudian hari menjadi Katolik. Juga 28 siswa yang baru saja diterima itu sebagian besar masih Moslem.”
Pater van Lith memang sangat menekankan pentingnya misi Katolik melalui pendidikan. Bahkan, ia berpendapat, masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan.”
Itulah nilai strategis pendidikan guru bagi kemajuan suatu bangsa atau perkembangan misi keagamaan, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Katolik. Mereka sadar betul akan nilai strategis pendidikan guru, sehingga mereka sangat serius dalam menyelenggarakan pendidikan guru. Mungkin, hingga saat ini.
Para santri tentu banyak yang hafal mahfudhat “metode lebih penting daripada materi ajar; guru lebih penting daripada metode; dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri.” Kata-kata mutiara ini menyiratkan makna, bahwa kunci kebaikan dan keunggulan guru adalah pada kualitas jiwanya. Guru hebat pasti memiliki jiwa yang hebat. Jiwanya adalah jiwa yang cinta ilmu, jiwa pendidik, jiwa pengabdian dan jiwa perjuangan.
Jadi, belajar dari kasus Soegija, maka jangan biarkan dunia pendidikan didominasi oleh guru-guru yang tidak bermutu, baik secara akhlak maupun keilmuan. Sebagian pelajar yang memiliki tingkat intelektual dan akhlak terbaik, sepatutnya memilih jalan hidupnya sebagai jalan perjuangan sebagai guru pejuang dan guru teladan. Para guru pejuang itu bukan manusia biasa. Kedudukan mereka sangat mulia. Dan janji Allah sudah jelas: Allah pasti menolong para pejuang itu dan menjamin rizkinya.
Hanya saja, di zaman ini, jalan untuk menjadi guru atau ilmuwan pejuang pun tidak mudah. Banyak godaan dan tantangan. Perlu berhati-hati dalam memilih tempat pendidikan guru. Jangan hanya mengandalkan gengsi dan ranking universitas. Tetapi, utamakan kualitas ilmu dan akhlak para dosennya. Sebab, untuk menjadi guru yang baik, harus belajar ilmu yang baik, dan dididik langsung oleh guru-guru yang baik pula. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 4 Juli 2022).
Editor: Sudono Syueb