Oleh: Dr. Adian Husaini
ketua Umum Dewan Dakwah
Dewandakwahjatim.com, Depok – Kesepakatan para tokoh bangsa yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila memiliki makna yang dalam. Proklamator Kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta (Bung Hatta) menegaskan, bahwa: “Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat.”
Lalu, Bung Hatta menegaskan: “ Akibat daripada perubahan urutan sila yang lima itu, sekali pun ideologi negara tidak berubah karena itu, ialah bahwa politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing – seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula – melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya. Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa…. Dengan bimbingan dasar-dasar yang tinggi dan murni akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar… Sebab, apa artinya pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih sayang serta adil?” (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989).
Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971): “Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama.”
Buya Hamka pernah menulis sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang Pancasila”. Isinya menyebutkan, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa.
“Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.”
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: “Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.”
Penjelasan Bung Hatta, pakar Pancasila, dan sejumlah ulama tentang Ketuhanan Yang Maha Esa perlu direnungkan, agar jangan terjadi kesalahpahaman tentang pelaksanaan ajaran Islam di Indonesia. Bung Hatta menegaskan: “Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa.”
Dalam ajaran Islam, sekedar pengakuan saja terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan belum memenuhi konsep Tauhid yang sempurna. Iblis pun telah mengakui Allah sebagai Tuhannya, tetapi dalam al-Quran, Iblis disebut kafir (abā wastakbara wa-kāna minal kāfirin). Seorang Muslim yang baik tentulah tidak mau jika statusnya di hadapan Tuhan sama dengan Iblis, yakni hanya mengakui keberadaan (eksistensi) Tuhan Yang Maha Esa tetapi menolak tunduk dan patuh pada-Nya; membangkang terhadap aturan-aturan Allah SWT yang disampaikan melalui Utusan-Nya (Nabi Muhammad saw).
Berdasarkan penjelasan dari berbagai tokoh bangsa tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, maka jangan sampai ada pandangan bahwa orang muslim yang menjalankan agamanya dengan baik, dituduh sebagai musuh bangsa atau anti-Pancasila. Di masa lalu, di masa Orde Baru, anak-anak sekolah yang mengenakan jilbab di sekolah, harus dikeluarkan dari sekolahnya. Padahal, ketika itu pemerintah sedang gencar-gencarnya mewajibkan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Bagaimana mungkin anak-anak muslimah melaksanakan ajaran agamanya tetapi justru dihukum dan dikeluarkan dari sekolahnya?
Pemerintah Orde Baru akhirnya mencabut larangan berjilbab bagi anak-anak sekolah. Bahkan, kebijakan itu kemudian diperluas lagi dengan menerima hadirnya Peradilan Agama di Indonesia (UU No 7/1989), yang semula ditolak keras dan dituduh anti-NKRI. Akhirnya, Peradilan Agama untuk orang muslim itu pun hadir dan alhamdulillah NKRI tetap utuh.
Jadi, sudah terbukti, bahwa tidak perlu ada kekhawatiran terhadap pelaksanaan ajaran Islam bagi orang muslim di Indonesia. Jika ajaran Islam diamalkan dengan adab yang benar, maka insyaAllah akan semakin mengokohkan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Bahkan, pasal 31 (3) UUD 1945 mengamanahkan pemerintah untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan ketaqwaan dan akhlak mulia. Itu artinya perintah agar seluruh orang muslim di Indonesia – baik pejabat atau rakyat – agar menjadi muslim yang baik. Yakni, muslim yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa, yakni yang siap dan ridho diatur oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Kita perlu terus mikir, mikir dan mikir! Semoga Allah senantiasa membimbing kita di jalan-Nya yang lurus. Aamiin. (Depok, 26 Juni 2022).