Tafakkur di Hari-Hari Akhir Ramadhan

Oleh M. Anwar Djaelani,
Pengurus Dewan Da’wah Jawa Timur

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Di hari-hari akhir Ramadhan, insya-Allah berharga jika tafakkur lebih kita tingkatkan. Jika ketika datang Ramadhan kita sambut dengan sukacita, maka dengan segera akan berlalunya Bulan Suci ini, kita patut bersedih.

Selamat dan Beruntung

Dengan akan berakhirnya Ramadhan, kita sedih untuk tiga alasan. Pertama, karena berbagai keutamaan Ramadhan tak akan kita temui lagi di bulan yang lain. Kedua, bahwa di tahun depan belum tentu kita dapat bersua lagi dengan Ramadhan. Ketiga, bukan tak mungkin puasa kita tak cukup sempurna sehingga jauh dari ridha Allah.

Terhadap yang berhasil menunaikan puasa, maka mereka layak menyandang gelar atau predikat sang pemenang (dalam menundukkan nafsu). Mereka itulah yang patut bersiap-siap-siap untuk “diwisuda” sebagai insan bertaqwa di saat Idul Fitri.

Di hari-hari akhir puasa Ramadhan, kita dapat diibaratkan sebagai orang yang sedang bersiap-siap menunggu wisuda di sebuah sekolah atau universitas setelah sekian lama menempuh suatu jenjang pendidikan. Bagi yang pernah mengalaminya, saat-saat itu termasuk bagian yang paling indah dalam kehidupan. Terlebih lagi jika di acara wisuda itu kita dinobatkan sebagai wisudawan terbaik.

Kalau menghadapi acara wisuda yang dikemas sesama manusia saja kita sudah berbahagia, maka bagaimanakah cara melukiskan rasa bahagia yang dirasakan oleh mereka yang berpuasa dan kemudian Allah menyatakan “lulus” serta “mewisuda”-nya dengan predikat sebagai manusia bertaqwa?

Tentu saja perasaan kita sangat berbahagia, sebab manusia bertaqwa adalah tujuan disyariatkannya puasa. Sementara, manusia paling mulia adalah yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat ini: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (QS Al-Hujuraat [49]: 13).

Ayat di atas menyebutkan manusia yang mulia adalah yang paling bertaqwa. Maka, jika itu sudah kita raih, kebahagiaan apalagi yang akan kita cari di dunia ini? Oleh karena itu, peliharalah predikat paling bertaqwa itu agar tak lepas dari kita.

Merawat taqwa itu penting karena dasar dari taqwa itu adalah iman. Sementara, iman dapat naik-turun kadarnya. Kadar iman naik atau turun, antara lain karena pengaruh situasi atau lingkungan. Berikut ini, sekadar ilustrasi sederhana.

Dahulu kita merasa aman dan tenteram berada di dalam rumah sendiri karena hampir tak ada ”polusi iman”. Tetapi, sekarang? Internet di rumah, jika disalahgunakan bisa memunculkan ”penyakit”.

Kalau di rumah saja tantangannya seperti itu, maka bagaimana jika di luar rumah? Apa yang kita lihat dan rasakan di luar rumah, sedikit-banyak akan memengaruhi kita karena sebagai mahluk sosial mustahil untuk tidak saling berinteraksi.

Semua orang mendambakan hidup selamat, dunia-akhirat. Maka, bertaqwalah, berhati-hatilah! Sikap berhati-hati akan diperoleh jika kita merasa selalu berada dalam pengawasan Allah. Perhatikanlah Hadits ini: “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja Anda berada. Susulilah kesalahan Anda dengan memerbaikinya agar Anda terhindar dari akibatnya. Dan luhurkanlah budi-pekerti Anda terhadap siapapun” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Sikap berhati-hati atau selalu merasa diawasi Allah, bertaqwa di manapun, adalah sikap yang akan melekat pada diri orang-orang yang telah berpuasa sesuai sunnah Rasulullah Saw. Mereka telah dilatih sebulan suntuk. Hasilnya, sungguh mengagumkan, yaitu sebuah pribadi taat dan tahan uji.

Pribadi taat, seperti apa? Ada sebuah kisah yang patut kita hikmahi, yang adaptasinya kurang-lebih sebagai berikut.

Pemuda Idris, di suatu siang, menyusuri pinggiran sebuah sungai. Ia lapar. Maka, ketika di sungai terlihat ada buah yang terapung, refleks ia mengambil dan memakannya. Tetapi, itu sekadar beberapa kunyahan. Selebihnya, ia gemetar. Ia sadar, buah itu bukan miliknya dan haram memakannya. Ia malu kepada Allah yang Maha Melihat.

Lalu, dia merasa harus menebus dosa itu. Maka, walau ia lapar dan lelah, disusurilah sungai itu ke hulu dengan anggapan pastilah buah itu berasal dari sana. Ketika dijumpainya sebuah kebun di pinggir sungai, yakinlah dia bahwa dari tempat itulah buah itu berasal.

Begitu bertemu pemilik kebun, diutarakanlah apa yang terjadi. Rupanya, si pemilik kebun sangat arif. Ia dapat “membaca” bahwa pemuda yang ada di hadapannya itu tergolong pemuda bertaqwa.

“Baiklah. Buah itu akan aku halalkan jika engkau bersedia memenuhi permintaanku. Permintaanku, engkau mau menikahi putriku. Terkait itu, sebaiknya engkau tahu bahwa putriku itu buta, tuli, dan lumpuh,” kata si pemilik kebun.

Aduhai, begitu berat tebusannya. Tetapi bagi Idris, tak ada pilihan lain. Maka, Idris-pun setuju.

Ketika keduanya dipertemukan dan dinikahkan, kagetlah Idris dan menyangka bahwa si pemilik kebun memermainkannya. Apa pasal?

Ternyata gadis yang ditemui dan dinikahinya justru sangat berlawanan dengan yang telah digambarkan. Bahkan, gadis itu teramat cantik dengan sepasang mata yang indah, dengan sepasang telinga yang berfungsi normal, dan dengan sepasang kaki yang tak lumpuh.

“Benar, tadi saya berbicara dengan bahasa perlambang. Putriku kusebut ‘buta’ karena sepanjang tahun mata putriku ‘berpuasa’ yaitu tak melihat hal-hal yang tak disukai Allah. Putriku kusebut ‘tuli’ karena sepanjang waktu telinga putriku ‘berpuasa’ yaitu tak mendengarkan apa-apa yang tak disenangi Allah. Putriku kusebut ‘lumpuh’ karena selama ini kaki putriku ‘berpuasa’ yaitu tidak dipakai untuk melangkah ke tempat-tempat yang Allah tak ridha,” demikian penjelasan dari pemilik kebun yang kini menjadi mertua Idris.

Bertemulah lelaki taqwa bernama Idris dengan perempuan taqwa putri si pemilik kebun. Kelak, dari pasangan ini lahir seorang anak yang bernama Muhammad ibn Idris Asy Syafi’i atau terkenal sebagai Imam Syafi’i.

Dalam usia yang sangat belia, Imam Syafi’i telah hafal Al-Qur’an lengkap 30 juz. Dari dirinya telah lahir 113 buah kitab tentang Tafsir, Fiqih, Kesusasteraan, dan lain-lainnya. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah ‘Al-Um. Beliau adalah salah satu dari empat Imam Mazhab.

Agar Selalu Menawan

Kisah Idris di atas, indah. Idris, manusia bertaqwa. Ia sangat berhati-hati. Ia merasa selalu dalam pengawasan Allah. Ia merasa wajib bertaqwa di manapun dan di situasi apapun. Kisah Idris di atas menawan, karena di dalamnya berhimpun sejumlah hikmah yang menyiratkan dipenuhinya seluruh janji-janji Allah atas orang yang bertaqwa.

Semoga pesan pokok dari kisah Idris di atas turut menjadi bagian dari tafakkur kita di hari-hari akhir Ramadhan. Semoga taqwa selalu menjadi spirit keseharian kita untuk masa-masa selanjutnya, sampai maut menjemput kita. []

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *