Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Anggota Bidang Pemikiran lslam Dewan Dakwah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Spirit Al-Qur’an telah membangunkan dan mendongkrak peradaban dunia Arab. Bangsa Arab memiliki tradisi kesukuan yang tinggi, dan ini merupakan modal sosial yang besar untuk bangsa besar. Kesukuan yang tinggi menutup mata atas nilai baik-buruk. Begitu Islam datang, dan Al-Qur’an memberi sinar sehingga terbuka mana yang baik dan yang buruk. Kesukuan yang tinggi telah menyatukan mereka untuk berpegang pada Al-Qur’an, sehingga siap membela dan mempertahankan kebenarannya. Dalam waktu yang tidak lama, mereka berubah menjadi generasi unggul dan mampu meruntuhkan kesombongan bangsa Romawi dan Persia. Kalau sebelumnya, Arab menjadi bangsa pinggiran dan tak berharga, serta menjadi bangsa budak. Maka Al-Qur’an membuat bangsa Arab menjadi pusat peradaban dunia. Al-Qur’an berhasil membangunkan tidur panjang mereka, hingga Allah menjadikannya sebagai bangsa terbaik. Dengan kata lain, Al-Qur’an telah memberi arah baru dan menggeser bangsa jahiliyah menjadi bangsa berperadaban agung.
Islam dan Jendela Peradaban
Spirit Al-Qur’an berhasil membalik dunia Arab, yang sebelumnya dikenal sebagai bangsa kemudian berubah bangsa berperadaban tinggi. Al-Qur’an menyebut bahwa bangsa Arab sebelumnya berperadaban rendah, dengan indikator tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Bahkan bangsa Arab tidak mengetahui prinsip hidup sebagai bangsa yang agung. Stigma sebagai bangsa yang tidak mengetahui cara hidup yang lurus digambarkan Al-Qur’an sebagai berikut :
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus,” (QS. Asy-Syura 42: Ayat 52)
Bangsa Arab digambarkan tidak memiliki ciri-ciri sebagai bangsa yang berperadaban tinggi. Mereka menyembah berhala untuk mengokohkan kehidupannya. Ketergantungan pada berhala mengarahkan mereka untuk membenarkan perbudakan, pembunuhan terhadap bayi perempuan, hingga membenarkan para pemuka dan tokoh masyarakat yang mapan mengatur siklus politik dan ekonomi secara semena-mena.
Para elite memelihara politik kesukuan guna menyokong praktek politik untuk memperkuat posisinya. Mereka membiarkan adanya percekcokan dan perang antar suku. Hal ini memperburuk konflik antara suku sehingga terjadi pertumpahan darah karena mempertahankan keunggulan suku. Dalam situasi seperti ini, muncul sosok Muhammad yang memperkenalkan nilai-nilai baru, di antaranya keharusan meninggalkan tradisi yang mengagungkan berhala, memikirkan perlunya persamaan hak kemanusiaan dengan menghilangkan perbudakan. Penekanan untuk mengagungkan dan menyembah satu Tuhan saja, membuang berhala-berhala, telah membelah masyarakat. Kalangan budak dan masyarakat menengah bawah mendukung, sementara kelompok elite berusaha membendung kekuatan Islam.
Muhammad mengajak masyarakat Quraisy untuk menjalani hidup berorientasi pada akherat, dan berjanji akan menjadi penguasa dunia hingga menaklukkan bangsa Romawi dan Persia. Alih-alih mempercayai dan mengikuti ajakannya, orang-orang kafir Quraisy menolak dan ajarannya. Bahkan pengikut-pengikut Nabi Muhammad diteror dan disiksa secara sistematis dan terorganisir agar kembali menyembah berhala.
Orientasi Dunia dan Hancurnya Peradaban
Al-Qur’an menggambarkan bahwa dunia sebagai ladang ujian dengan berbagai fasilitas dan kenikmatan. Semua fasilitas itu merupakan sarana sebagai khalifah untuk berjuang menegakkan nilai-nilai ilahiyah. Namun yang terjadi, dunia yang indah dan menyenangkan ternyata justru memalingkan manusia hingga melupakan hakekat kehidupan akherat. Al-Qur’an menggambarkan sebagaimana firman-Nya :
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
(QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 14).
Nabi mengajak kaumnya untuk mau mengorientasikan hidupnya pada akherat dengan menanam kebaikan di dunia. Nabi pun menjanjikan akan kenikmatan hakiki dan selamanya ketika menjalani aturan-aturan ilahiyah. Alih-alih mengikuti ajakannya, tokoh-tokoh Quraisy justru memilih fasilitas duniawi yang sudah mereka rasakan. Mereka menganggap ajakan Muhammad hanya dongeng dan angan-angan kosong.
Nabi pun memastikan bahwa surga akan menjadi rumah besar dengan berbagai fasilitas, seperti sungai yang mengalir di bawahnya, didampingi perempuan-perempuan bersih dan suci, serta bisa bertemu Tuhan. Bertemu Tuhan ini merupakan puncak kenikmatan bagi mereka yang mengorientasikan hidupnya untuk akherat. Hal ini sebagaimana yang termaktub pada Firman-Nya :
“Katakanlah, Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu? Bagi orang-orang yang bertakwa (tersedia) di sisi Tuhan mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta rida Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya. (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 15)
Orang-orang Kafir Makkah, sebagaimana umumnya manusia, lebih memilih kesenangan hidup sesaat di dunia dan melupakan akheratnya. Mereka menikmati perempuan, harta kekayaan, tanah dan kebun serta berbagai kenikmatan hidup, sehingga melalaikan waktunya untuk kepentingan akherat.
Ajakan Nabi untuk mengorientasikan diri untuk menyembah dan mengagungkan Tuhannya ditolak, sehingga mereka terhempas dan terjerumus dalam kehinaan. Mereka lebih memilih kenikmatan sesaat dan melupakan kenikmatan yang hakiki dan selamanya. Implikasinya, mereka tidak mendapatkan surga, tidak bisa bertemu dengan Tuhannya, tetapi justru dijebloskan ke neraka sebagai makhluk yang terhina.
Surabaya, 18 April 2022
Editor & Admin: Sudono Syueb