Oleh M. Anwar Djaelani
Ketua Bidang Pemikiranlslam Dewan Dakwah Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Ahmad Watik Pratiknya aktivis sejak pelajar. Jejak kebajikannya terentang luas dari skala daerah asalnya sampai tingkat nasional. Di Yogyakarta, jejaknya antara lain ada di UGM dan di Pusat Pengkajian dan Strategi Kebijakan (PPSK). Di skala nasional, dia punya catatan perjuangan antara lain di ICMI dan MPR.
Pak Watik, demikian sapaan akrabnya, dikenal sebagai aktivis yang komplit. Dia, yang lahir di Banjarnegara pada 8 Februari 1948, adalah seorang konseptor, pekerja keras, dan penceramah andal.
Pendidikan formal Pak Watik dimulai di Sekolah Rakyat, lulus tahun 1960. Kemudian dia menamatkan Sekolah Menengah Pertama pada 1963 dan Sekolah Menengah Atas pada 1966.
Pak Watik aktivis yang teruji. Dia tipe organisatoris dan itu sudah dimulai sejak di SMA. Saat itu dia aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII), di Banjarnegara. Kemudian, aktivitasnya itu, terus berlanjut yaitu di PII Yogyakarta Besar saat kuliah di UGM.
Dia menyelesaikan pendidikan tinggi di Fakultas Kedokteran UGM pada tahun 1977. Gelar Doktor kemudian dia peroleh dari kampus yang sama pada 1983 dengan keahlian anatomi pembedahan.
Ahmad Watik Pratiknya diangkat sebagai dosen di Fakultas Kedokteran UGM pada 1973. Sejak 1984 juga menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Gigi dan Program Pascasarjana UGM. Dia juga menjadi konsultan dan pembimbing pada Program S3 Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan di UGM dan Universitas Padjadjaran Bandung. Selain itu juga menjadi konsultan metodologi dan statistik di Universitas Trisakti.
Pak Watik telah menulis setidaknya 10 buku dan menjadi editor sedikitnya tujuh buku. Sebagai seorang dokter, sumbangsih besarnya dalam dunia kedokteran tertuang lewat buku Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Lelaki ini dikenal cakap dalam menangani pasien. Sekaitan itu, sebagai ahli anatomi, pengabdiannya di berbagai lembaga kesehatan/rumah sakit juga banyak diakui.
Kecuali menghasilkan banyak karya ilmiah yang terkait dengan ilmu kedokteran, Pak Watik juga karya bertema dakwah. Misalnya, dia menyunting buku bagus berjudul Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antargenerasi.
Buku itu memuat hasil serangkaian wawancara pada 1986-1987 dari lima tokoh muda dengan Dr Mohammad Natsir yang pernah memimpin Masyumi dan pernah menjadi Perdana Menteri RI. Adapun lima tokoh muda itu adalah Endang Saifuddin Anshari, Yahya A. Muhaimin, Kuntowijoyo, Amien Rais, dan Ahmad Watik Pratiknya.
Bersama Muhammadiyah
Pak Watik dikenal sebagai dokter dan mubaligh. Dia aktif berdakwah, memberikan pengajaran agama di masyarakat. Belakangan, mulai 1985, dia mulai aktif di Muhammadiyah.
Di Muhammadiyah, aktivitas Pak Watik berawal dari Kota Yogyakarta Cabang Umbulharjo. Lalu, terpilih sebagai anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah 1985-1990.
Selanjutnya, pada Muktamar Ke-42 Muhammadiyah di Yogyakarta, dia terpilih menjadi salah satu Ketua PP Muhammadiyah. Pada periode 1990-1995, Pak Watik mendapat amanah sebagai Koordinator Bidang Pendidikan.
Kemudian, pada Muktamar Ke-43 Muhammadiyah di Nanggroe Aceh Darussalam Pak Watik dipercaya lagi sebagai anggota PP Muhammadiyah—sebagai Koordinator Bidang Pembina Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat.
Luas Beraktivitas
Dalam perjalanan waktu, Pak Watik seorang birokrat. Dia pernah menjadi staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pun, pernah sebagai senior saintis pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Kantor Menteri Riset dan Teknologi pada 1991-1993.
Di lembaga negara, Pak Watik juga pernah berkiprah. Pada 1993-1998 dia menjadi anggota MPR-RI dari Fraksi Karya Pembangunan.
Selanjutnya, Pak Watik pernah menduduki beberapa jabatan penting seperti: Asisten Wakil Presiden bidang Pembinaan, Persatuan dan Kesatuan Bangsa (23 April 1998-23 Juli 1998); Asisten Menteri Sekretaris Negara Urusan Pemerintahan dan LPND (23 Juli 1998-9 September 1998); Sekretaris Wakil Presiden RI (9 September 1998-5 November 1999); Sekretaris Presiden BJ Habibie dan Direktur Eksekutif The Habibie Center pada 1999.
Di khusus keahliannya, Pak Watik tercatat sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), anggota Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia (PAAI), anggota International Association of Anatomist of Biomechanics.
Di luar yang disebut di atas, Pak Watik juga pernah aktif di Himpunan Indonesia untuk Peminat Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS). Juga, pernah sebagai Dewan Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES). Sementara, di ICMI, Pak Watik ikut mendirikan. Terakhir, di ICMI sebagai Dewan Penasihat.
Pak Watik dekat dengan Habibie. Berawal pada November 1990. Lewat Wardiman Djojonegoro, Pak Watik berkenalan dengan Habibie. Kala itu kesan pertama Habibie atas Pak Watik, dia termasuk anak muda yang berpikiran modern.
Sejak itu, keduanya menjalin hubungan profesional dan personal yang akrab. Sekitar dua puluh enam tahun mereka bersahabat. Habibie sudah menganggap Pak Watik sebagai adik sendiri.
Jejak dakwah Pak Watik memang panjang. Di atas telah disebut, jejaknya ada di PII, Muhammadiyah, CIDES, dan ICMI. Jejak lain, ada di Laboratorium Dakwah-Pondok Pesantren Budi Mulia Yogyakarta, Yayasan Shalahuddin-Yogyakarta, dan The Habibie Center.
Sang Teladan
Pak Watik wafat pada 19 Februari 2016. Banyak yang berduka. Sejumlah sahabat merasa kehilangan. “Muhammadiyah mengucapkan belasungkawa. Kita kehilangan tokoh Muhammadiyah yang besar kiprah dan pemikirannya dalam Muhammadiyah maupun kancah nasional,” kata Haedar Nashir – Ketua Umum PP Muhammadiyah (gema.uhamka.ac.id).
Senada, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Din Syamsuddin mengatakan almarhum adalah tokoh Muhammadiyah yang berkualifikasi sebagai aktivis, administrator, dan konseptor.
Hal yang demikian ini, “Mungkin dipengaruhi latar belakang almarhum yang aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) sewaktu remaja dan latar akademiknya sebagai dokter ahli bedah,” kata Din Syamsuddin.
Din Syamsuddin lalu memberi ilustrasi. Bahwa, pada 1985 Majelis Tabligh PP Muhammadiyah yang dipimpin Amien Rais mengeluarkan konsep tentang tantangan dan strategi dakwah. Hal itu tidak terlepas dari pikiran almarhum yang saat itu menjabat sebagai sekretaris.
Lebih lanjut, kata Din, PP Muhammadiyah periode 2000-2005 memutuskan konsep “Strategi Dakwah Kultural” yang sangat penting dalam menghadapi dinamika masyarakat. Konsep itu, juga sangat dipengaruhi oleh pikiran almarhum yang waktu itu menjadi ketua timnya (baca gema.uhamka.ac.id).
Demikian, semoga spirit kepejuangan Ahmad Watik Pratiknya menginspirasi umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Semoga kiprah Pak Watik sebagai dokter yang mumpuni sekaligus pendakwah yang andal menjadi teladan bagi kita.
Editor: Sudono Syueb