Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Anggota Bidang Pemikiran lslam Dewan Dakwah Jatim
Dewandakwahjattim.com, Surabaya – lkhlas bukan hanya tolok ukur diterimanya amal, tetapi juga sebagai penentu tingginya bobot amal. Amalan yang ikhlas akan menjadi kebanggaan bagi pelakunya, karena balasannya sangat besar. Sebaliknya ketika amal perbuatan tidak ikhlas dan terkotori oleh niat-niat lain maka amalan itu bukan hanya sirna dan tak bernilai, tetapi akan menjadi penyesalan bagi pelakunya. Seorang hamba yang ikhlas menuntut ilmu agar bisa berdakwah, berbeda dengan yang menginginkan popularitas. Demikian pula orang yang berjihad ikhlas karena Allah, sangat berbeda dengan orang yang ingin mendapatkan ghanimah (rampasan perang). Dengan kata lain, keikhlasan sangat menentukan diterimanya amal perbuatan sekaligus sebagai tolok ukur kualitas amal perbuatan.
Ikhlas dan Ketundukan
Tingginya kepasrahan untuk melakukan ketaatan menunjukkan tingginya ketundukan seorang hamba. Dan hal itu menunjukkan bagusnya keikhlasan dalam melakukan amalan perbuatan. Sebaliknya, rendahnya ketaatan di samping menunjukkan rendahnya keikhlasan, berpotensi mendorong perilaku menyimpang. Dalam beragama, diperlukan piranti untuk secara ikhlas tunduk dan patut atas perintah-Nya. Karena ikhlas merupakan perintah sebagaimana termaktub dalam firman Allah :
وَاَ نْ اَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ۚ وَلَا تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan (aku telah diperintah), “Hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang musyrik.” (QS. Yunus : 105)
Dalam keadaan normal, kebanyakan manusia justru melakukan perbuatan menyimpang dan tidak sedikit yang justru melakukan pembangkangan terhadap perintah-Nya. Keikhlasan dan ketundukan justru dilakukan pada saat terdesak atau mendapatkan ancaman. Al-Qur’an menggambarkan ketakutan manusia saat diancam ombak, maka mereka mengingat Allah dengan ketundukan yang maksimal, dan siap melakukan ketaatan bila terbebas dari bahaya. Hal itu sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an :
وَاِ ذَا غَشِيَهُمْ مَّوْجٌ كَا لظُّلَلِ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ۙ فَلَمَّا نَجّٰٮهُمْ اِلَى الْبَـرِّ فَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ ۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰ يٰتِنَاۤ اِلَّا كُلُّ خَتَّا رٍ كَفُوْرٍ
“Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Adapun yang mengingkari ayat-ayat Kami hanyalah pengkhianat yang tidak berterima kasih.” (QS. Luqman : 32)
فَاِ ذَا رَكِبُوْا فِى الْفُلْكِ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَـهُ الدِّيْنَ ۚ فَلَمَّا نَجّٰٮهُمْ اِلَى الْبَـرِّ اِذَا هُمْ يُشْرِكُوْنَ
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlas) kepada-Nya, tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, malah mereka (kembali) menyekutukan (Allah),” (QS. Al-‘Ankabut : 65)
Al-Qur’an menggambarkan kecenderungan untuk melakukan penyimpangan ketika dalam situasi normal. Mereka tidak ingat lagi musibah yang pernah dialaminya. Memori ancaman ombak yang siap menggulungnya sudah lupa, dan bahkan mereka melakukan perbuatan yang menyingkirkan peran Allah yang telah menyelamatkannya.
Perintah Meninggalkan Syirik
Allah memerintahkan manusia untuk mentauhidkan diri-Nya dan menjauhkan perbuatan syirik. Namun manusia cenderung untuk melakukan penyimpangan dalam peribadatan. Mereka lebih memilih untuk menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan bencana padanya. Dzat yang memberi keselamatan dan bisa membebaskan dari marabahaya justru dilupakan. Hal ini termaktub sebagaimana firman-Nya :
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَ لَا يَضُرُّكَ ۚ فَاِ نْ فَعَلْتَ فَاِ نَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ
“Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allah sebab jika engkau lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim.”” (QS. Yunus : 106)
Kecenderungan untuk melakukan penyembahan kepada Allah pada di depan matanya terlihat keagungan-Nya. Betapa banyak petani yang panen raya dengan melimpahnya padi, tidak mendorong untuk semakin dengan Sang Penumbuh dan Pemelihara padi hingga melimpah. Demikian pula, para pelaut atau nelayan yang bergelimang dengan melimpahnya ikan, namun mereka tidak terdorong untuk melakukan pengagungan yang selayaknya pada Sang Pemberi ikan. Termasuk selamatnya kapal dari ombak yang mengancam, tidak menggerakkan mereka untuk mengagungkan Allah dengan layak. Hal ini dipaparkan Allah sebagaimana firman-Nya :
هُوَ الَّذِيْ يُسَيِّرُكُمْ فِى الْبَرِّ وَا لْبَحْرِ ۗ حَتّٰۤى اِذَا كُنْتُمْ فِى الْفُلْكِ ۚ وَ جَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيْحٍ طَيِّبَةٍ وَّفَرِحُوْا بِهَا جَآءَتْهَا رِيْحٌ عَا صِفٌ وَّجَآءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَا نٍ وَّظَنُّوْۤا اَنَّهُمْ اُحِيْطَ بِهِمْ ۙ دَعَوُا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَـهُ الدِّيْنَ ۙ لَئِنْ اَنْجَيْتَـنَا مِنْ هٰذِهٖ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan (dan berlayar) di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah (kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada Allah semata (seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari (bahaya) ini, pasti kamin termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS. Yunus : 22)
Menghadirkan Allah pada setiap momentum merupakan salah satu cara untuk mengingat kebesaran-Nya. Hal ini mendorong pada setiap hamba untuk merasa dirinya kecil, sehingga senantiasa untuk mengagungkan Allah. Seseorang yang ikhlas menuntut ilmu tidak akan terkotori oleh popularitas, bila niatnya berdakwah sangat kuat. Demikian pula mereka yang berjihad akan tertanam sifat ikhlas bila disadari bahwa kekuatan fisiknya karena kehendak Allah, sehingga terjauh dari keinginan untuk memperoleh ghanimah.
Ketika amal didasari oleh keikhlasan yang tinggi, maka ganjarannya semakin berbobot dan berkualitas. Sebaliknya ketika amal seseorang tidak ada nilai keikhlasan, kecuali ingin balasan duniawi, maka amal itu tidak bernilai sama sekali dan bakal menjadi penyesalan di akherat kelak.
Surabaya, 14 April 2022
Editor: Sudono