Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
”Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai… Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (Mohammad Natsir)
Pada 3 April 1950, 72 tahun lalu, seluruh komponen bangsa Indonesia – dimotori dan diwakili oleh Mohammad Natsir – bersepakat untuk mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kesatuan dan meninggalkan Republik Indonesia Serikat.
Hari itu, Mohammad Natsir mengajukan ”Mosi Integral” di Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Dengan Mosi itu, maka Negara-negara Bagian RIS (Republik Indonesia Serikat) kembali bersatu menjadi NKRI, pada 17 Agustus 1950. Bung Hatta menyebut, 17 Agustus 1950 sebagai ”Proklamasi Kedua”, setelah Proklamasi Pertama, 17 Agustus 1945.
Kembalinya Indonesia ke dalam bentuk Negara Kesatuan tak lepas dari kelepororan dan perjuangan Mohammad Natsir. Presiden Soekarno kemudian mengangkat Mohammad Natsir sebagai Perdana Manteri pertama NKRI, pasca RIS. Natsir mewujudkan kembalinya Negara Kesatuan dengan cara-cara konstitusional yang bermartabat, tanpa peperangan.
Tahun 2008, Mohammad Natsir, pendiri dan Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) yang pertama, mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional. Jasa besarnya dalam mengembalikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diakui negara. Karena itulah, Ketua MPR-RI (2004-2009) Dr. Hidayat Nurwahid mengusulkan agar tanggal 3 April ditetapkan sebagai Hari NKRI.
Perjuangan Mohammad Natsir dalam menyelamatkan NKRI sangat fenomenal. Natsir bukan hanya merumuskan gagasannya dengan cerdas, tetapi juga berhasil meyakinkan para tokoh Indonesia ketika itu yang berasal dari seluruh faksi dan aliran ideologis. Natsir memerlukan waktu dua setengah bulan untuk melakukan lobi.
Selama dua setengah bulan, Natsir melakukan lobi-lobi dan meyakinkan para pemimpin Negara Bagian RIS agar bersepakat untuk membubarkan diri bersama-sama, lalu bersama-sama pula membentuk NKRI.
Kepada Majalah Tempo (edisi 2 Desember 1989), Natsir menceritakan kisah perjuangan menyukseskan Mosi Integral tersebut: ”Saya bicara dengan fraksi-fraksi. Dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dengan PKI, dan sebagainya. Dari situ saya mendapat kesimpulan: mereka itu, negara-negara bagian itu, semuanya mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya, asal jangan disuruh bubar sendiri. Dua bulan setengah saya melakukan lobi. Tidak mudah, lebih- lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa.”
Dengan Peringatan 3 April sebagai Hari Negara Kesatuan, kita bukan hanya mengingat nama Mohammad Natsir, tetapi juga mengingat tokoh-tokoh nasional yang berjuang untuk mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Kita mengingat nama-nama Soekarno-Hatta, HOS Tjokroaminoto, KH Hasyim Asy’ari, Ki Bagus Hadikoesoemo, Haji Agus Salim, Syafruddin Prawiranegara, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Soedirman, dan sebagainya.
Khusus untuk mengenang perjuangan Mohammad Natsir dalam menyukseskan Mosi Integral, ada baiknya kita mengingat sejumlah pesan penting pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) tersebut:
(a) Jangan berhenti berjuang dan teruslah pupuk jiwa cinta pengorbanan!
”Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini… Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai… Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana.” (Artikel M. Natsir pada 17 Agustus 1951, berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”)
(b) Hilangkan cinta dunia berlebihan!
”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia…Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” (Lihat, buku: Pesan Perjuangan Seorang Bapak).
(c) “Maka, Saudara Ketua, dengan penuh tanggung jawab kami ingin mengajak bangsa kita, bangsa Indonesia yang kita cintai itu, untuk siap siaga menyelamatkan diri dan keturunannya dari arus sekulerisme itu, dan mengajak dengan sungguh-sungguh supaya dengan hati yang teguh, merintis jalannya memberikan dasar hidup yang kukuh kuat sesuai dengan fitrah manusia, agar akal kita dan kalbunya, seimbang kecerdasan dengan akhlak budi pekertinya, yang hanya dapat dengan kembali kepada tuntunan Ilahi.” (Pidato Mohammad Natsir di Majelis Konstituante, 1957).
(d) ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” (Moh. Natsir, mengutip Dr. G. Nieuwenhuis).
Demikianlah beberapa pesan penting Mohammad Natsir yang patut kita renungkan dan kita perjuangkan, agar NKRI menjadi negara adil makmur dalam naungan Ridho Allah SWT. (Depok, 4 April 2022).