Menghadap Allah sendiri-sendiri

oleh: Ustad Hidayatullah

Anggota Bidang Organisasi Dewan Dakwah Jatim

Dewandakwahjatim..com, Surabaya –

وَكُلُّهُمۡ ءَاتِيهِ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ فَرۡدًا
Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Maryam; 95)

وَلَقَدۡ جِئۡتُمُونَا فُرَٰدَىٰ كَمَا خَلَقۡنَٰكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٖ وَتَرَكۡتُم مَّا خَوَّلۡنَٰكُمۡ وَرَآءَ ظُهُورِكُمۡۖ وَمَا نَرَىٰ مَعَكُمۡ شُفَعَآءَكُمُ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُمۡ أَنَّهُمۡ فِيكُمۡ شُرَكَٰٓؤُاْۚ لَقَد تَّقَطَّعَ بَيۡنَكُمۡ وَضَلَّ عَنكُم مَّا كُنتُمۡ تَزۡعُمُونَ
Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah). (al An’am: 94)

Firman Allah di atas memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap hamba akan menghadap kepada Allah secara sendiri-sendiri, untuk mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukannya sewaktu kehidupannya di dunia.


Tentu kesesuaian sikap terhadap nilai kebenaran merupakan keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Allah akan menyidangkan setiap hamba dengan KUHPNya yaitu al Quran dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Dengan demikian ketidak sesuaian dengan keduanya mengakibatkan kerugian yang besar.

Niat menjadi penentu

Dengan demikian bukan karena factor harta yang lebih dari lainnya, atau gelar akademik yang banyak, atau jabatan yang dimilikinya, serta seolah merasa telah menjadi mujahid dakwah yang telah lama, akan tetapi semua itu haruslah disertai dengan sikap tawadlu’ tanpa merasa lebih hebat atau merasa lebih senior sehingga butuh diakui orang lain atau yuniornya. Tetapi keikhlasan dalam berjuang yang menentukan di terima dan tidaknya suatu perjuangan.


Begitulah setan selalu berusaha dengan maksimal mengubah niat atau tendensi seseorang jika telah berjuang -ketika tidak lagi bisa mengendorkan sikap perjuangganya- dengan merasa lebih hebat dan lebih-lebih lainnya. Tanpa dirasakan kadang tendensi itu begitu menyelinap dalam diri sehingga dapat menghapus nilai amal itu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzu billah min dzalik.


Memang diakui sebagai orang yang hebat dan lebih berilmu atau senior itu mengasikkan, karena selalu dihormati dan bebas “intervensi” kepada yang dianggap lebih yuniornya, akan tetapi yang perlu diwaspadai adalah gerak hati kita, masihkan benar-benar berharap pahala dari Allah, ataukah hanya sekedar tendensi riya’ dan sum’ah?

Hari penyesalan setiap hamba
Tiada manusiapun yang tidak akan menyesal pada hari Kiamat. Sehebat apapun ia merasa sewaktu di dunia, semua pasti akan tetap menyesal pada saat itu.
فَمَا لَنَا مِن شَٰفِعِينَ وَلَا صَدِيقٍ حَمِيمٖ فَلَوۡ أَنَّ لَنَا كَرَّةٗ فَنَكُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa’at seorangpun, dan tidak pula mempunyai teman yang akrab, maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman”. (asy Syu’ara’; 100 – 102)

إِذۡ تَبَرَّأَ ٱلَّذِينَ ٱتُّبِعُواْ مِنَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ وَرَأَوُاْ ٱلۡعَذَابَ وَتَقَطَّعَتۡ بِهِمُ ٱلۡأَسۡبَابُ وَقَالَ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُواْ لَوۡ أَنَّ لَنَا كَرَّةٗ فَنَتَبَرَّأَ مِنۡهُمۡ كَمَا تَبَرَّءُواْ مِنَّاۗ كَذَٰلِكَ يُرِيهِمُ ٱللَّهُ أَعۡمَٰلَهُمۡ حَسَرَٰتٍ عَلَيۡهِمۡۖ وَمَا هُم بِخَٰرِجِينَ مِنَ ٱلنَّارِ


(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (al Baqarah; 166 – 167)

Nabi Ibrahim dan ayahnya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: يَلْقَى إِبْرَاهِيمُ أَبَاهُ آزَرَ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَعَلَى وَجْهِ آزَرَ قَتَرَةٌ وَغَبَرَةٌ، فَيَقُولُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ: أَلَمْ أَقُلْ لَكَ لاَ تَعْصِنِي؟ فَيَقُولُ أَبُوهُ: فَاليَوْمَ لاَ أَعْصِيكَ، فَيَقُولُ إِبْرَاهِيمُ: يَا رَبِّ إِنَّكَ وَعَدْتَنِي أَنْ لاَ تُخْزِيَنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ، فَأَيُّ خِزْيٍ أَخْزَى مِنْ أَبِي الأَبْعَدِ؟ فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: إِنِّي حَرَّمْتُ الجَنَّةَ عَلَى الكَافِرِينَ، ثُمَّ يُقَالُ: يَا إِبْرَاهِيمُ، مَا تَحْتَ رِجْلَيْكَ؟ فَيَنْظُرُ، فَإِذَا هُوَ بِذِيخٍ مُلْتَطِخٍ، فَيُؤْخَذُ بِقَوَائِمِهِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu ‘anhu, dari Nabi Sallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ibrahim -alaihissalam- bertemu dengan ayahnya, Azar, di hari kiamat. Di wajah Azar terdapat noda-noda hitam dan debu-debu. Ibrahim berkata kepada ayahnya: ‘bukanlah telah aku katakan untuk tidak mengingkari aku (ajarank tauhid)?’. Lalu ayahnya mengatakan: ‘Hari ini aku tidak akan mengingkarimu’. Lalu Ibrahim berdoa kepada Allah: ‘wahai Rabb-Ku, bukankah Engkau telah menjanjikan bahwasanya Engkau tidak akan menghinakan aku di hari kebangkitan? Maka kehinaan mana yang paling berat dibandingkan aku dijauhkan dengan ayahku?’. Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir’. Lalu dikatakan kepada Ibrahim: ‘Wahai Ibrahim, perhatikanlah apa yang ada di dekat kakimu!’. Lalu Ibrahim melihat di dekat kakinya ada seekor babi hutan yang kotor, babi tersebut lalu diseret dengan ikatannya pada kakinya, lalu dilemparkan ke neraka”. (HR. Bukhari)

Ada beberapa kesimpulan sebagaimana dalam hadits di atas, yaitu, pertama, setiap hamba akan menghadap kepada Allah secara sendiri-sendiri. Kedua, Allah mengharamkan surga bagi orang kafir yang otomatis juga orang musyrik. Ketiga, dengan demikian syarat untuk dapat mendapatkan syafaat di hari Kiamat adalah harus sama-sama muslim. Keempat, sungguh nikmat iman dan islam ini merupakan nikmat yang yang terbesar, sehingga sudah seharusnya di syukuri dengan cara diperlihara sedemikian rupa dengan sebaik-bainya.

Semasa di dunia nabi Ibrahim selalu mendakwahi ayahnya untuk mentauhidkan Allah, akan tetapi ajakan itu selalu ditolaknya bahkan nabi Ibrahim kerap dimarahinya. Allah mempertemukan kembali nabi Ibrahim dengan ayahnya di hari Kiamat. Nabi Ibrahim melihat kepada ayahnya dalam keadaan ada noda hitam dan berdebu, terjadilah dialog antara keduanya: ‘bukanlah telah aku katakan untuk tidak mengingkari aku (ajarank tauhid)?’. Lalu ayahnya mengatakan: ‘Hari ini aku tidak akan mengingkarimu’.

Tentu dalam keadaan demikian sudah tidak bermanfaat lagi penyesalan. Tidak bisa diingkari bahwa hari Kiamat merupakan hari penyesalan bagi seluruh umat manusia, karena seringkali menyia-nyiakan waktunya tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga dalam kehidupannya banyak motif-motif atau tendensi yang tidak semata-mata karena Allah akan tetapi karena factor jaim, riya’, sum’ah dan lain sebagainya.

Sebagai seorang anak, nabi Ibrahim tentu sangat iba dengan keadaan ayahnya. Sekalipun nabi Ibrahim tahu bahwa ayahnya itu telah kafir dan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetapi nabi Ibrahim berusaha mengajukan syafaat kepada Allah untuk ayahnya.

Lalu Ibrahim berdoa kepada Allah: ‘wahai Rabb-Ku, bukankah Engkau telah menjanjikan bahwasanya Engkau tidak akan menghinakan aku di hari kebangkitan? Maka kehinaan mana yang paling berat dibandingkan aku dijauhkan dengan ayahku?’. Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir’. Lalu dikatakan kepada Ibrahim: ‘Wahai Ibrahim, perhatikanlah apa yang ada di dekat kakimu!’. Lalu Ibrahim melihat di dekat kakinya ada seekor babi hutan yang kotor, babi tersebut lalu diseret dengan ikatannya pada kakinya, lalu dilemparkan ke neraka”.

Ibnu Hajar al Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan: “Sesungguhnya Ibrahim berlepas diri dari ayahnya di dunia ketika ayahnya itu mati dalam keadaan musyrik, dan tidak meohonkan ampun untuknya, akan tetapi ketika beliau berjumpa dengan ayahnya pada hari Kiamat beliau iba karena kelembutan pribadi nabi Ibrahim, maka ia memohon kepada Allah, akan tetapi ketika beliau memahami nahwa hal itu tidak ada gunanya, maka beliau berlepas diri selamanya.
Kita memohon kepada Allah semoga kita semua mendapat ma’unahNya untuk tetap istikomah dalam menjalankan agama ini dan dapat menjaga nilai keikhlasan hanya kepadaNya. Amin. Wallahu a’lam bishshawab. [*]

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *