Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Dewandajwahjatim.com, Surabaya – Mr. Sjafruddin Prawiranegara, adalah salah satu pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang dikenal sebagai negarawan dan juga ekonom yang ulung. Ia adalah Gubernur Bank Sentral yang pertama. Ia adalah “Presiden” pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Berikut ini perjalanan karir Sjafruddin Prawiranegara dalam pemerintah dan organisasi Islam di Indonesia: (1) Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) saat berumur 34 tahun, (2) Wakil Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan, saat berumur 35 tahun, (3) Menteri Kemakmuran saat berumur 36 tahun, (4) Perdana Menteri RI, (5) Memimpin PDRI saat berumur 37 tahun, (6) Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir tahun 1949-1950, (7) Gubernur Bank Sentral yang pertama saat berumur 42 tahun (tahun 1953), (8) Pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia tahun 1967, (9) Pengurus YPI al-Azhar Jakarta, (10) Ketua Korps Mubaligh Indonesia (1984).
Tahun 2006, Presiden Indonesia menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Pertimbangannya, 19 Desember 1948 merupakan hari bersejarah, karena hari itu terbentuk PDRI, untuk mengisi kekosongan pemerintahan RI, dalam rangka bela negara. Dalam bidang keuangan, pada tanggal 17 Agustus 2005, nama Sjafruddin Prawiranegara digunakan sebagai nama salah satu menara Gedung Bank Indonesia.
Dengan serentetan jabatan tinggi dalam pemerintahan, Sjafruddin dikenal sebagai seorang yang sederhana dalam hidupnya. Pada tahun 2011, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sjafruddin Prawiranegara.
Pada tahun 1987, terbit buku Sjafruddin berjudul ”Aspirasi Islam dan Penyalurannya”, yang dianggap berisi pesan-pesan terakhir Sjafruddin Prawiranegara. Ada pesan-pesan penting dalam buku ini: ”Peliharalah, pertahankanlah Republik Indonesia ini yang telah dibentuk berdasarkan UUD 1945 yang berlandaskan Pancasila dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Allah Subhanahu wa-Ta’ala dan Rasulullah shalallahu alaihi wa-sallam dalam al-Quran dan Hadits untuk kebahagiaan dan kesejahteraan seluruh bangsa tanpa kecualinya.”
Sjafruddin mengajak umat Islam Indonesia untuk yakin akan terjadinya kebangkitan Islam. Tetapi, hal itu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh umat Islam sendiri. Dalam pidatonya di Masjid Salman ITB, tahun 1982, Sjafruddin mengatakan:
”Pada suatu masa Islam akan memimpin pada segala bidang kegiatan manusia. Supaya tercapai diperlukan kerja keras dan membutuhkan waktu karena tidak dapat dicapai dalam waku singkat. Harapan itu lahir dari keyakinan dan usaha kita sendiri. Agar tercapai tujuan itu, harus tahu apa yang harus dilakukan umat Islam, harus tahu apa itu Islam, apa tujuannya dan bagaimana cara mencapai tujuan itu, bagaimana hubungan Islam dengan ideologi dan agama lain, harus yakin bahwa hanya karena idzin Allahlah Islam akan memimpin dunia.”
Sebagai orang yang begitu besar jasanya kepada negara, tetapi dalam perjalannya, Sjafruddin sering bersikap kritis terhadap pemerintah Orde Lama dan Orde Baru. Ia pun harus masuk penjara Orde Lama dan banyak berurusan dengan apparat di masa Orde Baru, karena sikapnya yang tegas dan berani dalam menyuarakan kebenaran.
Misalnya, Sjafruddin pernah diperiksa terkait isi khutbah Idul Fitri 1404 H di Masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta. Ketika itu, Sjafruddin mengatakan: “Saya ingin mati di dalam Islam, dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah”.
Sjafruddin pernah menulis pesan dalam buku berjudul “Aspirasi Islam dan penyalurannya”. Buku ini dia sebut sebagai:”…………pesan terakhir kepada bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya, lebih khusus lagi kepada generasi muda muslim yang akan menggantikan kami yang tua-tua”.
Sjafruddin menegaskan jatidirinya sebagai seorang muslim yang teguh: ”…………. isyhaduu bianna Muslimuun (saksikanlah sesungguhnya kami ini seorang muslim)”. Dalam buku ini Sjafruddin dengan tegas menolak sekulerisme. Dia menegaskan tidak adanya pemisahan masjid dengan negara seperti halnya pemisahan gereja dengan negara.
Mr. Sjafruddin berpendapat bahwa yang paling penting bagi kaum muslim ialah diakui dan dihormati hak-hak asasinya. Dalam negara yang berdemokrasi, menurut Sjafruddin, rakyat harus bebas menjalankan “amar ma’ruf nahi munkar’. Perintah Allah ini tidak boleh dihalang-halangi oleh kekuasaan.
Selanjutnya ia berkeyakinan bulat bahwa Indonesia tidak mungkin keluar dari kemelut ekonomi/sosial sekarang dan dimasa datang tanpa bantuan moralitas dan kreativitas kaum muslim yang benar-benar cinta kepada Allah SWT dan sesama makhluknya. Menurut Sjafruddin, jikalau dipahami, dihayati, dan diamalkan dengan benar, maka Islam akan menjadi sumber perdamaian dan peradaban. Bukan saja bagi bangsa Indonesia akan tetapi dapat sebagai contoh bagi seluruh umat Islam, bahkan seluruh umat manusia.
Mr. Sjafruddin Prawiranegara adalah dai yang juga presiden penyelamat republik. Sebagai penyelamat republik, Sjafruddin melakukan tindakan yang berani dalam membentuk Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI). Naluri amar ma’ruf nahi munkar Sjafruddin berkobar ketika presiden dan wakilnya serta separoh lebih kabinetnya ditangkap Belanda melalui agresi militer keduanya.
Sjafruddin Prawiranegara berinisiatif membentuk PDRI berdasarkan inspirasi dari Allah SWT Yang Maha Kuasa. Memang ketika itu ada mandat dari Presiden Soekarno, namun itu tidak pernah sampai ditangannya. Bung Hatta menyebutnya sebagai presiden darurat. Secara de facto dialah presiden Republik Indonesia semasa delapan bulan, yang sekaligus juga penjaga proklamasi 17 Agustus 1945.
Demikian sepenggal kisah keteladanan hidup, gagasan, dan perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Semoga kita bisa meneladani dan melanjutkan perjuangan beliau. Amin. (NB. Lebih jauh tentang biografi Sjafruddin Prawiranegara, lihat buku ”Sang Penyelamat Republik” karya Sriyanto, (Yogya: Pro-U Media, 2017).
Sumber: mediadakwah.id
Editor: Sudono Syueb