Allah Bahagia Dengan Hamba-Nya

Oleh: Ust. Hidayatullah
Anggota Bidang Organisasi DDII Jatim

Dewandakwahjatim.com, Surabaya –

عن أنس بن مالك -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: للَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ، سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ، وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضِ فَلاَةٍ. وفي رواية: لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، وقَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ، فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ! أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَح. متفق عليه

Dari Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Sallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah lebih gembira untuk menerima tobat hamba-Nya daripada salah seorang dari kalian yang menemukan tunggangannya setelah tersesat di gurun pasir.” Dalam riwayat lain, “Allah lebih gembira untuk menerima tobat hamba-Nya daripada salah seorang dari kalian yang awalnya berada di atas tunggangannya di gurun pasir, kemudian tunggannya itu terlepas darinya, padahal di situ ada bekal makan dan minumnya. Saat putus asa, dia mendatangi sebuah pohon untuk berteduh di bawahnya. Dia telah putus asa untuk mendapatkan kembali tunggangannya. Dalam keadaan demikian itu, tunggangannya kembali, berada disisinya. Dia pun mengambil tali kekang tunggangannya dan berujar kegirangan, ‘Wahai Allah, engkau adalah hambaku dan aku tuhan-Mu.’ Dia keliru karena sangat bergembira.”

Taubat
Taubat dari kata taaba yatuubu tauban wa taubatan yang berarti nadima atau menyesal, juga raja’a yakni kembali. Sedangkan definisinya adalah man ya’tarifu bidzanbihi wayandimu ‘alaihi waya’zimu ‘ala ‘adamirrujuu’i ilahi yaitu orang yang mengetahui dosa-dosanya dan menyesali atas dosa tersebut serta bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut. Maka taubat berarti bersunnguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan dosanya tersebut.
Sehingga taubat berkenaan dengan dosa atau kesalahan yang kita lakukan. Tiada manusia yang dalam hidupnya tanpa ada cacat. Setiap kita manusia pasti memiliki prilaku yang salah, walaupun kita telah berusaha untuk menjadi orang baik, tapi pada saatnya kita kadang lengah juga. Apalagi kita yang tidak menghiraukan atau peduli tentang perbuatan kita itu salah atau benar, diterima atau tidak. Tentu akan lebih mudah tergelincir untuk melakukan perbuatan yang salah, bahkan kadang yang penting asal dapat walaupun dengan menipu sana-sini. Dengan bangganya mereka dapat menggunakan hasilnya tersebut tanpa ada perasaan bersalah sedikitpun.

Di antara ciri orang beriman

Taubat merupakan ciri bagi orang yang dalam hatinya masih ada keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena berarti masih ada perasaan bersalah dalam dirinya, lalu dengan perasaan bersalah tersebut ia ada suatu keinginan untuk memperbaiki diri. Dalam rangka memperbaiki diri inipun dibutuhkan dorongan atau motifasi kepada siapa dia harus menambatkannya. Maka dengan modal keimanannya tersebut harapan untuk memperbaiki diri akan memiliki tempat berlabuh yang tepat. Maka di sinilah taubat akan meiliki arti dan makna.

Jika seseorang telah berlumuran dosa, sementara keimana sudah tidak ada lagi dalam dirinya, kemana ia hendak memperbaiki diri atau untuk siapa ia memperbaiki dirinya tersebut. Disinilah kadang menjadi suatu yang membingungkan dalam persoalan taubat. Sehingga taubatnya bukan taubat yang sebenarnya tetapi hanya taubat-taubatan yang tidak menyebabkan ia menyesali dengan sungguh-sungguh atas dosanya. Atau taubatnya hanya bersifat sementara karena bukan karena dorongan motifasi keimanan. Sehingga ketika ada ujian lagi antara dua pilihan apakah tetap dalam keimanan tetapi mungkin seolah terasa sengsara, atau dalam kekafiran seolah menyenangkan, maka pilihannya adalah kesenangan duaniawi dan kebanggaan semu di dunia.

Taubat dan Hijrah

Orang yang bertaubat tanpa ada motifasi keimanan maka taubatnya adalah taubat-taubatan. Sedangkan mereka yang sadar dan kapok dengan keburaman masa silamnya karena dorongan keimanan, maka ia akan bertaubat dengan sungguh bahkan sekaligus berhijrah dengan apa saja yang menyebabkan ia tidak dengan leluasa dalam rangka proses berubah tersebut. Maka taubatnya adalah taubatan nashuuha.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَيِّ‍ءَاتِكُمۡ وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. [at Tahrim/66:8].

Bersyukur karena Allah Tuhan Yang Maha Kuasa adalah Dzat Yang Maha Penerima Taubat bagi hamba-hamab-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya. Senyampang kesempatan ini masih ada, maka peluang untuk kita selalu bertaubat atau mohon ampun kepada-Nya setiap hari haruslah kita lakukan. Betapa setiap waktu ada dosa yang kita lakukan kepada-Nya. Hati kita yang lebih cenderung kepada selain-Nya juga merupakan dosa-dosa yang senantiasa mewarnai diri kita. Lebih cenderung kepada duniawi dan seluruh isinya, lebih cenderung pada harapan diri supaya dipuji, dihargai, dihormati, dimuliakan, serta takut atau tidak mau jika dilecehkan, dihina atau direndahkan.

Kadang juga merasa diri hebat, mampu, kaya dan juga merasa berkuasa, kuasa melakukan apa saja dengan uangnya. Perasaan seperti ini seringkali menjebak diri kita untuk lupa akan hakekat keberadaan diri ini. Sehingga kita menjadi nekat memiliki perasaan-perasaan seperti tersebut. Maka tentu ada ruang dan waktu bagi kita untuk senantiasa memohon ampun atas segala kekurangan dan kelemahan perasaan kita tersebut. Dengan demikian ada upaya selalu introspeksi diri untuk tidak terus-menerus memiliki perasaan tersebut tanpa ada rasa bersalah kepada-Nya.

Disamping itu masih begitu banyaknya larangan dan perintah-Nya yang tidak kita jalankan sebagaimana mestinya. Malah seringkali kita menjalankan hal-hal yang tidak jelas perintah dan larangan tersebut. Allah SWT sungguh Maha Baik Sekali, bagaimana Allah menggambarkan dalam hadits di atas, akan rasa Bahagia dan Bangga kepada hamba-Nya ketika mau bertaubat, yang kebahagiaan itu melebihi seseorang yang menemukan binatang tunggangannya yang telah hilang. Padahal betapa bahagianya seseorang yang telah menemukan kembali binatang tunggangannya – yang pasti juga menjadi kesayangannya – yang hilang dan telah lama dicarinya. Tetapi Allah lebih bahagia dari orang tersebut lantaran karena taubatnya seorang hamba. Dan padahal taubat itu dampaknya adalah untuk orang yang bertaubat itu sendiri.

Iman dan ilmu

Bertaubat sangat erat kaitannya dengan iman dan ilmu. Dengan iman berarti tempat berlabuh taubatnya menjadi jelas, dengan ilmu taubatnya menjadi jelas kebenarannya. Maka tatkala manusia tidak memiliki konsep taubat dalam dirinya, hal ini menjadi tanda bahwa ia menjadi manusia yang tidak selamat dari ancaman siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena pasti ia tidak akan hiraukan sehingga dirinya bahkan merasa menjadi manusia yang sebaik-baiknya.
Padahal begitu banyak dosa-dosa yang kita lakukan tanpa terasa, sehingga nyaris menghilangkan dan melenyapkan pahala yang ada pada diri kita. Oleh karenanya jangan sampai kita menjadi hamba yang meninggalkan bartaubat setiap waktunya. Beristighfar dengan istighfar yang jelas tujuannya secara spesifik terhadap bentuk kesalahan kita. Bukan semata istighfar di lisan tetapi kita tidak merasa bahwa kita salah. Jadi istighfarpun harus jelas perbuatan atau prilaku atau sikap apa sehingga kita harus selalu beristighfar. Dan tentu sangat banyak sekali!!!, “Astaghfirullahal ‘Adhim”. Wallahu a’lam. [*]

Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *