Oleh: Ustadz Hidayatullah
Anggota Bidang Organisasi DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
عن عائشة رضي الله عنها: أَن النبيَّ ﷺ قَالَ: إِنَّ الرِّفقَ لا يَكُونُ في شيءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلا يُنْزَعُ مِنْ شَيءٍ إِلَّا شَانَهُ رواه مسلم.
Dari Ibunda Aisyah Radliyallahu anha, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kasih sayang (kelembutan) itu tidak akan berada pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya. Sebaliknya, jika kasih sayang (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim)
ar Rafiqu
Ar Rafiqu juga berarti lathafa bihi yakni bersikap lemah lembut kepadanya. Sebagaimana penjelasan dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam menyampaikan bahwa ar Rafiqu jika melekat kepada sesuatu maka sesuatu itu menjadi kelihatan indah, dan sebaliknya jika tidak ada ar Rafiqu maka sesuatu itu menjadi kelihatan tidak menarik.
Ar Rafiqu dalam setiap perkara, juga kepada sesama manusia bersikap lebut, memudahkan merupakan esensi dari ikatan akhlak Islamiyah, sifat ini merupakan sifat yang sempurna. Di antara kejadian yang terkait dengan ini adalah Ketika ibunda Aisyah hendak naik onta dan beliau merasa kesulitan yang menyebabkan beliau enggan dan agak kasar, maka Rasulullah memerintahlan ‘alaiki birrifqi, tetaplah bersikap lembut, kemudian ibunda menyebut hadits di atas.
Kelembutan bukan berarti seolah tidak prinsip, akan tetapi kelembutan merupakan sikap yang menunjukkan pribadi itu adalah pribadi yang telah dewasa dan matang, tempaan kehidupan yang telah dijalaninya, sekaligus tempaan aktifitas ruhaninya menyebabkan ia menjadi pribadi agung yang lembut kepada siapa saja. Itulah pribadi manusia agung sebagai teladan kita Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, Shallu ‘ala an Nabi!
Sifat dai atau pemimpin
Sudah seyogyanya sebagai umat beliau, apalag sebagai seorang da’i ataupun pemimpin umat kita meneladani beliau dalam kelembutan ini. Allah mengingatkan dalam hal ini sebagaimana dalam firmanNya.
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali Imran; 159)
Ayat di atas khitabnya adalah kepada Rasulullah, dan hal ini sekaligus mengingatkan kepada umat ini agar dalam berorganisasi atau berkelompok hendaknya mengedepankan kelembutan, suka memafkan terhadap kesalahan orang lain dan bahkan memohonkan ampun atas kesalahan tersebut, ajaklah mereka bermusyawarah atau berdiskusi sehingga tidak perlu ada kalimat yang menyakitkan hati orang lain, sekaligus memegang komitmen bersama, selebihnya adalah bertawakkal kepada Allah, karena semua yang terjadi adalah iradah dan qudrah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hadits yang lain Rasulullah menjelaskan bahwa Allah adalah ar Rafiq
وعن عائشة رضي الله عنها: أَن النبيَّ ﷺ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفقَ، وَيُعْطِي على الرِّفق ما لا يُعطي عَلى العُنفِ، وَما لا يُعْطِي عَلى مَا سِوَاهُ رواه مسلم.
Dari Ibunda Aisyah Radliyallahu anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Lembut mencintai kelembutan, dan memberikan pada kelembutan yang tidak diberikan kepada sikap kasar, dan memberikan pada kelembutan yang tidak diberikan kepada selainnya. (HR. Muslim)
Demikian pula barangsiapa yang terhalang dari sifat ar Rafiqu ia akan terhalang dari kebaikan seluruhnya.
عن جرير بن عبداللَّه قالَ سمعتُ رَسُولَ اللَّه ﷺ يقُولُ: مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرمِ الخيْرَ كُلَّهُ رواه مسلم.
Dari Jarir bin Abdullah berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang terhalang dari kelembutan akan terhalang dari semua kebaikan”. (HR. Muslim)
Metode dakwah nabi Musa kepada Fira’un
Nabi Musa merupakan salah seorang nabi yang mendapat gelar ulul ‘azmi. Sebagai nabi belia pasti termasuk orang yang shalih dan bertaqwa kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Sedangkan Fira’un adalah symbol pemimpjn yang lalim bahkan menganggap dirinya sebagai tuhan. Seorang yang sangat shalih berdakwah kepada seorang yang sangat lalim, Allah memerintahkan kepada nabi Musa dan Harun agar berdakwah dengan lemah lembut.
فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Thaha; 44)
Kadang kita jumpai saat ini seorang dai yang menyampaikan dengan bahasa yang kasar lagi sangat menyakitkan perasaan orang lain. Pertanyaanya adalah, seshalih nabi Musa-kah ia dan selalim Fr’aun-kah yang didakwahi sehingga ia harus berdakwah dengan kata-kata kasar lag menyakitkan? Maka dalam hal ini di antara para ulama menjadikan ayat ini sebagai sandaran metode dakwah yang benar yaitu dengan lemah lembut dan argumentative, sebagaimana pula dakwah Nabiyullah Ibrahim alaihissalam kepada raja Namrudz.
Dakwah adalah dalam rangka mengajak dan bukan mengejek. Sebagai apapun kita hendaknya tetap bersikap lemah lembut keoada sesama, mengedepankan sikap tawadlu tana merasa tawadlu. Karena semua kelebihan yang kita miliki dari orang lain entah yang berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan dalam bidang tertentu dan lain sebagainya hakekatnya adalah anugrah sekaligus Amanah Allah kepada kita, maka hendaknya kita tidak melupakan hal itu sehingga semua itu tidak menyebabkan diri kita menjadi lupa diri.
Hanya dengan landasan akidah yang benar dan kuat sekalgus ditunjang dengan ketundukan hati kita kepada Allah yang akan dapat memgantarkan seseorang untuk bersikap lemah lembut dan saling bertawadlu kepada orang lain. Karena semua manusia adalah istimewa di hadapan Allah tanpa memandang status sosial dan warna kulit atau kebangsaan dan suku apapun, jika ia bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa. Wallahul musta’aan, wallahu a’lam. [*]
Editor: Sudono Syueb)Humas DDII Jatim