Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII
Dewandakwahjatim.com, Padang – Pembukaan acara Rakornas Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah), di Istana Gubernur Sumatera Barat, Kamis (24/2/2022), berlangsung semarak dan penuh hikmat. Salah satu acara ”unik” adalah taushiyah dari Buya HM Mas’oed Abidin (87 tahun), seorang ulama Sumbar, yang juga salah satu kader Mohammad Natsir. Beliau istimewa, disamping usianya, tetapi juga pengalaman dakwahnya yang panjang.
”Yang saya syukuri, sampai saat ini saya tetap berada di jalur dakwah,” kata Buya Mas’oed. Kepada ratusan peserta Rakornas Dewan Da’wah yang hadir dari 28 provinsi di Kota Padang, Buya Mas’oed mengingatkan pentingnya menjaga amanah Pak Natsir, yaitu HDBN (Hidupkan Dakwah, Bangun Negeri).
Dan dakwah itu haruslah da’wah ilallah; yakni berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah, bukan kepada fanatisme kelompok secara membabi-buta, sehingga yang salah pun dibenarkan dan dibela. Menjadi dai ilallah ini senantiasa ditekankan oleh para tokoh dan para ustdz Dewan Da’wah, sebab itu bertentengan dengan amanah Rasululllah saw. Beliau pernah menyampaikan kepada masyarakat, bahwa jika putri beliau (Fatimah r.a) mencuri, maka beliau akan memotong tangannya.
Itulah makna kita harus menegakkan keadilan. Yang dibela hanyalah yang benar. Bukan karena kelompok sendiri, maka dibela secara membabi buta, meskipun ia salah. Apalagi, jika kesalahan itu sudah menyangkut soal aqidah, jangan sampai kita ikut-ikutan membela yang jelas-jelas bathil, hanya karena pelakunya adalah keluarga atau teman dekat atau sesama anggota kelompoknya.
Masalah aqidah atau masalah keimanan adalah hal yang menentukan seorang amalnya diterima atau tidak. Di zaman sekarang, begitu berat ujian untuk mempertahankan iman ini. Allah SWT sudah menegaskan bahwa tidak akan dibiarkan seseorang mengatakan, ”Aku beriman!” sedangkan dia tidak diuji lagi.
Pasti, semua akan diuji imannya, sehingga dengan ujian itu akan tampak mana iman yang benar dan mana iman yang palsu. Dengan ujian akan ketahuan siapa yang lulus dan siapa yang tidak lulus. Ada testing keimanan. Dengan tes keimanan, akan bisa dibuktikan, mana emas dan mana loyang; mana intan yang asli dan yang palsu. Itulah fungsinya ujian keimanan.
”Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami beriman, sedangkan mereka tidak diuji. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS 29:2-3)
Nah, di zaman ini, kita menyaksikan sejumlah kasus yang menunjukkan terjadinya fanatisme buta; yakni pembelaan kepada seseorang bukan karena kebenarannya, tetapi lebih karena fanatisme buta terhadap sesama tema atau anggota kelompoknya.
Kaum Muslimin yang hidup di bawah hegemoni dan cengkeraman peradaban sekular Barat, dipaksa untuk menelan ide-ide Barat itu – suka atau tidak suka. Paham-paham yang bertentangan dengan Islam dijejalkan ke pikiran kaum Muslim, sehingga paham-paham itu menyerbu jantung-jantung pertahanan umat Islam.
Di era dominasi media sosial saat ini, maka proses tabayyun dan cek-ricek ini perlu dibudayakan. Jangan mudah menerima informasi apa saja, lalu menyimpulkan semuanya. Padahal, informasinya masih belum cukup memadai untuk mengambil kesimpulan. Setan begitu terlatih untuk menyesatkan pikiran manusia; termasuk memandang rendah urusan aqidah, sehingga tidak dianggap persoalan penting baginya.
Akhirnya yang terjadi adalah tindakan yang tidak sesuai dengan konsep adab. Yakni, meletakkan aspek lain secara lebih tinggi dari konsep yang sepatutnya. “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu.” (QS Al-An’am:112)
Masalah kemurtadan ini perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur:39).
Dalam kondisi seperti ini, dimana virus-virus perusak aqidah – seperti paham materialisme, liberalisme, sekularisme, Pluralisme Agama dan sebagainya — bergentayangan secara bebas. Maka, tidak ada jalan lain, bagi setiap Muslim, kecuali menguatkan ilmu dan imannya. Harusya dalam kondisi apa pun, maka kedudukan aqidah Islam tidak boleh dianggap sekedar tradisi atau stretegi dakwah Islam secara lebih luas.
Allah dan Rasul-Nya telah berpesan agar kita semua, kaum Muslim, jangan sampai murtad; jangan sampai meninggalkan Islam. ”Janganlah kamu mati, kecuali dalam keadaan Islam!” (QS 3:102). Rasulullah saw juga mengajarkan kepada kita agar berdoa: ”Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah aku dalam agama-Mu!” Kita juga sering berdoa: ”Allahumma innaa nas-aluka salaamatan fid-diin, wa’aafiyatan fil-jasad, wa ziyaadatan fil-’ilmi, wabarakatan fir-rizqi, wa taubatan qablal maut, wa raahatan ’indal maut, wa maghfiratan ba’dal maut…”. (Padang, 24 Februari 2022).
Editor: SudonovSyueb/Humas DDII Jatim