Zubair bin Awwam : Kokoh Memegang Teguh Ucapan Nabi

Dr. Slamet Muliono Redjosari
Pengurus DDII Jatim Bidang Pemikiran lslam

Dewandakwahjatim.com, Surabaya – Zubair bin Awwam merupakan sosok pemberani dan hidupnya untuk membela Islam, serta berpegang teguh pada ucapan nabi. Pendidikan yang keras dari ibunya, Shafiyyah binti Abdul Muththalib, tidak bisa dilepaskan dalam membentuk karakternya yang berani dan teguh berpendirian. Di usianya yang belia, ketika masuk ke dalam Islam sempat disiksa oleh pamannya agar keluar dari agama Muhammad. Tapi keteguhan mempertahankan keislamannya membuat pamannya membiarkan keluar dari agama nenek moyangnya. Kegigihannya memegang teguh ucapan Nabi membuatnya rela mundur dan tidak memerangi Ali bin Abi Thalib. Dia mati syahid karena dibunuh oleh salah seorang pasukan pembela Ali bin Abi Thalib yang menginginkan hadiah dan popularitas.

Hawariyyun dan Pembelaannya pada Nabi

Zubair merupakan keturunan orang besar dan bersambung dengan Khadijah, istri nabi Muhammad. Ayahnya bernama Awwam bin Khuwailid bin Asad bin abdul Uzza bin Qusay bin Kilab, saudara Khadijah. Adapun ibunya yang tidak lain adalah bibi Nabi Muhammad, yakni Shafiyyah bin Abdul Muthatalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ketika ditinggal mati ayahnya, Zubair dididik dan dibesarkan ibunya (Shafiyyah), dengan tempaan yang sangat keras. Ibunya menginginkan Zubair sebagai orang pemberani dan petarung yang unggul. Pada masanya, memiliki anak yang gagah berani dan bisa bertarung mengalahkan orang lain merupakan kebanggaan.

Zubair menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar, sehingga sepasang pemberani itu melahirkan Abdullah bin Zubair, sosok yang terkenal sangat pemberani dan pahlawan dalam Islam, dan sosok Urwah bin Zubair yang menjadi ulama Tabi’in ternama karena didikan langsung dari Aisyah, sang bibi sekaligus saudara Asma’ binti Abu Bakar.
Zubair masuk ke dalam agama Islam di usia yang masih muda, sekitar 12-15 tahun melalui tangan Abu Bakar yang hampir bersamaan dengan Sa’ad bin Abi Waqqash, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Zubair meninggal pada tahun 36 H saat perang Jamal di usia 61 tahun.
Nabi mengakui Zubair sebagai penolong (Hawariyyun) dengan ungkapan nabi yang sangat terkenal : “Setiap umat memiliki penolong. Zubair adalah penolongku.”

Zubair tidak pernah melewati perang bersama Nabi, di antaranya perang Badar, Uhud, Khandaq, dan perang-perang lainnya. Zubair termasuk sahabat yang hijrah ke negeri Habasyah dan Madinah yang dipersaudarakan dengan Thalhah bin Ubaidillah. Nabi pun pernah berkata bahwa Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.

Keberanian Dalam Perang

Zubair merupakan sosok pemberani, dan ingin mati syahid dalam peperangan. Saat perang Uhud, dimana umat Islam mengalami kekalahan, maka Zubair menjadi pembela nabi dengan menjadi tameng dari dari serangan musuh. Demikian pula ketika perang Khandaq dimana umat Islam yang hanya 2.000 dikepung pasukan bersekutu sebanyak 10.000. Pada saat itu, nabi bertanya kepada para sahabat siapa yang sanggup mendapatkan kabar pasukan sekutu. Maka Zubair bin Awwam menyatakan dirinya bersedia. Maka nabi langsung mengatakan bahwa setiap nabi memiliki penolong dan Zubair merupakan penolongku.

Dalam perang Yarmuk, Zubair termasuk pahlawan yang gagah berani hingga tampil menembus barisan musuh sehingga banyak membunuh orang-orang Romawi. Pada saat perang Yarmuk, beberapa sahabat memotivasi Zubair untuk maju menembus benteng musuh di arena perang. Maka Zubair langsung maju sendiri hingga bisa berada di depan pintu gerbang musuh. Begitu berbalik ke belakang tidak ditemui satu sahabat pun. Sehingga dia kembali ke pasukan kaum muslimin sambil mengibas-ngibaskan pedangnya, dan itu membuat pasukan musuh banyak yang mati. Hal itu dilakukan dua kali masuk ke jantung musuh hingga banyak membuat pasukan Romawi kocar-kacir dan banyak yang terbunuh.

Kematian syahid Zubair ketika perang Jamal. Perang melawan pasukan Ali ini termotivasi oleh tuntutan untuk membunuh para pembunuh Utsman yang mati terbunuh olehpara pemberontak. Dalam perang Jamal itu, Zubair bersama Thalhah bin Ubaidillah dan Aisyah. Saat perang berkecamuk, dua pihak sepakat melakukan gencatan senjata. Saat gencatan senjata itu, terjadi kesepakatan damai. Ali sempat berdialog dengan Zubair. Ali mengingatkan pada mereka berdua pernah berjalan bertemu nabi. Ketika itu nabi menepuk pundak Zubair dan mengatakan bahwa kamu nanti akan memerangi Ali dan kamu berada di pihak yang dzalim. Maka Zubair membenarkan cerita Ali, bersepakat meninggalkan pasukannya karena mengingat sabda Nabi itu.

Ketika perjalanan pulang, Zubair sampai di sebuah daerah bertemu Al-Khabbab dan menemukan tempat menginap. Saat itu Al-Khabbab keluar, ada seorang laki-laki pasukan Ali yang bernama Amr bin Jurmuz. Di tengah malam Zubair mengatakan ucapan-ucapan tentang dirinya yang rela meninggalkan pasukan agar keluar dari fitnah dunia dan agama. Hal ini tidak lain karena ingat sabda Nabi bahwa Ali adalah di pihak yang benar dan dirinya salah.

Saat mengucapkan itu didengar oleh Amr bin Jurmuz, dan saat Zubair shalat malam, maka Amr bin Jurmuz mengambil tombak dan menusuk Zubair dari belakang. Dia kemudian memenggal leher Zubair dan membawa kepalanya untuk diserahkan pada Ali. Dengan harapan mendapat hadiah dan pujian dari Ali ternyata Amr bin Jurmuz justru dikatakan sebagai penghuni neraka karena membunuh Zubair. Ali marah dan menangis ketika melihat pedang yang diserahkan Amr bin Jurmuz kepadanya. Ali menangis karena pedang Zubair telah membela nabi di berbagai peperangan.

Zubair merupakan sosok agung yang berpegang teguh pada ucapan nabi. Karena keteguhannya memegang ucapan nabi itulah membuat dia berada di jalan yang benar dan tidak terjerumus ke jalan yang menyimpang.(Surabaya, 24 Pebruari 2022)

Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *