Bukan Kefakiran Kekhawatiran Rasulullah

Oleh: Hidayatullah
Pengurus DDII Jatim Bidang Organisasi

Dewandakwahjatim.com, Surabaya –
عن عمرو بن عوف الأنصاري رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قالَ: فأبْشِرُوا وأَمِّلُوا ما يَسُرُّكُمْ، فَوَاللَّهِ لا الفَقْرَ أَخْشَى علَيْكُم، ولَكِنْ أَخَشَى علَيْكُم أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كما بُسِطَتْ علَى مَن كانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كما تَنَافَسُوهَا وتُهْلِكَكُمْ كما أَهْلَكَتْهُمْ. رواه البخارى

Dari Amr bin Auf al Anshari, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, “Bergembiralah dan berharaplah apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah bukan kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian tetapi aku khawatir jika dunia (kekayaan) dibentangkan (diluaskan) atas kalian sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba memperoleh kekayaan itu. Seperti yang mereka lakukan dan akhirnya kekayaan itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka” (HR. al-Bukhari).

Akhsya ‘alaikum

Akhsya ‘alaikum bermakna yang aku kahawatirkan atau takutkan. Kalimat ini terucap oleh Rasulullah dengan dimulai dengan kata sumpah. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat ini merupakan kalimat yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian. Dalam sebuah sumpah menunjukkan adanya hampir ketidak percayaan dari lawan bicara, sehingga sumpah itu terucap.

Hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan tentang kekhawatiran beliau bukanlah kefakiran yang akan menimpa atas sahabat – sahabat dan tentu juga untuk umat beliau, akan tetapi justru sebaliknya yaitu kemudahan mendapatkan kekayaan. Maka berhati-hatilah ketika hal itu telah terjadi pada setiap hamba.

Cerita Hadits

Hadits di atas menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah ke Bahrain untuk mengambil upeti Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah membuat perdamaian dengan penduduk Bahrain dan mengangkat al A’la bin Hadrami sebagai pemimpin mereka, lalau Abu Ubaidah pulang dengan membawa harta benda dari Bahrain.

Ketika kaum anshar mendengar kembalinya Abu Ubaidah mereka tengah melaksanakan shalat shubuh Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, Ketika selesai shalat beliau beranjaka pergi, merekapun mencegahnya sehingga beliau tersenyum melihat tingkah laku mereka itu, lalu beliau bersabda: “Aku kira kalian telah mendengar Abu Ubaidah telah Kembali dari dari Bahrain dengan membawa sesuatu? Mereka menjawab: benar wahai Rasulullah, lalu beliau bersabda:
“Bergembiralah dan berharaplah apa yang menyenangkan kalian. Demi Allah bukan kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian tetapi aku khawatir jika dunia (kekayaan) dibentangkan (diluaskan) atas kalian sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba memperoleh kekayaan itu. Seperti yang mereka lakukan dan akhirnya kekayaan itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka” (HR. al-Bukhari).

Kekayaan dihamparkan

Rasulullah justru khawatir jika kekayaaan itu dihamparkan dengan kalimat beliau: walaakin akhsya ‘alaikum an tubsatha ‘alaikumuddun ya, justru yang aku khawatirkan adalah dihamparkannya atas kalian harta dunia. Karena harta dunia ini yang kemudian menjadikan rusaknya kaum terdahulu, mereka tidak mau taat kepada Allah dan hanya sibuk dengan urusan duniawinya. Bahkan di antaranya dalam rangka mendapatkan harta duniawinya itu tidak lagi peduli dengan cara yang halal atau haram.

Banyak di antara manusia itu ketika mereka diberi kekayaan mereka merasa memiliki kekuasaan, akibat berikutnya adalah mereka menjadi sombong dan seringkali berbuat yang diluar pertimbangan agama. Seolah kekayaan itu merupakan kasih sayang Allah tercurah padanya dan karena kehebatan dirinya yang luar biasa. Padahal kekayaan itu Amanah yang nantinya pasti akan dimintai pertanggung jawaban, dari mana mendapatlannya dan untuk apa dipergnakannya?

Setiap hamba wajib berikhtiyar atau berusaha dalam mengais rezeki dari Allah, sekalipun Allah telah memberikan jaminan akan rezeki bagi setiap hambaNya. Dengan ikhtiyar itulah Allah akan mengaruniakan rezeki itu kepada hamba-hambaNya.

Seorang hamba yang berikhtiyar dengan membuka toko kelontong misalnya, maka ia setiap harinya hanya menunggu pembeli yang datang ke tokonya untuk bertransaksi. Pertanyaannya adalah: Siapakah yang menggerakkan hati seseorang untuk datang membeli barang dari toko tersebut? Tentu Allah yang menggerakkan hati mereka sehingga toko tersebut menjadi laris manis. Begitulah cara Allah memberikan rezeki kepada hamba-hamba-Nya. Jadi tidak ada kehebatan diri sedikitpun dalam diri ini kecuali semua itu karena pertolomgan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tentu sebagai pelengkap dalam ikhtiyar itu di antaranya harus memberikan layanan yang baik dan juga barangkali harga yang lebih murah dari lainnya. Semua itu merupakan Amanah bagaimana setiap hamba menyikapi akan karunia Allah yang diberikan kepadanya.

Demikian pula seorang pengusaha sukses lainnya dalam bidang atau produk tertentu. Semua itu pada hakekatnya adalah pertolongan Allah kepadanya sehingga mendapatkan kekayaan itu. Rasulullah mewanti-wanti agar dengan kekayaan itu jangan sampai seseorang lupa diri dan merasa hebat dan sombong kepada hamba-hamba Allah lainnya.

كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (al Alaq; 6 -7)

Wara’ dan zuhud

Kaya dan miskin keduanya adalah ujian dari Allah, untuk mengetahui siapa hamba yang bersyukur dan siapa hamba yang sabar atau sebaliknya. Bagi seorang mukmin, bersikap wara’ dan zuhud merupakan wujud dari keimanannya itu.

Di antara para ulama berpendapat bahwa zuhud itu lebih tinggi dari wara’. Wara itu didefinisikan dengan taraka maa yadlurru yakni meninggalkan apa yang membahayakan, khususnya dalam hal ini adalah dalam kepentingan kehidupan di akhiratnya. Sedangkan zuhud didefinisikan dengan taraka ma lanfa’u yakni meninggalkan apa yang tidak bermanfaat, khususnya dalam hal ini adalah dalam kepentingan kehidupan di akhiratnya. Setipa Zahid yakni orang yang zuhud selalu wara’ dan seorang yang wara’ belum tentu Zahid.

Dunia hanya sementara, akhirat itu selamanya. Seyogyanya seorang mukmin itu tetap bersikap wajar dengan apa yang dititipkan oleh Allah kepadanya. Bukanlah kekayaan itu tanda kemuliaan seseorang dari Allah, dan bukanlah kefakiran itu tanda kehinaan seseorang dari Allah, keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali. Maka jika ada orang yang kaya lalu merasa dirinya hebat dan sombong, hal itu menunjukkan bahwa ia tidak memahami akan hakekat kekayaan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Wallahu ‘alam bishshawab.

Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *