KULIAH ISLAM DAN KEINDONESIAAN DI PESANTREN AT-TAQWA DEPOK

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII

Dewandakwahjatim.com, Depok – Hari Sabtu (29/1/2022), saya mulai mengisi kuliah “Islam dan Keindonesiaan” di Pesantren at-Taqwa Depok. Kuliah diikuti oleh seluruh santri Pesantren at-Taqwa dan juga para guru. InsyaAllah, kuliah berlangsung tiap dua pekan sekali. Atau sebulan dua kali.

Dalam kuliah pembukaan ini, kepada para santri saya menjelaskan pentingnya kita memahami masalah Islam dan keindonesiaan dengan adil (wasathiyah). Jangan sampai santri terjebak pada pemikiran ekstrim. Contohnya, ada yang sangat bersemangat membela Islam, tetapi berlebihan (ghuluw) pemahamannya.
Mereka berpikir, bahwa kita tidak mungkin menjadi orang muslim yang baik, sekaligus menjadi orang Indonesia yang baik. Akibatnya, mereka kemudian memandang bahwa untuk menjadi orang baik, maka harus pergi dari Indonesia menuju satu tempat yang menurutnya telah menerapkan Islam secara kaffah.
Cara berpikir seperti itu berlebihan. Sebab, Allah memerintahkan kepada semua muslim – dimana saja dan kapan saja – harus menjadi orang muslim yang baik; harus menjadi orang yang beriman bertaqwa dan berakhlak mulia. Orang muslim harus bertaqwa, baik ia tinggal di Depok, Saudi Arabia atau di Rusia.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan ber-Islam.” (QS 3: 104).

Perintah Allah itu ditujukan kepada semua muslim, dimana pun berada. Tentulah pada masing-masing kondisi dan situasi, orang muslim mendapatkan tantangan yang berbeda-beda. Muslim yang tinggal di Arab Saudi lebih mudah mendapatkan pendidikan Islam dan berbagai lingkungan kehidupan yang Islami.
Itu berbeda dengan muslim yang tinggal di negara-negara sekuler dan mayoritasnya non-muslim. Tantangan menjaga iman menjadi lebih berat. Tetapi, hal itu tidak menjadi alasan untuk bolehnya meninggalkan ajaran Islam. Jika kondisi dan situasi di negara itu tidak mungkin lagi untuk mempertahankan aqidah dan menjalankan kewajibannya sebagai muslim, maka ia berkewajiban hijrah.
Kepada para santri saya tekankan pentingnya memahami worldview Islam, bahwa kita lahir di Indonesia ini adalah takdir dan kehendak Allah SWT. Para ulama Islam dulu banyak yang meninggalkan negerinya di kawasan Timur Tengah dan memilih untuk menetap di berbagai pelosok Nusantara.
Padahal, ketika itu, tantangan dakwah sangatlah berat. Paham-paham animisme dan praktik kanibalisme pernah hidup di bumi Nusantara ini. Kerajaan Hindu dan Budha ketika itu masih berkuasa. Masyarakat ketika itu ada yang menjalankan ritual seks bebas dan mempersembahkan korban dengan cara menyembelih wanita.

Para dai yang datang di Nusantara berdakwah dengan cerdas, bijak dan sabar. Dengan dakwah seperti itulah, maka negeri yang seratus persen penduduknya bukan muslim, kemudian menjadi negeri yang hampir 100 persen penduduknya muslim. Jadi, Indonesia ini adalah amanah para ulama. Nasionalisme di Indonesia tumbuh bersama semangat perlawanan terhadap penjajah dan mewujudkan kemerdekaan.
Karena itu, para santri saya ajak untuk memahami bahwa mereka harus menjadi “khaira ummah” agar bisa melanjutkan perjuangan para ulama terdahulu. Mereka harus mampu menjadi “pemimpin” di berbagai bidang kehidupan. Jadi, untuk menjadi muslim yang baik, tetap bisa tinggal di Indonesia.

Saya sampaikan sejumlah contoh perjuangan para pendahulu kita dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankannya. Kepada para santri juga dibagikan buku yang beru saya luncurkan, yaitu: Berbeda Berdialog Berjuang Bersama (Jakarta: DDII, 2022).
Jadi, para tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir, Buya Hamka, Sjafruddin Prawiranegara, dan sebagainya, tidak mengalami problem ketika menerapkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks keindonesiaan. KH Hasyim Asy’ari kita kenal dengan fatwa jihadnya yang berisi ajakan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan kewajiban berjihad melawan penjajah Belanda dan sekutu-sekutunya.
Mohammad Natsir juga dikenal dengan Mosi Integral-nya. Melalui mosi itu, Mohammad Natsir berhasil menyatukan seluruh fraksi di DPR, untuk bersepakat kembali kepada bentuk Negara Kesatuan. Setelah Mosi Integral sukses, maka Mohammad Natsir diangkat oleh Presiden Soekarno, sebagai Perdana Menteri NKRI.
Ketika itu, Mohammad Natsir dan banyak ulama tidak mempertentangan antara Islam dan Indonesia. Mereka tentu sangat paham, bahwa Indonesia saat itu bukanlah negara yang menerapkan aqidah dan syariat Islam secara keseluruhan. Bahkan, Indonesia sempat direkayasa agar menjadi negara sekuler yang ekstrim, sampai melarang muslimah berjilbab di sekolah negeri. Dengan dakwah yang berlangsung terus-menerus, akhirnya jilbab pun diizinkan di sekolah negeri atau di berbagai instansi pemerintah, temasuk TNI dan Polri.

Itulah sekilas contoh pentingnya para santri memiliki wawasan kebangsaan yang adil. Jangan sampai para santri menjadi ekstrim, dengan terlalu berlebihan dalam menjalankan syariat Islam, sehingga sampai mengkafirkan sesama muslim. Pada kutub lainnya, masih banyak yang berpendapat bahwa syariat Islam tidak boleh diterapkan dalam konteks kenegaraan. Padahal, saat ini, syariat Islam itu telah berlaku di Indonesia, dalam sejumlah aspek kehidupan.
Mudah-mudahan dengan kuliah “Islam dan Keindonesiaan” yang serius, santai, dan komprehensif, maka para santri dapat memproyeksikan masa depannya yang lebih baik, dalam menjalani kehidupan di bumi Indonesia. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 30 Januari 2022).(Sudono Syueb/Humas DDII Jatim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *