Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII
Dewandakwahjatim.com, Depok - Sejak berdirinya negara Yahudi Israel, 14 Mei 1948, kaum Zionis Israel sangat memperhatikan logika kekuatan. Bagi mereka, kekuatan adalah segala-galanya dalam mewujudkan keinginan dan ambisi-ambisi mereka. Khususnya dalam mempertahankan pendudukan terhadap wilayah Palestina.
Pada 14 September 2021, situs Republika Online menurunkan berita berjudul: “PBB Soroti Penggunaan Kekerasan Israel Terhadap Palestina.” Disebutkan, bahwa Komisaris Tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Michelle Bachelet menyesalkan penggunaan kekuatan berlebihan atau sama sekali tidak beralasan oleh pasukan keamanan Israel terhadap warga Palestina.
Pernyataan pejabat tinggi PBB itu bukan hal baru. Dari tahun ke tahun, masyarakat internasional secara rutin disuguhi penggunaan kekerasan Israel terhadap Palestina. Sebagai contoh, tahun 2005 ada kejadian penting berupa pembunuhan dua tokoh Hamas. Ketika itu, dua tokoh puncak Hamas dibunuh dengan serangan helikopter. Pada 22 Maret 2005, Syekh Ahmad Yassin, meninggal dirudal helikopter Israel. Sabtu, 17 April 2005, giliran Abdul Azis Rantisi dibunuh Israel dengan cara serupa.
Perdana Menteri Israel ketika itu adalah Ariel Sharon, tokoh Yahudi yang juga dikenal melakukan berbagai aksi pembunuhan warga Palestina. Pasca terbunuhnya Yassin, Menteri Pertahanan Israel Saul Mofaz berkata: “Akan kami bunuh semua pemimpin Hamas Palestina”.
Menurutnya, jika ada reaksi terhadap itu, maka itu hanya bersifat sementara dan akan segera dilupakan. Ketika itu, Gedung Putih pun hanya menyesalkan. “We are deeply troubled by this morning’s actions in Gaza,” kata Condoleeza Rice, penasehat keamanan Gedung Putih, setelah terbunuhnya Syeikh Yassin.
Namun, ia juga menyatakan, bahwa Hamas adalah teroris dunia dan Yassin adalah pemimpinnya. Katanya: “Let’s remember that Hamas is a terrorist organization and that Sheikh Yassin himself has been heavily involved in terrorism.”
Sikap AS inilah yang telah semakin memicu kenekadan pemimpin Israel untuk terus membunuh para pemimpin Hamas. Pasca terbunuhnya Rantisi, Israel juga menyatakan, bahwa mereka telah membunuh seorang “mastermind of terrorism”, dan terus menyatakan akan terus membunuh pemimpin militan Palestina.
“Israel… today struck a mastermind of terrorism, with blood on his hands,” kata Juru Bicara Kementeian Luar Negeri Israel, Jonathan Peled. “Jika otoritas Palestina tidak memberangus terorisme, maka Israel akan melanjutkan tindakan itu sendiri,” sambungnya.
Tentu saja, aksi militer Israel terhadap Yassin dan juga Rantisi menjadikan masalah Palestina dan juga perdamaian dunia semakin rumit dan utopis. Eskalasi kekerasan terus meningkat di mana-mana. Dan ini berakar dari “logika kekuatan” yang digunakan oleh Israel dan juga penyokong utamanya, AS.
Inggris sendiri segera menyatakan kecamannya terhadap tindakan Israel. Menlu Jack Straw menyatakan, bahwa pembunuhan terhadap Rantisi, merupakan tindakan ilegal dan kontraproduktif. “The British government has made it repeatedly clear that so-called ‘targeted assassinations’ of this kind are unlawful, unjustified and counter-productive,” kata Straw pasca terbunuhnya Rantisi.
Sebagai seorang Zionis sejati, Ariel Sharon memang dikenal kuat pendukung logika kekuatan. Hanya kekuatan yang dapat menyelamatkan bangsa Israel. Pada 29 April 2003, saat peringatan Holocaust, Sharon berpidato: “The murder of six million Jews has demonstrated that the Jewish people can only achieve security through strength.”
Dengan mengenakan peci khas Yahudi (kipa) Sharon menegaskan, bahwa hanya kekuatan (strength) yang dapat menyelamatkan bangsa Yahudi. Karena itu, ia tidak terlalu percaya pada penggunaan cara-cara yang dinilainya menunjukkan kelemahan, seperti diplomasi, perundingan, dan sejenisnya.
Kaum Zionis bisa merujuk penggunaan kekerasan atau kekuatan untuk mencapai tujuannya pada sejumlah teks Bibel. Kitab Yosua (pemimpin Yahudi, pengganti Moses), banyak menyebut pembantaian manusia saat penaklukan Jericho dan Ai, tanpa pandang tua, muda, wanita, laki-laki, sampai binatang sekali pun.
“Bersoraklah, sebab Tuhan telah menyerahkan kota ini kepadamu. Dan kota itu dengan segala isinya akan dikhususkan bagi Tuhan untuk dimusnahkan.” (Yosua, 6:16-17). Hanya seorang pelacur dan seisi rumahnya yang diselamatkan. (Yosua 6:17). “Mereka menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu, kuda, dan keledai.” (Yosua, 6:21).
Akan tetapi, penggunaan kekerasan dan kekuatan yang berlebihan oleh Israel terhadap warga Palestina, justru meningkatkan persepsi negatif terhadap Israel. Tahun 2004, polling di kalangan masyarakat Eropa, menunjukkan, Israel dipandang sebagai ancaman pertama bagi perdamaian dunia. Awal Januari 2004, Koran Haaretz menyebutkan, 54 persen warga Israel mendesak pemerintah Israel agar melakukan usaha lebih aktif untuk melawan gelombang anti-Yahudi di Eropa.
Mereka memandang, baru kali ini setelah Perang Dunia II, muncul gelombang anti-Yahudi yang begitu besar di Eropa. Ketakutan di kalangan Yahudi semakin meningkat. Itu bisa dilihat, misalnya, pada reaksi kalangan Yahudi terhadap film Mel Gibson ‘The Passion of the Christ’ yang dikatakan Paus Yohannes Paulus II sebagai “It is as It was”. Padahal, film ini jelas memberi gambaran peran sentral pemuka Yahudi (Kayafas) dalam pembunuhan Jesus. Kata Godfrey Boulond, tokoh Perang Salib, “Darah Kristus harus dibalas dengan darah orang Yahudi, sampai kapan pun.”
Inilah yang sejak lama dikhawatirkan oleh sejumlah cendekiawan Yahudi anti-Zionis. Bahwa, negara Israel bukan hanya menjadi ancaman bagi Timur Tengah, tetapi juga ancaman bagi dunia internasional. “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond,” kata Dr. Israel Shahak, dalam bukunya, Jewish History Jewish Religion.
Jadi, kekerasan yang digunakan Israel, pada akhirnya justru merugikan posisi mereka sendiri di dunia internasional. Hingga kini, pemerintah Indonesia tetap menegaskan komitmennya untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Tentu kita berharap, ke depan, Indonesia semakin memainkan peranannya dalam membantu perjuangan Palestina. (Depok, 13 Januari 2022).