MAKNA FATWA MUI TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA

Oleh: Dr. Adian Husaini

Ketua Umum DDII Pusat

Dewwndakwahjatim.com,Bojonegoro - Tidak bisa dipungkiri, bahwa di antara hari-har besar agama-agama di Indonesia, hanya Perayaan Natal Bersama saja yang telah memicu perdebatan dalam beberapa dekade belakangan ini. Padahal, ada enam agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. 

Entah mengapa jarang kita mendengar ada diskusi-diskusi dan perdebatan tentang Perayaan Waisak Bersama, Perayaan Galungan Bersama, dan Perayaan Imlek Bersama. Saat masih duduk di kepengurusan MUI Pusat bidang Kerukunan Umat Beragama, saya pernah mengusulkan kepada pimpinan MUI, agar fatwa Perayaan Natal Bersama juga diperluas menjadi Perayaan Hari-hari Besar agama-agama lainnya.

Memang usulan itu belum terlaksana sampai sekarang. Seperti kita ketahui, fatwa Perayaan Natal Bersama MUI itu, sudah memakan “korban”, yaitu mundurnya Buya Hamka sebagai Ketua MUI, tahun 1981. Saat itu, pihak pemerintah melalui Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara, meminta agar fatwa MUI itu ditarik dulu peredarannya. 

Namun, Buya Hamka menolak. Beliau lebih memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI, daripada harus menarik peredaran fatwa Natal tersebut. Jadi, masalah Perayaan Natal Bersama itu sudah menjadi bahan diskusi yang hangat selama puluhan tahun.
Dan sejak dulu, masalah itu terus bergulir. Pelan-pelan masyarakat terbiasa dalam menghadapi perbedaan pendapat. Masing-masing meyakini sikapnya dan masing-masing akan bertanggung jawab kepada Allah SWT atas pilihan sikapnya. Tugas para ulama adalah mengingatkan. Jika ulama tidak mengingatkan, maka mereka melalaikan tugasnya.
Sebenarnya ada satu aspek penting bagi kaum Kristiani dalam merayakan Hari Natal, yaitu aspek tugas mereka untuk menjalankan misi agama mereka. Sama halnya umat Islam mendapatkan tugas untuk menyampaikan dakwah kepada kaum Yahudi dan Nasrani.
Secara khusus, tugas itu diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad saw dan dilanjutkan oleh umatnya. “Katakanlah, wahai ahlul kitab (Yahudi-Nasrani), marilah kita kembali kepada satu kalimah yang sama, antara kami dan kalian, bahwasanya kita tidak menyembah kecuali kepada Allah SWT, dan kita tidak menyekutukan Allah dengan apa pun juga.” (QS 3:64).


Sebaliknya, kaum Kristen juga memiliki kewajiban agama mereka untuk mengajak umat manusia agar menerima dan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat. Misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja Kristen.
Konsili Vatikan II (1962-1965), yang sering dikatakan membawa angin segar dalam hubungan antar umat beragama, juga mengeluarkan satu dokumen khusus tentang misi Kristen (The Decree on the Missionary Activity) yang disebut “ad gentes” (kepada bangsa-bangsa).


Dalam dokumen Konsili Vatikan II lainnya, yaitu nostra aetate, memang dikatakan, bahwa mereka menghargai kaum Muslim, yang menyembah satu Tuhan dan mengajak kaum Muslim untuk melupakan masa lalu serta melakukan kerjasama untuk memperjuangkan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian, dan kebebasan. (“Upon the Moslems, too, the Church looks with esteem. They adore one God, living and enduring, merciful and all-powerful, Maker of heaven and earth …Although in the cause of the centuries many quarrels and hostilities have arisen between Christians and Moslems, this most sacred Synod urges alls to forget the past and to strive sincerely for mutual understanding On behalf of all mankind, let them make common cause of safeguarding and fostering social justice, moral values, peace, and freedom.”).


Tetapi, dalam dokumen ad gentes ditegaskan, misi Kristen harus tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan, bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi “sakramen universal penyelamatan umat manusia (the universal sacrament of salvation), dan untuk memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to proclaim the gospel to all men).


Juga ditegaskan, semua manusia harus dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan pembaptisan. (Therefore, all must be converted to Him, made known by the Church’s preaching, and all must be incorporated into Him by baptism and into the Church which is His body).
Jadi, adalah hal yang normal, bahwa kaum Kristen ingin menyebarkan agamanya, dan memandang penyebaran misi Kristen sebagai tugas suci mereka. Dengan memahami hakekat Perayaan Natal, seyogyanya kaum non-Muslim menghormati fatwa Majelis Ulama Indonesia yang melarang umat Islam untuk menghadiri Perayaan Natal Bersama.


MUI tidak melarang kaum Kristen merayakan Natal. MUI tidak meminta umat Islam untuk mengganggu Perayaan Natal. Bahkan, semua semua ulama di Indonesia, pasti setuju agar umat Islam jangan mengganggu Hari Raya agama-agama lain, termasuk Hari Natal.
Fatwa MUI itu adalah untuk internal umat Islam, dan sama sekali tidak merugikan pemeluk Kristen. Fatwa itu dimaksudkan untuk menjaga kemurnian aqidah Islam dan menghormati pemeluk Kristen dalam merayakan Hari Natal. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.


Masalah peringatan Hari Besar Agama, sudah diberi contoh dan penjelasan yang jelas oleh Rasulullah saw, dan dicontohkan oleh para sahabat Rasul yang mulia. Sebaiknya hal ini dikaji secara ilmiah dari sudut ketentuan-ketentuan Islam. Untuk berijtihad, memutuskan mana yang halal dan mana yang haram, memerlukan kehati-hatian, dan menghindari kesembronoan.


Peringatan Hari Raya Keagamaan, sebaiknya tetap dipertahankan sebagai hal yang eksklusif milik masing-masing umat beragama. Biar masing-masing pemeluk agama meyakini keyakinan agamanya, tanpa dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keimanannya.


Masih banyak cara dan jalan untuk membangun sikap untuk saling mengenal dan mengenal antar umat beragama, seperti bersama-sama melawan kezaliman global yang menindas umat manusia, memberantas kemiskinan, dan sebagainya. Agama adalah modal dasar yang sangat potensial dalam pembangunan bangsa.
Umat ​​beragama yang yakin dengan agamanya memiliki potensi besar untuk melakukan tindakan-tindakan kemanusiaan dengan ikhlas, karena mereka yakin dengan balasan dan pahala dari Tuhan. Wallahu A’lam bish-shawab. (Bojonegoro, 25 Desember 2021).

Editor: Sudono Syueb/Humas DDII Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *