Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Semarang – Mungkin banyak kalangan yang belum bisa memahami, mengapa banyak kaum muslim yang terlibat dalam perayaan Natal atau “sekedar” mengucapkan “Selamat Natal”. Itu terjadi, karena umat Islam memiliki kitab suci (al-Quran) yang secara tegas menyatakan, bahwa Isa ibnu Maryam adalah seorang Nabi, utusan Allah, yang diutus khusus kepada bangsa keturunan Israel.
Dan ingatlah ketika Isa ibnu Maryam berkata, wahai Bani Israel, sesungguhnya aku adalah utusan Allah atas kalian, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul sebelumku, yang namanya namanya Ahmad (Muhammad). Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata.” (QS 61:6).
Dalam al-Quran surat Maryam disebutkan, bahwa memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “dosa besar”. Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka menuduh bahwa al-Rahman itu punya anak.” (QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Selama 800 tahun memimpin Andalusia, umat Islam menjadi contoh dalam kehidupan toleransi beragama.
Tapi, dalam soal keimanan dan ibadah, umat Islam diajarkan bersikap tegas, tidak menggampangkan. Dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Jangan main-main dengan hal ini. Para sahabat Nabi saw dan para ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman. Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39).
Karena itu, tegas Buya Hamka, ”Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi.” Silakan dibaca dalam tulisan Buya Hamka yang berjudul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Tentu saja, hanya umat Islam yang memiliki kitab suci yang secara kritis menyoroti konsep ”Ketuhanan Yesus”. Karena itulah, umat Islam sangat kritis dan sensitif dalam soal keimanan yang menyangkut kedudukan Nabi Isa a.s. Bahkan, secara tegas al-Quran membantah kepercayaan bahwa Nabi Isa meninggal di kayu salib. (QS 4:157).
Karena itu, mohon dimaklumi, jika hanya umat Islam yang terkesan begitu kritis dalam menyikapi soal Perayaan Natal. Jadi, jika umat Islam tidak hadir dalam Perayaan Natal atau tidak mengucapkan selamat Natal, itu bukan pertanda bahwa umat Islam tidak toleran dengan pemeluk Kristen. Sebab, bersikap toleran terhadap agama lain adalah perintah Allah dan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ”Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku,” begitu ditegaskan dalam al-Quran.
Disamping diperintahkan untuk bersikap toleran dan berbuat baik sesama manusia, apa pun agamanya, umat Islam juga memiliki tradisi yang kuat dalam memahami ajaran-ajaran berbagai agama. Termasuk agama Yahudi dan Kristen. Para ulama Islam begitu banyak melakukan kajian mendalam terhadap ajaran agama Kristen. Ibnu Taymiyah misalnya, menulis satu kitab tebal berjudul “al-Jawaab al-shahih liman baddala din al-Masih” (Jawaban yang Benar terhadap orang yang Mengubah Agama al-Masih).
Untuk memahami konsep Trinitas – sebagaimana dipahami dan dipercayai oleh Kaum Kristen – ada baiknya kita sekedar menelaah secara singkat konsep Trinitas dalam agama Kristen. The Interpreter’s Dictionary of the Bible menjelaskan, bahwa istilah ‘trinitas’ (Latin: trinitas, Inggris: trinity) merujuk pada pengertian: “the coexistence of Father, Son, and Holy Spirit in the Unity of the Godhead”.
Istilah ini bukan merupakan istilah Biblical. Tapi, mewakili kristalisasi dari ajaran Perjanjian Baru. Dalam Matius 3:17 disebutkan: “Maka suatu suara dari langit mengatakan, “Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya Aku berkenan.” Juga, Lukas 4:41 menyebutkan bahwa Yesus itu adalah Anak Allah.”
Tentang Konsep Trinitas, tokoh Kristen abad ke-13, Thomas Aquinas mengungkapkan dengan kata-kata: “… deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari” (Bahwa Tuhan itu tiga dan satu hanya diketahui dengan kepercayaan, dan sama sekali tidak mungkin hal ini dibuktikan secara demonstratif dengan alasan). (The Interpreter’s Dictionary of the Bible, (Nashville: Abingdon Press, 1989; Douglas C. Hall, The Trinity, (Leiden: EJ Brill, 1992).
Sejak Konsili Nicea (325 M), masalah serius dan kolaboratif memang masalah ‘ketuhanan Yesus’. Bagaimana menjelaskan bahwa Yesus adalah ‘Tuhan’ dan sekaligus ‘manusia’. Apa yang disebut kaum Katolik sebagai ‘Syahadat Nicea’, secara eksplisit kutukan pemikiran Arius, seorang imam Alexandria yang lahir tahun 280. Arius – didukung seorang uskup – menyebarkan pemahaman bahwa Yesus Tuhan adalah Tuhan, esa, transenden, dan tak tercapai oleh manusia. Yesus adalah ‘Firman Allah’ yang secara metafor boleh disebut ‘Anak Allah’ boleh Tuhan, tetapi ciptaan, ciptaan, dan tidak kekal abadi.
‘Syahadat Nicea’ menyatakan: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada…” (Teks ‘Syahadat Nicea’ dikutip dari buku Konsili-konsili Gereja karya Norman P. Tanner, hal. 36-37).
Bandingkan teks ini dengan buku “Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang melihat dan melihat, Dan akan melihat satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad…” (Alex I. Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 9-10) .
Tetapi, ‘Syahadat Katolik’ pernah juga menjadi perbincangan hebat dalam sejarah Kristen. Konsili Efesus, tahun 431 M, melarang perubahan apa pun pada ‘Syahadat Nicea’, dengan ancaman kutukan Gereja. Namun, Konsili Kalsedon, tahun 451, mengubah ‘Syahadat Nicea’. Kutukan terhadap Arius dihapuskan. Naskah syahadat Konsili Kalsedon berasal dari konsili lokal di Konstantinopel tahun 381. Sebab, naskah edisi tahun 325 dianggap sudah tidak memadai untuk menghadapi situasi baru. Kalangan teolog Kristen ada yang menyebut bahwa naskah tahun 381 adalah perbaikan naskah tahun 325, tanpa mengorbankan disiplin teologisnya. Naskah syahadat itu di kalangan sarjana disebut “Syahadat dari Nicea dan Konstantinopel” disingkat NC. Naskah syahadat NC ini hingga sekarang menjadi naskah syahadat penting dari kebanyakan Gereja Kristiani.
Penambahan itu untuk keilahian dan kesenangan antara Putra dengan Bapa. Paus, yang mulanya menolak penambahan itu, akhirnya menerima dan mendukungnya. Namun, Gereja Timur menolak, karena melanggar Konsili Efesus. Penambahan ini kemudian menjadi penyebab utama terjadinya skisma – perpecahan – antara dua Gereja (Barat dan Timur) pada abad ke-11. Konsili Vatikan II juga membuat perubahan kecil pada Syahadat NC, dengan mengganti kata pembuka “Aku percaya” menjadi “Kami percaya”. (Lihat Norman P. Tanner, Gereja Konsili-konsili, hal. 35-4).
ikhtisar gambaran dan seputar konsep Trinitas dalam agama Kristen. Sudah seribu tahun lebih kaum Muslim dan kaum Kristen melakukan interaksi, dialog, mempromosikan seputar masalah Ketuhanan Yesus. Kini, saatnya, menyadari perbedaan masing-masing dan memahami berbagai hal untuk mewujudkan bangsa Indonesia. (Semarang, 24 Desember 2021).(Sudono/Humas DDII Jatim)