Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Dewandakwahjatim.com, Sukabumi – Dalam berbagai kesempatan, saya menekankan pentingnya membentuk keluarga sebagai “the real university”. Yakni, keluarga menjadi tempat pendidikan utama bagi anak-anak. Sebab, tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang baik (good man). Itulah makna keluarga sebagai universitas yang sesungguhnya (the real university).
Tahun 2045, kita memasuki usia 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. Ada waktu sekitar 20 tahun untuk menyiapkan lahirnya satu generasi yang unggul. Karena itulah, mulai saat ini, umat Islam perlu menyusun peta jalan pendidikan yang mengarahkan terbentuknya generasi unggul tersebut.
Saat ini, suka tidak suka, model pendidikan online sudah semakin membudaya. Sebab, di era disrupsi, hal-hal yang tidak efisien, akan semakin ditinggalkan. Dengan semakin meluasnya model pembelajaran online, maka peran universitas untuk membentuk pribadi-pribadi unggul, akan semakin berkurang.
Pribadi unggul hanya bisa dibentuk dengan penanaman nilai-nilai yang baik. Dan itu memerlukan guru yang bisa menjadi teladan, motivator, dan inspirator bagi para murid-muridnya. Peran itulah yang bisa dan harus dimainkan dengan baik oleh para orang tua.
Itu bukan berarti meninggalkan pembelajaran di Perguruan Tinggi formal. Tetapi, dengan semakin menguatnya dominasi pembelajaran online, maka peran pendidikan yang utama sudah sangat sulit dilakukan oleh pihak universitas formal. Dalam kondisi seperti ini, maka peran orang tua, kyai, dan guru-guru akhlak justru semakin diharapkan.
Rasulullah saw sudah memerintahkan agar umatnya memiliki keturunan yang banyak. Tetapi, pada saat yang sama, Islam menekankan, bahwa anak-anak adalah amanah yang harus dijaga. Bahkan, QS at-Tahrim (66) ayat 6 secara khusus mewajibkan orang tua untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Maknanya, mereka wajib mendidik anak-anak mereka agar menjadi manusia beradab dan berilmu.
Jadi, intinya, adalah penerapan konsep keadilan. Bukan hanya diperintahkan agar memiliki banyak anak, tetapi juga harus sanggup mendidik mereka dengan baik. Inilah – yakni pendidikan keluarga — sebenarnya kunci kemajuan dan kebangkitan umat dan juga bangsa kita.
Rumus dasarnya sederhana: jika orang tua mampu menjadi guru yang baik, maka akan baiklah anak-anaknya. Jika tidak, maka akan terjadi sebaliknya. Itulah yang sudah diperingatkan oleh Rasulullah saw: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Bukhari).
Dari hadits Nabi saw tersebut kita bisa memahami betapa pentingnya kemampuan orang tua menjadi guru (pendidik). Maka, sangat aneh, jika dunia pendidikan kita justru tidak menjadikan pembentukan orang tua yang baik, sebagai tujuan utamanya.
Manusia tidak sama dengan binatang, yang aktivitas utamanya hanya makan-makan dan melampiaskan syahwat. Sebagai manusia, tugas utama orang tua bukan hanya mencari makan untuk diri dan anak-anaknya, tetapi yang lebih penting lagi adalah mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang baik, agar menjadi hamba Allah dan menjadi khalifatullah fil-ardh, serta menjadi pelanjut perjuangan para nabi
Untuk dapat mendidik anak dengan benar tentu memerlukan ilmu yang mencukupi. Sangat aneh jika untuk dapat mencari makan dengan baik, orang tua mau mengerahkan segenap kemampuan intelektual dan materialnya, tetapi untuk bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, ia enggan mencari ilmu dengan sungguh-sungguh.
Padahal, Rasulullah saw sudah mengabarkan, bahwa: “Hak anak atas orang tuanya (kewajiban orang tua terhadap anaknya) adalah memberi nama yang baik, memberi tempat tinggal yang baik, dan memperbaiki adabnya.” (HR. Baihaqi).
Jadi, memperbaiki adab anak (memberikan pendidikan yang benar) adalah kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan kata lain, memperoleh pendidikan yang benar adalah hak anak. Hak itulah yang nanti akan dituntut oleh anak-anak kita di akhirat. Sebab, di akhirat nanti, tiap-tiap orang akan menuntut haknya dan setiap orang akan sibuk dengan urusan dirinya sendiri.
“… pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS Abasa: 34-37).
Karena itulah, sebelum memasuki kehidupan rumah tangga, suami – utamanya – harus paham benar, bahwa kewajiban suami bukan hanya memberi makan keluarganya, tetapi juga mendidik anak-istrinya, agar mereka sekeluarga selamat dunia dan akhirat. Bahkan, lebih dari itu, anak-anak harus disiapkan untuk menjadi khaira ummah, menjadi umat terbaik, yakni menjadi pejuang penegak kebenaran dan penghalang kemunkaran.
Pada tataran kenegaraan, pemerintah berkewajiban memiliki program yang komprehensif dan memprioritaskan anggaran untuk membentuk keluarga-keluarga teladan di Indonesia. Program itu dimulai dari pendidikan orang tua sebagai “guru keluarga”, sehingga rumah tangga menjadi lembaga pendidikan yang utama dan pertama bagi anak-anak. Program ini berbeda dengan konsep dan praktik homeschooling pada umumnya.
Secara umum, untuk dapat memerankan dirinya sebagai pendidik bagi keluarganya maka para orang tua perlu menguasai berbagai wawasan keilmuan, diantaranya adalah: (1) Islamic Worldview, (2) Konsep Pendidikan Anak, (3) Fiqhud Dakwah (4) Wawasan Pendidikan Kontemporer (5) Tantangan Pemikiran Kontemporer (6) Sejarah Keagungan Peradaban Islam.
Semoga kita bisa memanfaatkan peluang yang sangat terbuka untuk menyiapkan generasi unggul, dengan menjadikan keluarga-keluarga kita sebagai universitas sebenarnya. Wallahu A’lam bish-shawab. (Sukabumi, 19 Desember 2021).