Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengeluarkan Pesan Natal Bersama Tahun 2021. Temanya: “Cinta Kasih Kristus Yang Mengerakkan Persaudaraan (bdk 1 Ptr. 1:22)”.
Dalam Pesan Natal Bersama ini, PGI-KWI menyatakan bahwa Natal tahun 2021 mengingatkan untuk saling mengasihi dengan segenap hati dalam kasih persaudaraan yang tulus dan ikhlas melalui tindakan belarasa.
Disebutkan, bahwa Yesus Kristus yang dirayakan kelahiran-Nya oleh kaum Kristen-Katolik, mendorong mereka untuk mencari jalan-jalan baru yang kreatif untuk saling mengasihi, mewartakan keadilan dan membawa damai sejati.
“Selain itu, pandemi Covid-19 menyadarkan kita bahwa kita semua adalah saudari dan saudara yang berbeda dalam satu perahu dunia yang sedang menghadapi badai Covid-19.
Dalam situasi ini, falsafah hidup persaudaraan sebagai karakter khas orang Indonesia menjadi semakin bermakna dan semakin mendesak untuk kita batinkan dan wujudkan. Sebagai saudari dan saudara kita diharapkan untuk saling menunjukkan kasih dalam aksi nyata,” demikian petikan pesan Natal PGI-KWI.
Pesan Natal 2021, selengkapnya bisa dilihat di: https://www.katolikku.com/news/pr-1612038028/pesan-natal-bersama-pgi-dan-kwi-2021-cinta-kasih-kristus-yang-menggerakan-persaudaraan?page=all
Begitulah Pesan Natal PGI-KWI tahun 2021 yang menekankan pentingnya saling tolong-menolong antar sesama, tetapi tetap berlandaskan kepada iman Kristen. Kaum Kristen menegaskan kepercayaan mereka, bahwa Yesus Kristus yang dirayakan kelahiran-Nya, mendorong kaum Kristiani untuk mencari jalan-jalan baru yang kreatif untuk saling mengasihi, mewartakan keadilan dan membawa damai sejati.
Jadi, Perayaan Natal bagi kaum Kristen adalah penegasan atas dasar kepercayaan mereka yang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan. Hal ini senantiasa ditegaskan dalam pesan-pesan Natal setiap tahun.
Misalnya, pada tahun 2014, pesan Natal PGI-KWI juga menyatakan: “Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)…“… Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga. Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga…. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan… “Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.”
Jadi, menyimak Pesan Natal PGI-KWI KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan yang sarat dengan ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan. Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya, seperti memperingati Hari Kemerdekaan RI.
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal sebenarnya adalah penegasan ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Hal ini sudah ditegaskan dalam Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma.
Isinya antara lain menegaskan: ”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja… Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
Memang, inti sari ajaran agama Kristen adalah konsep “Penyaliban” dan “Kebangkitan” Yesus. Dalam ajaran Kristen, manusia-manusia yang masih belum mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Disebutkan dalam Dokumen Misi Kristen dalam Konsili Vatikan II, yaitu Ad Gentes: “Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), “dan tidak ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). Lihat, Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal. 593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Jadi, sejatinya Perayaan Natal adalah bentuk penegasan keyakinan kaum Kristen akan Ketuhanan Yesus-Kristus. Dan itu ajaran pokok bagi kaum Kristen. Siapa yang tidak mengakui hal itu, dinyatakan tidak akan meraih keselamatan.
Karena itulah, menurut Paus Yohannes Paulus II: “Islam is not a religion of redemption.” “Islam bukan agama penyelamatan,” kata Paus. Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan (there is no room for the Cross and the Resurrection). (Lihat, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy).
Itulah ajaran pokok agama Kristen tentang kedudukan Yesus. Ajaran itu secara fundamental berbeda dengan pandangan dan keyakinan kaum Muslim terhadap Yesus. Mengangkat Yesus sebagai Tuhan dan anak Tuhan adalah satu kesalahan besar menurut ajaran Islam. Sebab Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah Nabi, adalah manusia, utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan.
Dalam QS Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.): “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama bukan untuk menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi. Bahkan, bisa menyuburkan kemunafikan, sebab ada masalah perbedaan keyakinan yang sangat mendasar antara Islam dan Kristen.
Bangsa Indonesia – selama ratusan tahun – telah terbukti mampu mewujudkan kerukunan umat beragama tanpa mencampuradukkan ajaran-ajaran agama masing-masing. Kerukunan dalam perbedaan itulah jalan terbaik untuk membangun dan mengokohkan NKRI. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 18 Desember 2021).