GURU BESAR IPB MEMBEDAH BUKU “BAGAIMANA UNIVERSITAS MATI”

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Dewandakwahjatim.com,Depok –

Dalam beberapa bulan ini ada satu buku yang didiskusikan oleh berbagai kalangan akademisi. Judulnya: “Dark Academia; How Universities Die”, karya Peter Fleming. Saya menikmati satu diskusi tentang buku ini yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar Universitas IPB, 10 September 2021. (https://www.youtube.com/watch?v=50X9mFDWnLI).
Diskusi dan isi buku itu memang menarik. Ringkasan diskusi itu bisa dilihat di: https://www.forestdigest.com/detail/1312/isi-buku-dark-academia-peter-fleming.
Buku Dark Academia mengungkap sisi gelap universitas yang melenceng dari nilai-nilai perguruan tinggi. Korupsi, neoliberalisme yang kapitalistik, salah dua penyebabnya. Peter Fleming, penulis Dark Academia: How Universities Die, menyoroti banyak kampus di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yang tak lagi mendukung kualitas akademik akibat terkurung sistem neoliberal yang kapitalistik sehingga universitas cenderung berorientasi bisnis. 

Apakah fenomena kampus seprti itu sudah terjadi di Indonesia? Salah satu pembahas, Dr. Zulfan Tadjoeddin, dosen di Western Sydney University, menyatakan, bahwa fenomena itu sudah terjadi di Indonesia. Bahkan, menurutnya, lebih dari apa yang dikatakan Fleming.
Kampus di Indonesia, kata Zulfan, belum memiliki fondasi yang kokoh sebagai kampus yang melahirkan tri dharma perguruan tinggi hingga keburu tergerus oleh arus neoliberalisme yang kapitalistik. “Saya merasakan, melihat, dan mengalami sendiri bagaimana itu terjadi,” kata Zulfan.
Arya Hadi Dharmawan, guru besar Fakultas Ekologi Manusia IPB, mengupas lebih detail sisi gelap kampus dari delapan fenomena yang ditulis Fleming:

  1. Elitis. Kampus menjadi elitis sehingga jauh dari masyarakat. Di Indonesia para peneliti dan dosen jauh dari memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menciptakan inovasi yang menyelesaikan problem-problem orang banyak. Masyarakat akan menggugat elitisme ini jika peneliti ingin selalu berada di posisi paling atas.
  2. Pabrik pengetahuan. Kampus menjadi semacam pabrik ilmu pengetahuan. Di Indonesia cirinya adalah kinerja akademisi diukur melalui indeks kinerja utama sehingga (IKU) penelitian menjadi semacam produksi barang.
  3. Birokrasi kampus. Universitas terjebak pada umumnya organisasi, yakni pengelolaan secara birokratis. Alih-alih menjawab problem di masyarakat, para ilmuwan sibuk mengejar angkat kredit untuk memenuhi syarat-syarat birokrasi.
  4. Angka kredit. Capaian kinerja diukur melalui angka-angka yang wajib dipenuhi para dosen. Jumlah publikasi dan kepangkatan menjadi yang utama, bukan pada isi yang berguna bagi orang banyak.
  5. Homo academicus. Ada gejala kompleksitas gejala mental para dosen akibat kurang bergaul, kesepian, stres, dan kesehatan mental lainnya akibat fokus meneliti dan memenuhi birokrasi kampus. Di Indonesia gejala ini belum terlalu menonjol.
  6. Kontrol negara. Tak ada lagi kebebasan akademik karena negara terlalu turut campur dalam menentukan kebijakan-kebijakan akademis, hingga penentuan pejabat kampus. Kontrol lain melalui pengawasan akademik melalui angka-angka yang harus dipenuhi para dosen.
  7. Selebritas akademik. Ini semacam sindrom popularitas dosen yang berbentuk cara mereka mengasongkan diri dan pendapat dari forum ke forum. Di Indonesia, fenomenanya lebih parah karena mengasong itu sebagai cara mendapatkan penghasilan tambahan.
  8. Krisis keuangan mahasiswa. Di negara barat fenomena ini jamak karena untuk sekolah mahasiswa meminjam kredit ke bank akibat tuntutan pembayaran kampus yang besar. Di Indonesia, fenomena ini belum terlalu parah meski ada beberapa kejadian orang tua mahasiswa berutang banyak dan terjerat rentenir akibat tak mampu memenuhi uang pangkal atau SPP anaknya.
    Dengan fenomena-fenomena itu, pendidikan tak lagi menjadi hak setiap orang. Perguruan tinggi menjadi organisasi atau lembaga bisnis yang membuat setiap orang tak bisa mencapainya dengan mudah. Ketimpangan pun, yang harusnya diselesaikan sektor pendidikan, justru terjadi di bidang ini. “Dengan sangat kuat buku ini mengkritik neoliberalisme perguruan tinggi, korporatisasi, dan elitisme kampus,” kata Arya.

Begitulah catatan analisis kritis terhadap buku Dark Academia yang dilakukan oleh para guru besar Universitas IPB. Sebenarnya, kondisi kampus di dunia seperti itu bisa dengan mudah dibaca secara umum di mesin pencari google. Pagi ini (24/11/2021), jika kita masukkan entri “university makes me… ”, akan keluar sejumlah ungkapan: university makes me depressed, university makes me anxious, university makes me stupid, university makes me like a falure, university makes me miserable, university makes me cry, university makes me sad, university makes me stressed. 
Kritik tajam terhadap kondisi Perguruan Tinggi di Indonesia juga diberikan oleh Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam artikelnya: Marginalisasi Perguruan Tinggi. Ia katakan: “Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah. Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf. Dengan kedudukan seperti itu, perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.”
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, suatu “Perguruan Tinggi” sudah mati jika ilmu-ilmu agama sudah mati dan tujuan pendidikan sudah rusak. Dalam bukunya, Haakadzaa Dhahara Jiilu Shalahuddin, Dr. Majid Irsan al-Kilani menyebutkan, rusaknya tujuan pendidikan di zaman Imam al-Ghazali, karena pendidikan ditujukan hanya untuk menyiapkan para pelajar agar bisa menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan.  Dalam Kitab Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali, dikatakan, bahwa jika seorang mencari ilmu adalah untuk mencari keuntungan duniawi, maka itu sama saja dengan merusak agama. 
Tentu saja, dalam pandangan Islam, tujuan universitas adalah membentuk manusia yang baik (al-insan al-kulliy) atau a universal man. Jika universitas tidak lagi menjalankan fungsinya seperti itu, maka itu bukan lagi sebuah “universitas” dalam makna yang sebenarnya. Alias, universitas itu sudah mati! 

Jika seperti itu kondisinya, masih adakah universitas di Indonesia yang hidup? Wallaahu A’lam bish-shawab. (Jakarta, 24 November 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *