Oleh M. Anwar Djaelani,
Ketua Bidang Pemikiran Islam DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com,Surabaya- Jka kita cermati, sangat banyak ulama dan/atau pemuka Islam yang saat mula belajar di waktu kecil berguru kepada ayahnya sendiri. Fakta ini bukan saja menarik, tapi patut menjadi model kepengasuhan yang sangat bisa kita teladani.
Tentang Guru
Ada kajian penting Salim A. Fillah di buku “Sunnah Sedirham Surga”, yang terbit pada 2017. Di halaman 13 ada judul “Guru”.
Siapakah guru? Pertama, guru adalah siapapun yang pernah mengajari kita. Guru, adalah “Dia yang mengajariku seayat ilmu,” kata Ali bin Abi Thalib Ra. Maka, jika demikian halnya, sungguh banyak guru dari tiap-tiap orang.
Kedua, guru adalah pribadi mulia yang punya andil sangat besar dalam kesuksesan kehidupan kita. Terkait ini, ada hal yang luar biasa, bahwa atas jasanya yang besar itu, guru tak pernah mengharap balasan.
Ketiga, guru adalah pembelajar tiada henti. Dia bersedia belajar kepada siapa saja, bahkan kepada yang lebih muda. Bahkan, dia bersedia belajar lagi kepada siapapun meski dirinya sudah tahu tentang ilmu tersebut. Perhatikan ungkapan Atha’ ibn Abi Rabah berikut ini.
“Saya simak tiap riwayat ilmu dengan sepenuh hormat,” kata Imam Atha’ ibn Abi Rabah. “Meskipun,” lanjut tabi’in ini, “Sebenarnya saya telah menghafalnya, jauh sebelum penyampainya lahir ke dunia”.
Terasakan, di masalah ini, pada diri Atha’ ibn Abi Rabah ada tiga hal menonjol yang sungguh mengesankan: Dia selalu haus ilmu, menghormati ilmu, dan sanggup menihilkan rasa bangga yang sering bisa menjerumuskan.
Keempat, guru adalah pribadi sepenuh semangat dalam mendapatkan pemahaman. Mari simak pengakuan Imam Asy-Syafi’i ini: “Saya terhadap ilmu seperti seorang ibu yang mencari anak semata wayangnya yang tersayang dan hilang. Ketika menyimak ilmu, sungguh saya berharap bahwa seluruh tubuhku adalah telinga.”
Kelima, guru adalah pribadi yang pantas didoakan oleh terutama mereka yang merasa telah mendapatkan ilmu-sedikit atau banyak-darinya. Terkait hal ini, Imam Ibn Rusyd pernah menyampaikan kabar yang mengesankan. Bahwa, seseorang bertanya kepada Iskandar Al-Maqduni, murid Aristun: “Mengapa engkau doakan gurumu dua kali sedangkan ayahmu hanya sekali?”
“Ayahku menjadi wasilah bagi kehidupanku di dunia. Sementara, guruku menjadi perantara bagi hidupku di akhirat nanti. Seandainya ayahku sekaligus menjadi guruku, pastilah akan kudoakan dia tiga kali,” demikian jawab yang ditanya.
Teladan di Sekitar
Dari gambaran posisi guru dan ayah pada butir kelima di atas, sekarang, kita berkonsentrasi kepada sebuah fakta berharga. Bahwa, banyak ulama dan tokoh-tokoh Islam terkemuka yang di saat kecilnya sang ayah juga berperan sebagai guru pertamanya.
Lihatlah, Nawawi Al-Bantani (1814-1897)! Ulama pemilik banyak gelar penanda kedalaman ilmu itu, di masa awal dididik langsung oleh sang ayah yang bernama Umar bin Arabi – seorang ulama di Banten.
Perhatikanlah, Muhammad Kholil Al-Bangkalany (1820-1923)! Ulama asal Bangkalan Madura yang “lahirkan” banyak ulama besar itu, di kala kecil pendidikannya digembleng langsung oleh sang ayah yaitu K.H. Abdul Latif.
Simaklah, Mahfudz At-Tarmasi (1842-1920)! Ulama Besar asal Tremas Pacitan itu saat kanak-kanak dididik langsung oleh sang ayah, Kiai Abdullah yang lulusan dari berbagai pesantren dan pernah pula belajar di Tanah Suci.
Cermatilah, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916)! Di ketika kanak-kanak, ulama pembaharu yang “melahirkan” banyak ulama besar itu awalnya belajar kepada ayahnya sendiri yaitu Syaikh Abdul Lathif.
Perhatikanlah, Muhammad Thaib Umar (1874-1920)! Ulama yang berhasil memperbaharui model sekolah agama dan bahasa khutbah itu, di masa kecil dididik langsung oleh sang ayah yaitu Umar bin Abdul Kadir. Sang ayah, seorang ulama terkenal ketika itu.
Seksamailah, Yasin Al-Fadani (1916-1990)! Ulama yang berhak mengajar di Masjidil Haram dan bergelar “Musnid Terkemuka” ini, saat kecil belajar kepada sang ayah yaitu Syaikh Al-Mu’ammar Muhammad Isa Al-Fadani.
Perhatikanlah, Sholeh Darat (1820-1903)! Ulama terkemuka ini guru dari banyak ulama. Dua di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari. Murid lainnya, termasuk R.A. Kartini. Hal yang menarik, di awal-saat kecil-Sholeh Darat belajar kepada sang ayah yaitu Kiai Umar.
Lihatlah, Ahmad Dahlan (1868-1923)! Ulama pendiri Muhammadiyah itu, di saat kanak-kanak dididik langsung oleh sang ayah yaitu K.H. Abubakar. Sang ayah, Imam dan Khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta.
Simaklah, Wahid Hasyim (1914-1953)! Ulama dan pemuka bangsa yang gigih memperjuangkan Islam sampai di level negara ini, pada masa awal dididik langsung oleh sang ayah yaitu pendiri NU Hasyim Asy’ari.
Tak Ternilai
Tentu, berbagai riwayat di atas tak boleh berhenti hanya sebagai kisah biasa-biasa saja. Semestinya, atas semua riwayat itu kita harus bisa mengambil ibrah (pelajaran).
Di titik ini, selalu amalkanlah dengan sungguh-sungguh ayat ini: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS Yusuf [12]: 111).
Alhasil, duhai para ayah, jadilah sekaligus sebagai guru bagi anak-anak kita sendiri terutama di masa awal tumbuh-kembang mereka. Selanjutnya, bagi anak-anak yang memiliki ayah dan bisa berperan sebagai guru serupa dengan kisah-kisah di atas, sungguh hal itu merupakan rezeki yang tak ternilai harganya. []
(Humas DDII Jatim)