Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.xom, Depok - Kisah berdirinya Kementerian Agama RI diceritakan dalam buku Utang Republik pada Islam, karya sejarawan Lukman Hakiem (Jakarta: Al-Kausar, 2021). Alkisah, dalam Sidang Penitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 19 Agustus 1945, muncullah perdebatan mengenai perlu tidaknya dibentuk Kementerian Agama.
Sejumlah anggota PPKI menolak pembentukan Kementerian Agama. Johannes Latuharhary beralasan, bahwa jika diadakan Kementerian Agama, maka akan ada perasaan yang tersinggung atau tidak senang. Umpamanya, jika menterinya seorang Kristen, sudah tentu orang muslim tidak senang perasaannya, dan sebaliknya.
“Kita tidak perlu membangkitkan perasaan-perasaan yang menimbulkan kecideraan antara bangsa kita. Oleh sebab itu, saya usulkan supaya urusan agama dimasukkan dalam urusan pendidikan. Dengan jalan demikian tidak ada perpecahan dan juga onkosten vermindering (penghematan pengeluaran),” kata Latuharhary.
Beberapa anggota PPKI lainnya juga menolak pendirian Kementerian Agama, dan mengusulkan urusan agama diserahkan ke Departemen Dalam Negeri. Akhirnya, ketika diadakan pemungutan suara dalam PPKI, hanya enam anggota yang setuju pembentukan Kementerian Agama. Maka, urusan agama dimasukkan ke dalam Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Ditolaknya Kementerian Agama oleh PPKI menimbulkan tanda tanya luas. Sebab, di zaman penjajahan Belanda dan Jepang, urusan agama ditangani oleh Departemen atau kantor yang secara khusus mengurus soal-soal yang berkaitan dengan agama. Misalnya, ada Het Kantoor voor Inlandsche Zaken dan di zaman Jepang ada Shumubu (Kantor Urusan Agama di Pusat dan Shumuka, di daerah.
Ada tiga anggota PPKI yang memperjuangkan agar Kementerian Agama diadakan. Ketiga tokoh tersebut adalah KH Abudardiri, H. Moh. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Ketiganya berasal dari Banyumas. Utusan dari Banyumas ini mengusulkan: Supaya dalam negeri Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan agama hanya disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Karena itu Kementerian Agama perlu khusus dan tersendiri.
Usulan dari anggota PPKI asal Banyumas itu mendapat sambutan positif dan diperkuat oleh anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), seperti M. Natsir, dr. Mawardi, dr. Marzuki Mahdi, N. Kartusudarno, dan lain-lain. Orang-orang inilah yang memperjuangkan cikal bakal Masjid Kampus. Maka, pada 3 Januari 1946, berdirilah Kementerian Agama RI yang pertama.
Pemerintah kemudian mengangkat HM Rasjidi sebagai Menteri Agama RI yang memimpin departemen. Sebelumnya, ia pernah menjabat Menteri Negara selama dua bulan. HM Rasjidi adalah kader Al-Irsyad dan juga salah satu pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. HM Rasjidi menyatakan, bahwa umat Islam harus mensyukuri keberadaan Kementerian Agama.
“Dengan adanya Kementerian Agama, maka urusan-urusan keislaman yang selama ini terbengkelai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya lagi, bisa ditangani oleh orang Islam sendiri,” ujar HM Rasjidi.
Menyimak pernyataan Menteri Agama H Rasjidi itu, bisa disimpulkan, bahwa sejak awal berdirinya, Kementerian Agama memang merupakan hadiah untuk umat Islam. Karena itu, wajar jika umat Islam adalah yang paling bertanggung jawab terhadap Kementerian Agama. Tugas Menteri Agama adalah menjadi pemimpin sebaik-baiknya, agar Kementerian Agama memberikan manfaat yang besar untuk umat Islam dan bangsa Indonesia.
Dalam pandangan Islam, jabatan adalah amanah. Amanah itu sangat berat tanggung jawabnya di dunia dan akhirat. Apalagi jabatan Menteri Agama. Jangan sampai korupsi di Kementerian Agama lebih tinggi daripada Kementerian lainnya.
Apalagi Kementerian Agama juga mendapat amanah untuk mengatur urusan pendidikan Islam, mulai TK sampai Pendidikan Tinggi, dengan anggaran trilyunan rupiah setiap tahunnya. Tentu, Kementerian Agama bertanggung jawab, agar dari lembaga-lembaga pendidikan Islam itu lahir manusia-manusia yang mulia, yakni manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Menteri Agama dan jajarannya sepatutnya menjadi contoh dalam penerapan kehidupan yang zuhud dan tidak cinta dunia. Sebab, merekalah yang dianggap paling paham soal agama. Kita berharap, Kementerian Agama dapat melaksanakan amanah para pendiri bangsa kita, karena sejarah Kementerian ini memang merupakan hadiah untuk umat Islam dan sekaligus untuk bangsa Indonesia. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 3 November 2021).
Ed. Sudono Syueb