Oleh Bahrul Ulum,
Sekretaris Bidang Pemikiran Islam DDII Jatim
Dewandakwahjatim.com,Surabaya – Di sekitar awal November 2021, beredar video ceramah dari seseorang yang disebut kiai. Isinya, antara lain menyatakan bahwa kematian putri Rasulullah Saw, yaitu Fatimah Ra, disebabkan dinjak-injak oleh sebagian shahabat. Menurut dia, itulah fakta sejarah yang tidak banyak orang tahu.
Tentu saja pernyataan tersebut tidak berdasar karena kematian putri Rasulullah Saw memiliki banyak versi. Semuanya berasal dari kitab-kitab Syiah yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
Tampak si kiai tidak sadar, pernyataannya bahwa Fatimah Ra meninggal karena dinjak-injak oleh sebagian shahabat merupakan bentuk fitnah dan celaan kepada shahabat Rasulullah Saw. Dengan demikian, tidak salah jika ada yang menilai penceramah tersebut sebagai orang Syiah.
Dalam Syiah, mencela shahabat merupakan bagian dari ajaran yang penting. Mereka berpendapat para shahabat selain Ali dan keluarganya serta pengikutnya setelah meninggal Rasulullah Saw telah kafir atau menjadi munafiq. Untuk mengetahui mukmin dan munafiknya seorang shahabat adalah dengan melihat apakah orang-orang tersebut cinta kepada Ali atau membencinya. Jika ia mencintainya, ia adalah mukmin, dan jika membencinya berarti ia munafiq. Dengan logika ini, shahabat-shahabat yang mereka anggap telah merampas hak Ali atau tidak mendukungnya adalah munafik atau kafir.
Tentu saja pendapat tersebut sangat bathil. Sama saja mereka menganggap dakwah Rasulullah Saw tidak berhasil. Oleh karena itu para ulama Sunni sepakat bahwa pendapat Syiah yang mencela shahabat bertentangan dengan firman Allah yang terang-terang memuji shahabat, baik Muhajirin maupun Anshar. Tidak ada kaum yang dipuji oleh Allah sebagaimana pujian terhadap para shahabat.
Di antara pujian Allah terhadap mereka terdapat dalam Surah al-Hasyr: “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Yaa Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (QS Al-Hasyr [59]: 8-10).
Dalam menguraikan ayat di atas, al-Qurtubi menukil sebuah kisah tentang seorang lelaki yang datang kepada Ali bin al-Husein Ra (anak al-Husein), ia bertanya: “Wahai anak putri perempuan Rasulullah (Fatimah). Apakah pendapatmu mengenai Usman?” Jawab Ali bin al-Husain: “Wahai Saudara! Apakah engkau termasuk dalam golongan yang disebut oleh Allah sebagai (‘bagi fuqara yang berhijrah’)?” Jawab lelaki itu: “Tidak!” Kata Ali bin al-Husain: “Demi Allah, jika engkau tidak termasuk dalam ayat itu maka engkau ini di kalangan yang disebut oleh Allah (‘dan orang yang mendiami Kota Madinah dan beriman’)”. Lelaki itu menjawab: “Tidak!” Kata Ali bin al-Husain: “Demi Allah sekiranya engkau tidak termasuk dalam ayat yang ketiga ini niscaya engkau keluar dari Islam yaitu firman Allah: Orang yang datang selepas mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Wahai Tuhan kami, berilah keampunan kepada kami dan saudara kami yang beriman lebih dulu dari kami’.” (al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz XVIII, hal. 31).
Keterangan ini menjelaskan bahwa keturunan Ali sendiri sangat menghormati para shahabat dan mereka tidak mencelanya. Ini berarti sangat berbeda dengan kaum Syiah yang mengaku mengikuti Ahlul Bait Ali tapi tidak mengikuti perilaku mulia mereka.
Ancaman bagi Pencela Sahabat
Para ulama sepakat bahwa hukum mencela shahabat Rasulullah Saw termasuk dosa besar. Bahkan sebagian menghukuminya keluar dari Islam. Hal ini disampaikan oleh Al-Qadhi Abu Yala bahwa para fuqaha sepakat tentang hukum orang yang mencela shahabat, sekiranya dia menganggap shahabat tersebut halal darahnya, maka dia kafir. Tetapi jika dia tidak menganggap demikian, maka dia fasiq (Hiwar Hadi’ Ma’a Du’at At Taqrib Ma’a Syi’ah).
Pendapat tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah Saw yang melarang seseorang mencela shahabatnya. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri. “Telah bercerita kepada kami Adam bin Abu Iyas telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Al A’masy berkata, aku mendengar Dzakwan bercerita dari Abu Sa’id al-Khudri radliallahu ‘anhu yang berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah kalian mencela shahabat-shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebanyak Bukit Uhud tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya’.”. (Riwayat Jarir, Abdullah bin Daud, Abu Mu’awiyah dan Muhadlir dari Al A’masy).
Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda, ”… barang siapa membenci mereka (shahabat) maka dengan kebencianku, aku pun membenci mereka (yang membenci shahabat). Barang siapa menyakiti mereka, sungguh ia telah menyakitiku. Barang siapa menyakitiku, berarti ia telah menyakiti Allah. Barang siapa menyakiti Allah, hampir saja Allah menyiksanya” (Riwayat Tirmidzi). Bahkan Rasulullah Saw dengan tegas menyatakan bahwa, “Barang siapa yang melaknat shahabat (dari Nabi Saw) dia akan mendapatkan laknat dari Allah, para malaikat serta seluruh manusia” (Riwayat Thabrani).
Hadits-hadits tersebut menegaskan kepada kita bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak mencela para shahabat. Melecehkan mereka merupakan salah satu tindakan yang bertentangan dengan penghormatan kepada Nabi Saw yang merupakan kewajiban kita. Terlebih lagi pelecehan tersebut disebabkan hal-hal yang tidak terbukti kebenarannya. []
Ed. Sudono Syueb