SESAT PIKIR PAHAM KESATUAN TRANSENDENSI AGAMA-AGAMA

Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)

Diantara jenis paham Pluralisme Agama, paham Kesatuan Transendensi Agama-agama (Transendensi) termasuk yang banyak pengikutnya. Ada tokohnya yang menyatakan, bahwa agama-agama yang ada itu laksana jari-jari roda, dan pusat roda itu adalah Tuhan. Ada juga yang menggambarkan agama-agama laksana jalan-jalan menuju puncak piramida. Semua agama dianggap sebagai jalan yang berbeda-beda menuju puncak yang sama (Tuhan). 
Ada lagi yang menggambarkan bahwa agama-agama itu seperti sungai-sungai yang mengalir ke laut yang sama. Masih ada yang menyatakan, bahwa agama-agama itu laksana aneka macam perahu yang akan menyeberangi laut menuju tujuan yang sama. Intinya, mereka memandang agama-agama sebagai jalan yang berbeda menuju Tuhan yang sama. Hanya caranya yang berbeda, tujuannya sama. 
Paham Transendensi menganggap bahwa aspek cara, jalan, atau syariat itu sebagai aspek eksoterik, atau aspek eksternal dari agama-agama. Sedangkan tujuan dan hakikat agama itu merupakan aspek esoterik (batin). Semua agama, kata pemeluk paham ini, akan bersatu atau bertemu di level esoterik, karena menyembah Tuhan yang sama. 
Kesalahan fatal  paham Transendensi ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis pemikiran tokohnya, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. 

Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004).
Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat lukisan telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148).
Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151).
Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).
Sebenarnya, jika ditelaah secara kritis, teori Transendensi — bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama — adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun.
Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, bahwa tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama!
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori Transendensi juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu (Allah SWT) sudah mengenalkan diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan.
Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut Transendensi, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Menurut mereka, yang penting Tuhan.
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham Transendensi, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim — yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri. Orang akan membuat-buat tata cara ibadah menurut kemauannya sendiri, bukan menurut panduan dari Utusan Allah SWT.
Jadi, setelah diutusnya Nabi Muhammad saw, maka satu-satunya jalan yang sah untuk menuju Tuhan Yang Maha Kuasa adalah dengan mengikuti syariatnya. Tidak ada syariat lain yang sah, setelah berlakunya syariat Nabi Muhammad saw.
Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayat-ayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, kita memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid.
Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis atau Firaun.
Karena begitu pentingnya kedudukan syariat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka jelaslah, bahwa paham Kesatuan Transendensi Agama-agama adalah paham yang absurd (senseless). Paham Transendensi bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi bersikap tidak beradab kepada Allah SWT, karena telah menyamakan antara keimanan dan kekufuran. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 31 Oktober 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *