Oleh: Dr. Adian Husaini
(www.adianhusaini.id)
Ketum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com,Depok - Tanggal 28 Oktober sudah ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Para pemuda, waktu itu, 28 Oktober 1928, berikrar: “Berbangsa satu, bangsa Indonesia. Bertanah air satu, tanah air Indonesia. Berbahasa satu, bahasa Indonesia!” Itulah Sumpah Pemuda. Mereka bertekad untuk mewujudkan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa Indonesia.
Itulah peran penting bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yang sebelumnya merupakan bahasa kecil di daerah Sumatra. Melalui kecerdasan dan kebijakan para ulama Islam, bahasa Melayu itu kemudian dijadikan sebagai wahana untuk menyampaikan dakwah dan bahasa perdagangan di Kawasan Nusantara.
Jadilah bahasa Melayu sebagai bahasa utama di Kawasan Nusantara. Padahal, sebelumnya, pengaruh bahasa Jawa cukup besar di Nusantara, sejalan dengan kekuasaan Majapahit. Jadi, bahasa Melayu adalah faktor penting dalam penyatuan Nusantara. Jika tidak ada bahasa Melayu, maka tidak ada bahasa Indonesia, dan tidak ada pula Sumpah Pemuda.
Pakar Sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan yang sejak awal 1970-an, sudah mengungkap bahwa faktor ’Islam dan Bahasa Melayu’ adalah faktor paling signifikan dalam proses penyatuan Nusantara. Gagasan itu diungkap al-Attas melalui beberapa bukunya: Islam and Secularism, Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu, dan yang terakhir adalah karya besarnya yang berjudul Historical Fact and Fiction (HFF), (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia, 2011).
Melalui buku HFF ini, Prof Naquin al-Attas berhasil memberikan gambaran tentang keberhasilan para pendakwah Islam dalam mengangkat dan mengislamkan bahasa Melayu, sehingga berhasil menjadi bahasa persatuan di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu yang semula hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia ilmiah, ekonomi, budaya, dan politik di wilayah Nusantara ini.
Karena itulah, simpul al-Attas, bahasa Melayu dan agama Islam, merupakan dua faktor penting yang berjasa dalam upaya penciptaan semangat kebangsaan dan persatuan di wilayah Nusantara. Dalam HFF, al-Attas menulis: “The spread of the new and vibrant Malay language and literature as a vehicle of Islam and knowledge presently used by more than two hundred million people in the Malay Archipelago is one of the most important factors in the creation of nationhood, the other factor being the religion of Islam itself.”
Jadi, menurut al-Attas, disamping faktor agama Islam, penyebaran bahasa Melayu merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembentukan semangat kebangsaan. Dalam buku HFF, al-Attas menguraikan salah satu kesimpulan penting, yakni bahwasanya penyebaran Islam di Nusantara dilakukan dengan cara yang sistematis, terencana, konsisten. Pelaku utamanya adalah para ulama dari Arab.
Sejumlah contoh kuatnya pengaruh Islamisasi dalam bahasa Melayu misalnya bisa dilihat dari masuknya nama-nama HARI yang dimulai hari kesatu sampai hari ketujuh Ahad, Senin (Isnain), Salasa (Tsulasa), Rabu (Rabi’), Kamis (Khamis), Jumat, Sabtu (Sabi’). Masuknya kata Minggu, mengantikan Ahad, diduga berasal dari kata Domingo – dibaca Dominggo – yang merupakan hari pertama dalam tradisi Kristen Spanyol/Portugis. Kata Domingo mulai digunakan pasca penaklukan Malaka oleh Portugis. Adalah kaum Kristen dan misionaris yang kemudian mensosialisasikan penggunaan kata Minggu mengantikan kata Ahad, sehingga menimbulkan kerancuan dalam urutan hari dalam bahasa Melayu-Arab. (HFF).
Bukti lain dari kuatnya pengaruh Arab, khususnya dari wilayah Hadramaut, – bukan Persia – dalan penyusunan bahasa Melayu adalah penggunaan lima simbol lima fonem Melayu yang tidak ditemukan dalam fonem Arab, yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya. Misal, untuk mendapatkan bunyi “Nya”, yang merupakan bunyi antara huruf “Nun” dan “Ya”. Untuk mendapatkan bunyi “Nya”, dua titik huruf “Ya” ditambahkan ke huruf “Nun”, sehingga didapatkan huruf baru dengan titik tiga di bawah. Dengan tambahan lima huruf, maka alfabet Melayu-Arab menjadi 33 huruf. (HFF).
Keberhasilan Islamisasi bahasa Melayu kemudian menjadikan bahasa Melayu menjadi identik dengan Islam. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang kondusif untuk penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Para ulama di berbagai wilayah Nusantara menulis karya-karya mereka dalam bahasa dan huruf Arab Melayu. Kitab-kitab itu lalu dijadikan pegangan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang tersebar di wilayah Nusantara. Akhirnya, bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiah dan bahasa persatuan. Ini ditambah lagi dengan dominasi para pedagang Muslim di kepulauan Nusantara, yang juga mengunakan bahasa Melayu sebagai bahasa Pengantar.
Inilah salah satu bukti kejeniusan para pendakwah Islam di Nusantara, yang tidak memaksakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kepulauan Nusantara. Ini juga menunjukkan, bahwa Islamisasi Kepulauan Nusantara tidak terjadi secara asal-asalan, tetapi dirancang dengan matang dan sungguh-sungguh. Upaya Islamisasi Nusantara ini kemudian mendapatkan ganjalan serius oleh para orientalis penjajah Belanda. Dua langkah dilakukan penjajah, yaitu mengecilkan peran Islam dalam sejarah dan melahirkan kader-kader cendekiawan sekuler.
Karena itu, masalah bahasa Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian besar dari umat Islam. Usaha-usaha untuk melakukan de-Islamisasi bahasa Indonesia terus terjadi, tanpa banyak disadari. Banyak istilah penting dalam Islam yang telah dimasukkan ke dalam bahasa Melayu/Indonesia oleh para ulama, seperti kata Allah, Ilmu, Hikmah, musyawarah, aqal, fikir, rahmat, adab, ibadah, nabi, wahyu, syahadat zakat, shalat, iman, islam, kafir, dan sebagainya.
Makna hakiki dari kata-kata penting dalam Islam (Islamic basic vocabularies) itu wajib dijaga, agar tidak disalahartikan dan disalahpahami. Misalnya, jangan sampai istilah “nabi” digunakan secara salah, sehingga ada istilah “nabinya sastrawan”. Jangan sampai, misalnya, kata iman, kafir, murtad, fasiq, dan sebagainya diubah maknanya, sehingga menyimpang dari makna asalnya.
Menurut Prof. al-Attas, saat ini memang tengah terjadi proses de-Islamisasi bahasa Melayu. Banyak kata-kata penting telah diubah maknanya, dan terkadang disalahgunakan, baik secara sadar atau tidak. Kata “kafir” misalnya, sudah memiliki makna baku secara terminologis. Kata iman dan Islam pun demikian. Jangan sampai, misalnya, tokoh agama bukan muslim diberi sebutan sebagai “mukmin muttaqin.”
Tidak tepat misalnya, suatu kelompok kristen yang berpegang teguh kepada Bibel secara literal, lalu disebut sebagai kelompok “Kristen bermanhaj salaf”. Sebaliknya, jangan mudah memberi sebutan kepada orang muslim yang taat pada syariat Islam, dengan sebutan – misalnya – muslim orthodok, fundamentalis, dan literalis.
Jadi, bahasa Indonesia sejatinya adalah warisan para ulama yang secara sangat cerdas dan bijak telah menggunakan bahasa lokal yang di-islamisasi sebagai wahana dakwah di Nusantara. Alhamdulillah, hasilnya memang fantastis. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 28 Oktober 2021).
Ed. Sudono S.