Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com, Semarang - Syahdan, beberapa tahun lalu, seorang tokoh senior di Jawa Timur berkisah kepada saya. Bahwa, kalangan profesional muslim banyak yang enggan semakin mendekat kepada Islam, setelah melihat banyaknya polemik – bahkan pertengkaran – sejumlah Ustadz di youtube. Sang tokoh berharap, polemik atau bahkan pertengkaran semacam itu bisa diakhiri dan tidak perlu diangkat ke ruang publik.
Saya memahami keresahan sang tokoh senior itu. Ia seorang dosen dan juga pengusaha. Ia menjumpai sejumlah kasus kejadian. Meskipun belum dilakukan pendataan secara lebih luas, secara logis, kesimpulan itu bisa saja terjadi. Ketika para ulama atau ustad tidak bisa memberikan keteladanan dalam hal akhlak, maka masyarakat bisa semakin menjauh dari kepemimpinan ulama. Akibatnya, mereka akan mencoba beragama tanpa bimbingan ulama atau justru enggan lagi mendekat ke agama.
Di sini pentingnya kita memahami sejarah. Kasus semacam inilah yang pernah di terjadi di Eropa di Zaman Pertengahan (The Middle Ages). Penyelewengan dan konflik antar tokoh agama semakin menyeret masyarakat Eropa ke kurub sekulerisme. Mereka semakin enggan mendekat ke agama, dan akhirnya bahkan mereka meninggalkan agama dan membenci para tokoh agama.
Kisah terkenal tentang penentangan terhadap pimpinan agama di Eropa (Paus) adalah gerakan reformasi yang dilakukan Martin Luther. Salah satu yang mendorong Martin Luther melakukan pemberontakan terhadap Paus adalah praktik jual beli surat pengampunan dosa. Pada 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan (Ninety-five Theses) di pintu gerejanya, di Jerman.
Ia terutama menentang praktik penjualan “pengampunan dosa” (indulgences) oleh pemuka gereja. Pada 95 theses-nya itu, Luther juga menggugat keseluruhan doktrin supremasi Paus, yang dikatakannya telah kehilangan legitimasinya akibat penyelewengan yang dilakukannya. Tahun 1521, Luther dikucilkan dari Gereja Katolik. Namun, Luther berhasil mendapatkan perlindungan seorang penguasa di wilayah Jerman dan akhirnya mengembangkan geraja dan ajaran tersendiri terlepas dari kekuasaan Paus. (Lihat, Philip J. Adler, World Civilizations, (Belmont: Wasworth, 2000). Tentang riwayat Martin Luther, lihat Roland H. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther,, (Nashville: Abingdon Press, 1977).
Bahkan, kata Luther, kekuatan anti-Kristus terwujud pada sosok Paus dan Turki (muslim) secara bersamaan. Kekuatan jahat dalam kehidupan haruslah memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki…Bangsa Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan. (Antichrist is the Pope and the Turk together. A beast full of life must have a body and soul. The spirit or soul of Antichrist is the Pope, his flesh and body the Turk … The Turk are the people of the Wrath of God). (Lihat, Bernard Lewis, Islam and the West, (New York: Oxford University Press, 1993).
Berbagai penyelewengan penguasa agama dan pemberontakan tokoh-tokoh Kristen kepada kekuasaan Gereja yang mengklaim sebagai wakil Kristus menunjukkan bahwa konsep “infallible” (tidak dapat salah) dari Gereja Katolik sudah tergoyangkan. Pemberontakan demi pemberontakan terus berlangsung, sehingga dunia Kristen Eropa kemudian terbelah menjadi dua agama besar, Katolik dan Protestan.
Beratus-ratus tahun kemudian kedua agama ini bersaing dan saling melakukan berbagai aksi pembantaian. Kisah perebutan tahta di Inggris menarik untuk disimak, bagaimana Raja Henry VIII (1491-1547) memisahkan diri dari Paus dan membentuk Gereja sendiri, hanya karena Paus menentang perkawinannya dengan Anne Boleyn dengan menceraikan istrinya terdahulu, Catharine of Aragon.
Tahta Inggris akhirnya jatuh ke tangan Protestan (Anglikan) setelah Vatikan gagal mencegah tampilnya Elizabeth I (1558-1603) sebagai ratu Inggris menggantikan Queen Mary yang Katolik. Sebuah film berjudul “Elizabeth” yang dibintangi oleh Cate Blanchett menggambarkan perebutan tahta Inggris antara Katolik dan Protestan yang diwarnai dengan berbagai tindakan kejam yang di luar batas perikemanusiaan, baik yang dilakukan tokoh-tokoh Katolik maupun tokoh Protestan.
Di Perancis, pertarungan antara Katolik dan Protestan juga berlangsung sangat sengit. Salah satu kisah yang paling mengerikan adalah pembantaian kaum Protestan – terutama Calvinists — di Paris, oleh kaum Katolik tahun 1572 yang dikenal sebagai “The St. Bartholomew’s Day Massacre”. Diperkirakan 10.000 orang mati. Selama berminggu-minggu jalan-jalan di Paris dipenuhi dengan mayat-mayat laki-laki, wanita, dan anak-anak, yang membusuk.
Philip J. Adler, dalam bukunya, World Civilization, menceritakan kekejaman yang luar biasa dilakukan di Kota Paris ketika itu. Seorang yang selamat dari pembantaian menggambarkan hari yang mengerikan itu: “Tidak seorang pun dapat mengukur berbagai kekejaman yang terjadi dalam pembunuhan-pembunuhan ini… Sebagian besar mereka dimusnahkan dengan belati. Tubuh mereka ditikam, anggota tubuhnya dirusak, mereka dihina dengan cemoohan yang lebih tajam dari pedang … mereka memukul sejumlah orang tua tanpa perasaan, membenturkan kepala mereka ke batu di dermaga dan kemudian melemparkan sosok setengah mati itu ke sungai. Seorang anak yang terbungkus pakaiannya diseret di jalan dengan tali yang dililitkan di lehernya oleh anak-anak berumur sekitar 9 atau 10 tahun.” (Lebih jauh tentang konflik dan penyelewenangan agama, silakan dibaca buku Wajah Peradaban Barat (Jakarta: GIP, 2006).
Terjadinya berbagai konflik internal Kristen itu menyebabkan masyarakat Eropa semakin bersikap apatis terhadap agama. Agama dianggap gagal menjadi solusi problematika masyarakat. Karena itu, kemudian mereka menganggap agama tidak penting, bahkan agama dianggap sebagai sumber konflik dan sumber kemunduran masyarakat Eropa.
Saya teringat di tahun 1970-an, pembicaraan saya dengan paman saya yang seorang tentara. Ketika itu kami duduk-duduk di pinggir jalan, sambil mendengar pengajian dari sebuah masjid, melalui pengeras suara. Isinya membahas masalah-masalah furu’iyyah yang beberapa hari sebelumnya dibahas oleh kelompok lain. Sang paman itu mengeluhkan pengajian isinya bantah-bantahan dan saling menyalahkan. Sekarang, situasi seperti itu sudah tidak terjadi lagi.
Para ulama atau ustad biasanya masing-masing memiliki jamaah. Alangkah baiknya dalam kondisi umat dan negara kita yang sedang menghadapi tantangan berat, berbagai polemik dan pertengkaran bisa diredam. Perbedaan pendapat tidak mungkin dihindari. Sejak zaman Nabi saw, telah terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata-kata Nabi Muhammad saw.
Menumbuhkan sikap kasih-sayang dan persaudaraan sesama mukmin, memang bukan hal mudah. Tetapi, tidak ada pilihan lain! Itu wajib diupayakan! Sebab Allah SWT sudah mengingatkan, bahwa Allah mencintai hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya dalam shaf yang rapi, laksana satu bangunan yang kokoh! (QS 61:4). (Semarang, 27 Oktober 2021).