Oleh M. Anwar Djaelani,
Ketua Bidang Pemikiran Islam DDII Jatim
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS Yusuf [12]: 111).
***
Dewandakwahjatim.com,Surabaya – Tersebab pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang asal-asalan, masyarakat lalu membuka sejarah Kementerian Agama (Kemenag). Lalu, muncul aneka pertanyaan, misalnya: Jika performa Menteri Agama Yaqut yang seperti tak paham sejarah dan etika maka seperti apa sosok Menteri Agama yang pertama?
Memang, kontroversi di tengah-tengah masyarakat menjadi tak terhindarkan kala Menteri Yaqut berbicara ahistoris dan cenderung melukai hati setidaknya sebagian kalangan. Baca saja berita ini: “Yaqut: Kemenag Itu Hadiah untuk NU, Bukan Umat Islam Umum”. Di dalamnya, ada kutipan pernyataan tendensius dia: “Kemenag itu hadiah untuk NU, bukan umat Islam secara umum. Tapi spesifik untuk NU. Saya rasa wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag karena hadiahnya untuk NU,” ujar Yaqut (https://www.cnnindonesia.com 24/10/2021).
Atas pernyataan Yaqut di atas, berikut ulasan ringan. Pertama, jika benar Kementerian Agama hadiah untuk NU maka mengapa Menteri Agama yang ditunjuk umtuk kali pertama adalah Rasyidi? Rasyidi muda belajar dan dididik di sekolah Muhammadiyah. Belakangan menjadi aktivis Muhammadiyah termasuk menjadi bagian dari Pimpinan Pusat-nya. Rasyidi juga belajar di Sekolah Al-Irsyad bahkan dididik langsung oleh sang pendiri yaitu Surkati.
Kedua, untuk pernyataan Yaqut bahwa “Saya rasa wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag karena hadiahnya untuk NU”, maka tafsir utuhnya memang ada pada dia. Tapi, tak salah jika masyarakat membayangkan hal-hal yang tak sama seperti yang dimaksud Yaqut tentang “Memanfaatkan banyak peluang di Kemenag”.
Kita lihat Indonesia merdeka, 1945. Setelah sekitar dua bulan menjadi Menteri Negara, Rasyidi oleh Perdana Menteri Sjahrir ditunjuk menjadi Menteri Agama yang pertama. Pada 3 Januari 1946 melalui pidato di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, pemerintah mengumumkan adanya Kementerian Agama dengan Rasyidi sebagai Menteri Agama-nya.
Pengumuman pemerintah itu disampaikan langsung oleh Rasyidi. Pada kesempatan itu, Rasyidi menyampaikan bahwa sejak tanggal 3 Januari 1946 secara resmi RI memiliki Kementerian Agama. Untuk itu, kata Rasyidi, umat Islam harus bergembira dan mensyukuri nikmat pembentukan Kementerian Agama ini. “Dengan adanya Kementerian Agama,” kata Rasyidi, “Maka urusan-urusan keislaman yang selama ini terbengkalai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya bisa ditangani oleh orang Islam sendiri.” Selanjutnya, sejak itu, tanggal 3 Januari diperingati sebagai hari lahir Kementerian Agama. Hari itu populer disebut Hari Amal Bakti (Lukman Hakiem, 2021: 12-14).
Siapa Rasyidi? Di Kotagede Yogyakarta, pada 20/05/1915 lahir bayi yang lalu diberi nama Saridi.
Saridi bersekolah di Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta. Lalu, saat Saridi berusia 14 tahun bersekolah di Al-Irsyad Lawang. Dia cerdas, sehingga proses kependidikannya lancar. Saat di kelas IV dia sudah membaca dan paham buku-buku referensi yang bisa dibilang berat semisal Alfiah karya Ibnu Malik. Kitab itu berisi 1000 syair tentang gramatika bahasa Arab. Khusus buku ini, Saridi mampu menghafalnya.
Saridi disukai Ahmad Surkati, sang guru. Ada hal menarik, saat sang guru yang kelahiran Sudan itu memanggil nama si murid. Bunyi yang keluar dari “lisan Arab” Surkati saat memanggil Saridi adalah Rasyidi.
Selepas bersekolah di Al-Irsyad Lawang, Rasyidi belajar ke Mesir. Bisa dibilang, Rasyidi termasuk bagian dari gelombang pertama–sekitar 1000 orang-warga Indonesia yang belajar di Mesir. Dia memulai di Darul Ulum (di bawah administrasi Al-Azhar). Sempat pula Rasyidi dididik Sayyid Quthb. Setamat dari Darul Ulum, Rasyidi ke Universitas Kairo mengambil jurusan Filsafat dan Agama. Dari kampus ini Rasyidi mendapat gelar Lc (License).
Pada 1938 Rasyidi pulang ke Indonesia dan langsung aktif di berbagai kegiatan. Aktivitas diplomasi juga menjadi lahan pengabdian dia. Memang, hubungannya yang luas dengan tokoh-tokoh di dunia Arab dan keterampilannya dalam banyak bahasa seperti Arab, Inggris, Perancis, dan Belanda menyebabkan Rasyidi kerap mendapatkan tugas kenegaraan sebagai seorang diplomat.
Di sela-sela kegiatannya yang padat, Rasyidi masih bisa menambah ilmu. Pada 23/03/1956, dia maju ujian doktor dalam sebuah Ujian Terbuka di Universitas Sorbonne, Paris. Hasilnya? Dia lulus, orang Indonesia pertama lulusan Sorbonne dan meraih gelar doktor secara Cum Laude.
Ilmu dan pengalaman Rasyidi menjadikan dia terus-menerus mendapat banyak amanat, di masyarakat dan negara. Sekadar menyebut contoh, berikut ini antara lain: 1).Sekretaris, kemudian Ketua delegasi diplomatik RI ke negara- negara Arab (1947-1949). 2).Dubes RI di Mesir dan Arab (1950-1951). 3).Dubes RI di Pakistan (1956-1958). 4).Associate Professor pada Institut Studi Islam, Universitas McGill Kanada (1959). 5).Direktur Islamic Center, Washington, AS. 6).Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 7).Direktur Kantor Rabithah Alam Islami, Jakarta. 8).Anggota PP Muhammadiyah. 9).Anggota Pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat.
Rasyidi dikenal tegas dan berani karena berbekal iman dan ilmu. Sikapnya yang tegas dalam membela Islam antara lain tampak ketika Rasyidi “meluruskan” Nurcholish Madjid (NM) soal konsep sekularisasi dan mengritisi pemikiran Harun Nasution yang menulis buku berjudul ”Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Jauh sebelumnya, pada 1958, dia pernah mendebat Joseph Schacht (orientalis kaliber dunia) di Universitas McGill Kanada.
Sebagai intelektual, Rasyidi itu komplit. Beliau pandai berbicara bahkan berdebat. Beliau juga terampil menulis. Ada banyak karya tulis berupa buku, baik karya asli maupun terjemahan. Kesemuanya, buku-buku yang bermutu.
Kapasitas Rasyidi sungguh luar biasa. Dalam catatan Nuim Hidayat, Rasyidi yang menguasai sejumlah bahasa asing itu juga seorang hafidz (hafal Al-Qur’an).
Pada 1967 Rasyidi ikut mendirikan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII). Rasyidi pernah menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pernah pula, menjadi anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Prof. Dr. Rasyidi wafat pada 30/01/2001. Dengan catatan amal shalih yang seperti itu, maka Rasyidi adalah teladan. Teladan dalam banyak hal.
Misal, teladan tentang bagaimana seharusnya memandang posisi Kementerian Agama. Dulu pada 3 Januari 1946, sebagai Menteri Agama yang pertama, Rasyidi menyampaikan pidato perdana: Bahwa, “Berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.”
Alhasil, sila menilai pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menghebohkan itu. Sudah proporsional dan adilkah? []