Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
dewandakwahjatim.com, Depok –
Rabu (20/10/2021) malam ini, saya mengisi acara diskusi dengan para mahasiswa muslim. Temanya tentang Ghazwul Fikri. Ada 40 lebih mahasiswa yang mengikutinya. Sesuai temanya, saya memberikan sejumlah soal untuk mereka jawab. Berikut ini beberapa contoh pertanyaan yang sempat ditanyakan oleh para mahasiswa, sebab mereka mengaku salah menjawabnya.
(a) ”Umat Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh alam, sebab derajat manusia adalah sama di hadapan Tuhan; dan Islam memandang semua manusia adalah makhluk Tuhan sehingga tidak boleh membeda-bedakan manusia berdasarkan suku, agama, ras, bangsa, atau bahasa.” (a. setuju. b. tidak setuju).
Terhadap pertanyaan seperti itu, banyak yang menjawab “Setuju”. Padahal, sepatutnya seorang muslim menjawab “Tidak Setuju”. Sebab, derajat manusia di hadapan Tuhan tidaklah sama. Orang paling tinggi derajatnya adalah yang paling bertaqwa kepada-Nya. Orang berilmu tidak sama derajatnya dengan orang bodoh. Orang sholeh berbeda derajatnya dengan orang fasik. Karena itulah, Allah SWT memerintahkan kita untuk meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik (QS 49:6). Artinya, orang fasik memang dibedakan dengan orang sholeh.
Pada dasarnya, pembedaan terhadap sesama manusia itu pasti terjadi. Ada yang membedakan atas dasar ras, kewarganegaraan, kekayaan, atau jabatan. Presiden dibedakan dengan rakyat biasa. Jika Presiden lewat, maka masyarakat disuruh minggir. Begitu juga setiap negara memberikan perlakuan yang berbeda terhadap warga negaranya sendiri dan warga negara asing.
Konsep Islam tentang manusia memang didasarkan pada iman dan ketaqwaan. Itu konsep yang sangat adil. Sebab, iman dan taqwa adalah pilihan dan prestasi perjuangan. Berbeda dengan ras, suku, bangsa, atau tempat lahir. Itu bukan berarti orang muslim boleh menzalimi orang yang berbeda agama. Ajaran dan sejarah Islam sangat kaya dengan indahnya toleransi yang ditunjukkan umat Islam kepada penganut agama lain.
(b) ”Islam tidak membenarkan sikap orang yang sombong dan angkuh, yang merasa benar sendiri dengan pendapatnya, padahal di alam ini, yang bersifat mutlak hanya Allah. Sedangkan manusia adalah makhluk yang relatif. Karena itu, setiap pendapat manusia adalah relatif, sehingga ia tidak boleh memutlakkan pendapatnya, dengan menyalahkan atau menyesatkan orang lain. Hanya Allah yang tahu akan kebenaran yang hakiki. Manusia tidak tahu dengan pasti suatu kebenaran.”
Terhadap pernyataan tersebut, ada beberapa yang menjawab “Setuju”. Padahal, sepatutnya seorang muslim menjawab pernyataan tersebut dengan “Tidak Setuju”. Kepada seorang mahasiswa yang bertanya, saya menjawab, bahwa jika menjawab “setuju” maka perlu beristighfar. Itu sangat berbahaya.
Jika seorang mengatakan, bahwa “Manusia tidak tahu dengan pasti suatu kebenaran”, maka sama saja ia mengatakan, bahwa para Nabi juga tidak tahu dengan pasti suatu kebenaran. Apa betul begitu? Tentu, sangat tidak benar! Para Nabi itu sangat tahu kebenaran. Bahkan, manusia yang mengikuti petunjuk para nabi pun tahu suatu kebenaran. Sangatlah aneh jika dikatakan bahwa manusia tidak tahu suatu kebenaran, tetapi ia selalu berdoa kepada Allah, minta ditunjukkan kebenaran atau jalan lurus. Misalnya, ia berdoa: Allahumma arinal haqqa haqqan…”
Jadi, tidak benar, bahwa setiap pendapat manusia itu relatif. Yang benar, pendapat manusia itu ada yang mutlak, ada pula yang relatif. Allah memberi akal kepada manusia adalah meraih ilmu dan memahami kebenaran dengan pasti. Tentu, manusia diperintahkan memahami dan meyakini kebenaran dengan pasti, dalam kapasitasnya sebagai manusia; bukan sebagai Tuhan. Sebab, ia manuia ciptaan Tuhan.
(c) “Berikut ini adalah negara yang paling maju di dunia: (a) Amerika Serikat (b) China (c) Finlandia (d) Indonesia.
Terhadap pernyataan itu, ada mahasiswa yang menjawab “Amerika Serikat”. Mungkin itu jawaban yang biasa kita dengar dari banyak orang. Sebab, memang begitulah isi bahan ajar di sekolah-sekolah. Bahwa, negara maju adalah negara yang pendapatan perkapitanya tinggi. Dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (2035), ditargetkan, pendapatan perkapita rakyat Indonesia mencapai 11.228 USD/kapita/tahun.
Konsep kemajuan seperti ini tentu sangat sekuleristik dan materialistik. Konsep ini menafikan aspek keberhasilan dan ketaqwaan, sebagaimana sebagaimana disebutkan dalam al-Quran surat al-A’raf: 96. Jika nilai iman dan taqwa juga akhlak mulia yang ditentukan dalam kriteria negara maju, maka Indonesialah yang insyaAllah merupakan paling maju, dibandingkan dengan ketiga negara tersebut.
Kita mengakui masih banyak kekurangan di negara kita. Tapi, sebagai negara muslim terbesar di dunia, maka sepatutnya kita yakin bahwa kita yang terdepan. Itulah yang seharusnya diajarkan kepada anak-anak Indonesia, agar mereka bangga bahwa kita memiliki cara pandang yang lebih maju dibandingkan dengan peradaban lain. Tentu saja, umat Islam harus berjuang keras agar tenaga negaranya mencapai kemajuan, dengan cara pandang yang benar.
kemajuan daerah, misalnya, harus diukur juga berdasarkan aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia. Misalnya, perlu dicatat, apakah ada peningkatan penduduknya yang bisa mengaji, sholat tahajjud, berzakat dan berinfaq, dan sebagainya. Harusnya, kita punya konsep dan praktik dalam menentukan kriteria kamajuan, sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Demikian beberapa contoh soal “ghazwul fikri” yang saya diskusikan dengan mahasiswa, malam ini. Ada mahasiswa yang bertanya, bahwa saya sangat khawatir dengan teman-temannya yang terkena ghazwul fikri, sehingga memiliki pemikiran yang salah.
Padahal, kita sebagai muslim, tidak perlu khawatir berlebihan. Allah SWT sudah menjamin, bahwa siapa yang berjuang-sungguh mencari jalan Allah, pasti Allah akan menemukan jalan itu. (QS 29:60). Selanjutnya, agar selamat dari pemikiran yang salah, maka perlu mencari ilmu dengan benar, terus berdoa kepada Allah agar keselamatan dan agama diberikan keselamatan, serta bergaul dengan teman-teman yang baik.
Jadi pentingnya para mahasiswa berlatih memahami pemikiran-pemikiran yang salah dan juga yang benar. tujuan agar selamat pemikiran dan iman. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 20 Oktober 2021).
ed. Sudono Syueb