Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
dewandakwahjatim.com, Solo - Pada hari Ahad (17 Oktober 2021), saya mengunjungi sebuah pesantren besar. Di halamannya terpampang sebuah poster cukup besar. Isinya, ucapan selamat kepada para lulusan pelajar/santri tingkat SMA yang diterima di PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Segera poster itu saya foto dan saya sampaikan kepada para pimpinan pesantren tersebut.
Ini yang kesekian kalinya saya menjumpai dan mendokumentasikan poster semacam itu di sejumlah pesantren. Dengan poster seperti itu, pihak pesantren tentu bermaksud menunjukkan kepada masyarakat bahwa pendidikan tingkat SMA-nya berkualitas tinggi. Buktinya, banyak lulusannya yang diterima di PTN favorit.
Tentu bisa dimaklumi, bahwa memang seperti itulah persepsi publik pada umumnya. Menjadi mahasiswa PTN favorit dianggap sebagai jalan utama menuju kesuksesan dalam kehidupan. Tidak heran, jika kurikulum SMA didominasi oleh latihan menjawab soal-soal ujian agar bisa diterima di PTN.
Sebagai lulusan satu PTN (IPB) dan juga sempat mengajar beberapa tahun di program pasca sarjana satu PTN, saya mengakui, bahwa PTN memang perguruan tinggi yang baik. Tiga anak saya kuliah di PTN. Satu kuliah di Universitas al-Azhar Mesir. Anak kelima kuliah di STID Mohammad Natsir (kampus Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia).
Mengapa tidak kuliah dan tidak mendaftar ke PTN? Jawabnya: Ini personal. Sebab, ia telah mampu mandiri secara intelektual dan sikap hidup. Bahkan, karya tulisnya – baik buku maupun artikelnya -- telah melampaui banyak lulusan PTN.
Karena itu, menurut saya, untuk kasus seperti ini, tanpa harus kuliah di PTN, insyaAllah anak-anak seperti ini akan menjadi orang yang bermanfaat. Apalagi, ia juga kuliah di Perguruan Tinggi yang menekankan aspek ilmu, iman, dan perjuangan. Jika ia bagus secara intelektual dan akhlak, biarlah masyarakat akan mengenalnya sebagai lulusan Pesantren dan Perguruan Tinggi Islam. Bukan lulusan Perguruan Tinggi yang tidak mengutamakan iman dan akhlak dalam pendidikannya.
Kepada para pimpinan kampus Islam yang saya kunjungi, saya menekankan, bahwa masuk PTN itu baik. Tapi, jangan berlebihan. Jangan menganggap bahwa dengan masuk PTN, maka tugas mendidik anak telah selesai dan mencapai hasil yang hebat. Sebab, tugas utama orang tua adalah mendidik anak-anaknya agar menjadi orang beradab (berakhlak mulia) dan memiliki ilmu yang bermanfaat.
Jika dengan kuliah di PTN, tujuan utama pendidikan itu telah tercapai, maka berarti orang tua telah melaksanakan kewajibannya dengan baik. Rasulullah saw bersabda: “Hak anak atas orang tuanya (kewajiban orang tua atas anaknya) adalah memberi nama yang baik, memberi tempat tinggal yang baik, dan memperbaiki adab/akhlak anaknya.” (HR Baihaqi).
Poster-poster di pesantren yang memberi ucapan selamat kepada alumni SMA-nya yang diterima di PTN adalah hal yang wajar dan normal. Yang saya tanyakan kepada para pimpinan pesantren adalah: “Apakah para lulusan SMA-nya yang diterima di Perguruan Tingginya sendiri juga diberikan ucapan selamat dan dibuatkan poster juga?”
Sebab, di pesantren itu pun ada Perguruan Tinggi, yang biasanya juga mengutamakan penanaman aqidah dan pembentukan akhlak mulia. Biasanya bentuknya berupa Sekolah Tinggi Agama Islam. Perguruan Tinggi Islam (PTI) di lingkungan pesantren itu juga mengajarkan ilmu-ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dipelajari para mahasiswanya.
Bukankah sebagai muslim kita diajarkan bahwa iman, taqwa, dan akhlak mulia adalah hal yang terpenting dan tertinggi dalam kehidupan! Kita ingin anak-anak kita menjadi orang sukses dan mulia. Apa arti suskes dan mulia menurut al-Quran, hadits Nabi, dan penjelasan para ulama?
Kini, telah terjadi kebangkitan sekolah-sekolah Islam. Ribuan murid-murid muslim tingkat SMA telah dululuskan. Logisnya, murid -murid terbaik dari SMA Islam itu memilih Perguruan Tinggi Islam, sebagai tujuan utama kuliahnya. Di PTI itulah para mahasiswa dididik serius menjadi ilmuwan beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, dan memiliki jiwa dakwah yang kuat. Ini sejalan dengan pasal 31 (c) UUD 1945.
PTI adalah Jaamiah atau Kulliyyah. PTI bertujuan membentuk manusia yang kulliy, insan kamil, bukan manusia parsial (juz’iy). Maka, inti kurikulum PTI adalah penanaman nilai-nilai keadilan, yang dilandasi dengan tazkiyyatun nafs (pensucian jiwa). Sudah saatnya, PTI bangkit dan berani membuat kriteria keunggulan akademik yang khas (unik) dan unggul --berbeda dengan institusi pendidikan sekular.
Sesuai konsep ini, proses pendidikan di PTI, diawali dengan proses penanaman nilai, untuk membentuk manusia beradab. Hanya mahasiswa yang adab atau akhlaknya baik saja yang boleh melanjutkan menuntut ilmu di Fakultas tertentu. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan.
Model pendidikan “taadabû tsumma ta‘allamû” sudah lazim diterapkan dalam proses pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu! Menurut Prof. Naquib al-Attas, inti pendidikan adalah penanaman adab dalam diri seorang manusia sebagai manusia.
Kini, saatnya, PTI menerapkan proses pensucian jiwa insan sebagai kurikulum intinya. Jangan meletakkan matematika lebih penting dari iman, taqwa, dan akhlak mulia! Di sinilah, pimpinan kampus dan dosen menjadi teladan hidup. Jangan sampai pimpinan PTI mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dunia. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan.
Hanya orang yang mensucikan jiwanya saja yang akan sukses, meraih kemenangan. Sebaliknya, celakalah orang yang mengotori jiwanya. (QS 91:9-10). Rasululullah saw bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. (HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan berat.
Jika PTI bersungguh-sungguh menerapkan konsep pendidikan Islam sejati, maka pastilah PTI itu menjadi Perguruan Tinggi terbaik. Lulusannya akan menjadi teladan bagi masyarakat. Dan insyaAllah, PTI semacam ini akan diminati dan “diserbu” oleh umat Islam. Lulusan-lulusan SMA Islam terbaik akan lebih memilih perguruan tinggi terbaik pula, sesuai tuntunan Islam. Mereka akan sangat berhati-hati untuk kuliah ke Perguruan Tinggi yang tidak mengutamakan pembinaan dan penguatan iman, taqwa, dan akhlak mulia.
Yakinlah, bahwa manusia taqwa adalah manusia paling mulia! (QS 49:13). Karena itu, sudah saatnya Kampus Islam bangkit! Jadilah yang terbaik! Kuncinya ada pada pemahaman konsep ilmu dan pendidikan yang benar, serta keyakinan bahwa iman, taqwa dan akhlak mulia adalah kriteria terpenting untuk menilai kualitas suatu kampus. WallahuA’lam bish-shawab. (Solo, 18 Oktober 2021).
Ed. Sudono smSyueb