Dengan propaganda yang terus menerus dilakukannya, pelan tetapi pasti kesadaran dan keberanian rakyat yang tertindas bangkit. Pemogokan besar maupun kecil terjadi di mana-mana. Misbach dituding sebagai dalang dari semua pemogokan. Bersama puluhan anggota Insulinde, Misbach ditangkap.
Atas penangkapan itu, Harsoloemekso dari SATV, dan Ketua Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan berkirim kawat (telegram) kepada Gubernur Jenderal di Batavia meminta supaya Haji Misbach cepat dibebaskan.
Sangat menarik melihat sikap KH Ahmad Dahlan terhadap Haji Misbach. Pendiri Muhammadiyah yang pribadi dan organisasinya pernah diserang secara keras oleh Misbach itu, justru meminta Misbach dibebaskan dari penjara.
SATV juga menilai Misbach sebagai muballigh sejati yang mempropagandakan Islam tidak dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan perbuatan.
Koesen, hoofdredacteur Islam Bergerak dan propagandis utama SATV, menulis di koran yang dia pimpin: “Misbach, Darsosasmito, dan lain-lainnya, dipenjara bukan karena merampok, mencuri, menodong, membunuh, atau menipu, tetapi justru karena mereka melawan pihak yang bertindak sewenang-wenang atau tepatnya bandit-bandit yang selalu mengganggu kesejahteraan umum.”
Dalam Penggoegah, 12 Mei 1919, Tjipto Mangunkusumo menyebut Misbach dan kawan-kawan sedang bertapa. “Ia yang berani hidup tapa adalah mereka yang mendapat anugerah besar, keinginannya akan dituruti. Semua halangan harus dilalui. Semua rintangan harus dihancurkan!” tulisnya.
Berbagai seruan untuk membebaskan Misbach tidak digubris oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Misbach disekap di penjara Pekalongan selama dua tahun tiga bulan.
Pada 22 Agustus 1922, Misbach kembali ke rumahnya di Kauman, Surakarta.
Pembebasan Misbach disambut dengan suka cita. Islam Bergerak menyebut Misbach sebagai “prajurit Islam”, sedang Penggoegah menyebutnya “pahlawan”.
Pemenjaraan selama dua tahun tiga bulan, ternyata tidak menyebabkan Misbach meninggalkan gelanggang perjuangan. Suaranya makin lantang. Dan itu menandai era baru dalam kehidupanya. Misbach makin revolusioner!
Dia pun sempat dua kali dia dipanggil oleh Residen Solo, dan dinasihati agar tidak berkecimpung di dunia politik. Nasihat itu dijawab lugas bahwa dirinya tidak akan meninggalkan gerakan politik karena rakyat yang lemah dan takut itu diam saja ketika ditindas dan diisap. Melihat penderitaan rakyat, dirinya akan terus memobilisasi rakyat dan menolong mereka seperti seharusnya.
Sejak itulah seluruh gerak-geriknya diawasi. Dua orang polisi membayang-bayangi kemanapun dia pergi. Jumlah polisi lebih banyak lagi jika Misbach sedang kedatangan tamu atau sedang punya acara.
Ketika aksi buruh makin meningkat, bukan sekadar pemogokan tetapi meningkat ke sabotase perjalanan kereta api, dan pengeboman beberapa ruang publik, kembali dirinya menjadi tertuduh.
Kendati tuduhan itu tidak pernah terbukti, Misbach tetap dihukum. Tanggal 27 Juni 1924, Pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan pembuangan Haji Misbach ke Manokwari di Nieuw Guinea Utara, Keresidenan Ambon. Istri dan tiga anaknya yang masing-masing berusia 13, 8, dan 6 tahun turut mendampinginya.
Pada bulan Juli 1925, istri Misbach meninggal dunia di Manokwari. Pada 24 Mei 1926, Misbach yang terserang malaria meninggal dunia. Aktivis Sarekat Rakyat Manokwari memakamkannya di pemakaman Penindi, Manokwari, berdampingan dengan makam istrinya.
Keselarasan Ajaran Islam dengan Ajaran?
Periode sesudah pembebasannya dari penjara Pekalongan sampai masa pembuangan ke Manokwari, Haji Misbach diingat sebagai seorang Muslim yang meyakini keselarasan ajaran Islam dengan ajaran komunis.
Tidak lama sesudah bebas dari penjara Pekalongan, Misbach memang berpisah dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Dia bergabung dengan SI Merah.
Dalam suatu rapat Partai Komunis Indonesia (PKI) di Bandung dan rapat SI Merah di Sukabumi pada awal Maret 1923, Misbach mengeritik HOS Tjokroaminoto secara terbuka. Kritik kerasnya itu membangkitkan kemarahan Ir Sukarno yang menganggap Misbach tidak fai