Oleh M. Anwar Djaelani,
pengurus DDII Jatim bidang Pemikiran Islam
Dewandakwahjatim.com – Perang pemikiran akan berlangsung abadi. Secara sederhana, satu pihak akan terus mendakwahkan yang haq dan kelompok lain tetap aktif mengajak kepada yang bathil.
Di internal agama Islam, perang pemikiran itu juga terjadi. Pertarungan itu, antara yang berusaha setia kepada ajaran Islam sesuai sunnah Nabi Muhammad Saw dengan yang mengusung gagasan liberalisasi pemikiran Islam.
Ide liberalisasi pemikiran Islam telah berlangsung lama. Lewat ajaran pokok bernama relativisme, disebarkanlah gagasan tentang nisbinya pemahaman keagamaan seseorang sehingga klaim kebenaran harus dijauhi.
Dari relativime, lahir antara lain pluralisme agama yang memandang bahwa semua agama itu sama benar. Bahwa terdapat beragam agama yang berbeda itu sekadar berbeda jalan menuju Tuhan yang sama, kata mereka.
Di masalah ini, meski telah belasan tahun lalu-yaitu pada 2005-Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwa haram pluralisme agama, kajian tentang hal ini perlu kita terus ulang-ulang. Memang, perlu diulang-ulang, sebab inti dari paham itu akan terus dikampanyekan dengan istilah-istilah lain yang terlihat baru.
Tentang Relativisme
Apa relativisme? Dalam diskursus pemikiran keislaman, relativisme adalah tema penting dan mendasar. Relativisme menurut Hamid Fahmy Zarkasyi adalah ajaran yang berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu adalah relatif, tergantung kepada pendirian subjek yang menentukan.
Apa akibat relativisme terhadap orang yang beragama? Mereka yang tak berakidah kuat akan menjadi tak yakin akan agamanya. Mereka permisif, individualistis, dan-terutama-tak peduli untuk memberantas kemunkaran. Maka, setidaknya, muncul dua fenomena yang bisa dihasilkan oleh relativisme.
Pertama, akan ada orang/kelompok yang merasa mendapat pembenaran untuk secara mudah menafsiri ajaran agamanya sekalipun dia tak mempunyai kecakapan yang memadai untuk itu. Pada bagian ini, kemunculan aliran sesat menjadi sangat berpeluang.
Kedua, masyarakat di sekitar munculnya aliran sesat itu akan tak peduli sekalipun di lingkungan terdekatnya bermunculan praktik kemunkaran. Alasannya, itu urusan yang sangat pribadi dan yang mereka lakukan adalah memanfaatkan hak yang dipunyainya dalam memahami serta menafsiri agamanya.
Relativisme tak hanya dirasakan membahayakan aqidah umat Islam, tapi bisa menjadi musuh semua agama. Sebab, sikap keragu-raguan atas kebenaran agama yang dipeluk seseorang bisa menghinggapi semua pemeluk agama dikarenakan relativisme.
Perihal Pluralisme
Pluralisme agama adalah bagian dari relativisme. Apa pluralisme agama? Kata Dr. Anis Malik Thoha, makna pluralisme agama sekarang bergeser menjadi paham yang menyatakan bahwa “Semua agama adalah merupakan ‘manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu’. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain”.
Sementara, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara lebih lugas menjelaskan: Pluralisme agama adalah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Atas fakta munkar itu, lewat fatwanya pada 2005, MUI memberikan Ketentuan Hukum: Bahwa, paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran agama Islam dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut.
MUI mendasarkan fatwanya kepada beberapa ayat dan hadits. Berikut ini sebagian dari ayat yang dimaksud: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali ‘Imraan [3]: 85). “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali ‘Imraan [3]: 85). “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku” (QS Al-Kaafiruun [109]: 6).
Sebagaimana induknya, pluralisme agama sama bahayanya bagi seorang Muslim karena berpandangan bahwa semua agama itu benar. Kata penganut pluralisme agama, agama orang lain yang berbeda itu sekadar beda cara saja dalam mendekati Tuhan yang sama.
Duhai Ulama!
Relativisme dan pluralisme menohok keberadaan ulama sebagai pewaris para Nabi. Ulama yang seharusnya berada di posisi terhormat menjadi terdeligitimasi. Sebab, dengan beranggapan bahwa kebenaran itu relatif dan semua agama sama benar, maka tak perlu bimbingan keislaman dari seseorang yang dianggap punya otoritas untuk itu, yaitu ulama.
Menghadapi serbuan virus relativisme dan pluralisme agama, ulama harus “lebih kuat”. Pertama, pegang erat peran sebagai pewaris para Nabi dengan terus istiqomah berdakwah beramar ma’ruf nahi munkar. Kedua, secara internal, bentengi aqidah umat Islam dari kemungkinan terkotori oleh virus relativisme dan pluralisme. Ketiga, secara eksternal, harus aktif membendung relativisme lewat berbagai cara, misal lewat pengajian, penulisan artikel di media, penulisan buku, dan lain-lain. Intinya, para ulama diharapkan terlibat aktif mewarnai berbagai arena pertarungan pemikiran.
Kesemua usaha itu terarah kepada pengembalian peran ulama sebagai pewaris para Nabi. Oleh karena kebenaran itu adalah dari Allah, maka para ulama tak boleh sekali-kali ragu-ragu dalam berjuang. Terakhir, ulama hendaknya menjadikan perjuangan menanggulangi virus relativisme dan pluralisme sebagai salah satu prioritas utama gerakan dakwah. []