Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ketua Umum DDII Pusat
Dewandakwahjatim.com – Selama dua hari (Jumat-Sabtu, 8-9 Oktober 2021), saya melakukan kunjungan ke provinsi Riau. Ada sejumlah acara penting dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) provinsi Riau yang saya hadiri. Jumat siang, saya diminta mengisi khutbah Jumat di Masjid al-Falah Pekanbaru. Setelah itu, saya menghadiri acara silaturrahim dan koordinasi dengan pengurus DDII Riau, baik provinsi maupun pengurus DDII beberapa kota/kabupaten.
Pada hari Sabtu, saya meresmikan pembukaan Akademi Dakwah Indonesia (ADI) yang di Pekanbaru. Siang harinya, saya diajak mengunjungi satu pondok pesantren dan mengisi tausiyah singkat kepada para santrinya. Malam harinya, saya mengisi ceramah singkat untuk para mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Universitas Abdurrab Pekanbaru.
Selama dua hari itu, saya juga berkesempatan berbincang dengan beberapa pimpinan senior DDII Provindi Riau, yang tak lain merupakan kader-kader terbaik dari Mohammad Natsir (Pak Natsir). Para tokoh itu mengaku bersyukur bahwa mereka telah menjalani proses perjuangan yang panjang dan mendapat sentuhan pembinaan langsung dari Pak Natsir.
Seorang tokoh yang telah berumur 66 tahun berkisah, bahwa pada tahun 1986, ia sudah berkesempatan bertemu dan berdialog langsung dengan Pak Natsir, baik di Jakarta atau di Riau. Ketika itu, ia menjadi ketua salah satu organisasi Islam di Suatera Barat. Saat berkunjung ke Padang, Pak Natsir memanggilnya. Padahal, Pak Natsir sedang disorot oleh pemerintah Orde Baru. Pak Natsir menyatakan, bahwa ia ingin berbicara dengan para mahasiswa.
Maka, sang tokoh itu pun langsung menyanggupi untuk mengundang para mahasiswa. Alhamdulillah, para mahasiswa sangat antusias. Mereka berdialog langsung dengan Pak Natsir, yang memang dikenal sebagai tokoh Islam nasional dan internasional. Menurutnya, ada dua hal penting yang disampaikan Pak Natsir. Yaitu, agar para mahasiswa itu memiliki semangat perjuangan dan istiqamah dalam perjuangan.
Setelah acara pertemuan Pak Natsir dengan para mahasiswa Sumatera Barat itu, sang tokoh itu pun dipanggil Walikota Padang dan juga Gubernur Sumatera Barat. Ia diberitahu oleh Gubernur bahwa ia mendapat telepon dari beberapa petinggi di Jakarta yang isinya teguran terhadap acara tersebut. Namun sang tokoh beralasan, bahwa sebagai mahasiswa, ia harus memanfaatkan kehadiran tokoh-tokoh besar untuk berdialog dengan para mahasiswa. Siapa pun tokoh itu. Akhirnya, Gubernur pun menerima alasan yang ia kemukakan.
“Begitulah Pak Natsir sangat peduli dengan bersemangat dengan berbagai kalangan, walaupun kondisi beliau baru selesai dioperasi,” ujar sang tokoh.
Begitulah, selama dua hari di Pekanbaru, saya berkesempatan menyaksikan langsung jejak-jejak perjuangan Mohammad Natsir yang kini menjelma menjadi sejumlah lembaga pendidikan, dakwah, ekonomi, dan sosial yang cukup membanggakan. Misalnya, Rumah Sakit Islam YARSI Riau, Universitas Islam Riau, dan sebagainya.
RS YARSI Riau kini menjadi salah satu RS yang cukup besar dan megah di Kota Pekanbaru. Ketika berdialog dengan para pimpinan RS ini, saya mendapat gambaran sejarah perjuangan yang luar biasa. Berawal dari sebuah klinik kecil, RS ini kemudian berkembang menjadi salah satu RS yang cukup besar dengan semangat dan cita-cita melakukan dakwah di bidang kesehatan.
Ketika mengunjungi pesantren al-Muslimun yang berlokasi di luar kota Pekanbaru, saya juga melihat langsung kegigihan perjuangan para kader Pak Natsir. Pesantren ini berlokasi di atas lahan sekitar 10 hektar. Umurnya sudah mencapai 25 tahun. Ada sekitar 600 santri yang menimba ilmu di pesantren ini. Saya mendapat cerita dari seorang perintisnya yang sudah berumur 78 tahun, bahwa awalnya, santri yang didatangkan di pondok ini jumlahnya tidak sampai 10 orang.
Para perintis pesantren ini adalah pejuang-pejuang Islam yang kenyang makan asam-garam perjuangan dalam bidang sosial-politik di Indonesia. Mengikuti jejak Pak Natsir dan kawan-kawan, mereka pun tidak meninggalkan perjuangan di lapangan pendidikan. Kegigihan dan pengorbanan yang mereka lakukan saat ini membuahkan hasil yang patut disyukuri.
Sabtu sore, saya diajak berkunjung ke Kampus UIR. Kampus yang berlokasi di Kota Pekanbaru ini tampak asri dan tertata rapi bangunan-bangunan dan pertamanannya. Kampus UIR sudah berumur 59 tahun. Kini, menempati lahan seluas 40 hektar. Sekarang, sudah disiapkan juga lahan tambahan seluas 50 hektar. Jumlah mahasiswanya sekitar 27 ribu orang. Mereka terdaftar di 9 fakultas.
Kepada beberapa pimpinan kampus, saya menyampaikan harapan, semoga kampus UIR akan lebih banyak melahirkan para sarjana-sarjana pejuang penegak kebenaran. Bisa dikatakan, kampus ini telah mencapai satu tahap penting, yakni mendapatkan pengakuan dan kepercayaan masyarakat. Di era disrupsi, sangatlah tepat jika kampus UIR lebih meningkatkan lagi pembinaan keimanan dan akhlak mulia kepada para mahasiswanya.
Di malam hari, saya sempat berdiskusi dengan pimpinan Yayasan dan Rektor Universitas Abdurrab Pekanbaru. Kampus Abdurrab sangat bersemangat untuk menerapkan konsep Islamisasi dan pendidikan adab. Konsep itu kini diterapkan di Fakultas Kedokteran. Para mahasiswa baru kedokteran ini dipesantrenkan selama dua pekan, diberikan pembinaan intensif secara pemikiran dan praktik-praktik ibadah.
Kepada para mahasiswa baru itu, saya menyampaikan pesan agar mereka lebih mengutamakan keikhlasan dan kesungguhan dalam mencari ilmu kedokteran, sehingga mereka akan menjadi dokter-dokter yang bermanfaat bagi masyarakat. Tujuan utama mencari ilmu adalah agar mereka mengenal Tuhan yang sebenarnya dan memahami tujuan hidup mereka. Belajar ilmu kedokteran sangat besar peluangnya untuk lebih mengenal Allah SWT, sebab mereka sedang mempelajari ayat-ayat Allah. Itulah makna sukses yang sebenarnya, dunia dan akhirat.
Demikianlah, selama dua hari di Provinsi Riau, saya mendapat kesempatan yang luar biasa untuk melihat dan mengenal langsung berbagai kemajuan dakwah di bumi Melayu ini. Kepada para tokoh di Riau saya sampaikan, insyaAllah, jika potensi-potensi dakwah ini dikembangkan lagi, maka Riau akan menjadi lokomotif kebangkitan peradaban di Indonesia. InsyaAllah! (Pekanbaru, 9 Oktober 2021).
Ed. Sudono Syueb