Santrinya Ada Berapa?

SANTRINYA BERAPA?

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat

Biasanya, pertanyaan yang lazim terdengar tentang kondisi sebuah pesantren adalah: “Berapa jumlah santrinya?”

Itu lazim di zaman ini. Citra atau gengsi sebuah pesantren – atau lembaga pendidikan lainnya – dengan mudah dibangun dengan gambaran: ‘berapa jumlah santri/murid’. Jumlah dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat. Jumlah banyak, dianggap banyak masyarakat percaya. Tapi, pada saat yang sama, semakin banyak murid, makin berat pula mendidik.

Dalam dunia bisnis, prestasi perusahaan bisa diukur dari omset penjualan. Tapi, dunia pendidikan punya rumus sendiri dalam menentukan prestasi. Jumlah murid atau santri bukan hal utama. Kualitas lulusan lebih diutamakan. Syukur-syukur banyak jumlah dan berkualitas pula.

Tujuan pendidikan nasional pun jelas: membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. (UUD 1945 pasal 31). Pondok Pesantren adalah lembaga yang paling strategis untuk mewujudkan rumusan UUD 1945 tentang tujuan pendidikan itu. Sebab, sejak awal – di lingkungan ashabus-shuffah di masjid Nabawi — pesantren memang dirancang untuk menanamkan iman, taqwa, akhlak mulia. Di sini pula ditekankan penguasaan ilmu.
Setidaknya ada enam ciri utama lembaga pendidikan layak dikategorikan sebagai ‘pesantren’. Pertama, ada penanaman adab. Kedua, ada pendalaman ulumuddin. Ketiga, ada penanaman jiwa dakwah. Keempat, ada pemahaman tantangan pemikiran kontemporer. Kelima, ada penyiapan kemandirian. Keenam, ada keteladanan kyai.
Menanamkan adab (inculcation of adab) bukan pekerjaan mudah. Perlu ketekunan, keteladanan, keikhlasan, dan kesungguhan. Pesantren, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya — bukan pabrik roti. Dengan proses tertentu dan waktu tertentu, akan keluar produksi roti dalam jumlah dan kualitas tertentu. Santri bukan ‘pelanggan’ (customer) yang bisa mendiktekan kemauannya kepada pesantren.

Penanaman adab itulah inti pendidikan. Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, adab bersumber dari hikmah; bukan dari universitas atau dari ilmu pengetahuan. Hikmah adalah kebijakan Ilahi yang diberikan Allah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, seperti para Nabi, Lukman al-Hakim, dan sebagainya.
Maka, semakin banyak santri sejatinya semakin berat proses penanaman itu berlangsung. Perlu kerja keras dalam proses ‘penanaman’ nilai-nilai kebaikan atau adab tersebut. Para guru harus berusaha meraih hikmah, agar dapat menanamkan adab kepada para santri atau murid-muridnya.


Kabarnya, Prof. Syed Naquib al-Attas pernah ditanya, mengapa mahasiswa ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) jumlahnya sangat sedikit. Padahal, bangunan kampusnya begitu megah, mewah, dan indah. Prof. al-Attas menjawab, “Saya ingin melahirkan anak singa, bukan anak babi.”

Saya sangat terpesona saat memasuki kampus ISTAC (lama) di Bukit Damansara, Kuala Lumpur, tahun 2002. Ketika memulai kuliah di tahun 2003, saya memulai kuliah dengan jumlah mahasiswa maksimal sekitar 10 orang saja. Bahkan ada kelas yang mahasiswanya 1 sampai 5 orang. Dalam mata kuliah “Islam and The West: Conflict or Dialogue”, jumlah mahasiswanya hanya 1 orag. Dan itu saya sendiri. Dosennya, seorang ilmuwan dan diplomat senior asal Sudan, Prof. Dr. Mudathir Abdul-Rahim.

Di kelas bahasa Arab tingkat advance, hanya 4 mahasiswa yang harus mengambilnya, di angkatan saya. Dalam kelas mata kuliah bahasa Latin, selama 3 semester, mahasiswanya hanya dua orang: saya dengan Dr. Nirwan Syafrin. Dosennya, Prof. Dr. Paul Letinc dari Belanda.

Dalam perspektif bisnis, tentu model pendidikan seperti di ISTAC itu merupakan proyek rugi. Bahkan ada yang menyatakan, itu proyek buang-buang uang. Apalagi, kampus itu dibiayai oleh pemerintah Malaysia. Sebagai wakil direktur ISTAC, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud berargumen, bahwa itulah bantuan penting yang diberikan oleh pemerintah Malaysia untuk kemajuan dunia Islam.
Menurut Prof. Wan Mohd Nor, Prof. Naquib al-Attas tidak membeda-bedakan asal negara mahasiswa. Siapa saja yang dianggap layak dan sungguh-sungguh untuk mencari ilmu secara beradab, akan diberikan kesempatan. Bahkan, yang belum bisa berbahasa Inggris dengan baik, diberikan kesempatan untuk kursus bahasa Inggris di lembaga lain, dengan biaya dari ISTAC.
Tentu saja, saya sangat bersyukur pernah belajar di ISTAC (2003-2009), meskipun Prof. Naquib al-Attas sudah tidak berada di ISTAC lagi ketika itu. Saya masih sempat mengikuti beberapa kuliah beliau di berbagai forum. Bahkan, pernah diajak oleh Prof. Wan Mohd Nor untuk berkunjung ke rumah beliau dan juga makan bersama beliau di CASIS-UTM, pada suatu saat di tahun 2014.

Ketika duduk di bangku Madrasah Diniyah (1971-1977), saya juga menjalani pendidikan dengan beberapa murid saja. Bahkan, di kelas 4-6, saya laki-laki sendiri. Gurunya, Haji Bisri, seorang pendidik yang sangat gigih. Seharian kerjanya hanya mengajar. Istrinya yang bekerja mencari nafkah dengan berjualan di sebuah toko bahan-bahan pokok.
Di Pesantren al-Rosyid Kendal Bojonegoro (1981-1984), saya belajar sejumlah kitab – seperti Kitab Fathul Muin – hanya bersama empat santri dari sekitar 80 santri. Kami mendatangi rumah Kyai Hanbali yang jaraknya sekitar 3 km dari Pesantren. Bukan kyai yang datang kepada kami. Dalam model pendidikan seperti ini, bukan hanya ilmu yang didapat, tetapi lebih penting adalah keteladanan kyai dalam adab atau akhlak mulia.
Jadi, logika pendidikan memang berbeda dengan logika bisnis. Idealnya, pendidikan dibiayai oleh negara atau wakaf/infaq masyarakat. Itulah yang terjadi dengan Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Wakaf yang dimiliki al-Azhar mampu memberikan pendidikan gratis kepada para mahasiswa.
Lalu, apakah salah jika murid atau santri membayar pendidikannya? Tentu saja, tidak salah. Itu juga suatu amal sholeh yang sangat besar pahalanya. Bahkan, para murid atau wali murid yang haus untuk meraih ilmu yang bermanfaat, akan memberikan dukungan semaksimal mungkin dalam berbagai bentuk, termasuk dukungan infaq pendidikan.

Sebab, pahala itu akan menguntungkan dirinya di akhirat.
Dalam kondisi lembaga pendidikan Islam harus berjuang menghidupi dirinya sendiri, maka perlu diterapkan sistem pembiayaan yang adil. Semua pihak perlu menerapkan filosofi jihad fi-sabilillah dalam pendidikan, sehingga Allah berhak menolong kita semua. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 2 Oktober 2021).

Editor: Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *