HILANGNYA “TUJUH KATA”: APAKAH TOKOH ISLAM “KALAH” ATAU “MENGALAH”

HILANGNYA “TUJUH KATA”: APAKAH TOKOH ISLAM “KALAH” ATAU “MENGALAH”

Oleh: Dr. Adian Husaini
Ketua Umum DDII Pusat

Pada 18 Agustus 1945, ada satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu dikenal sebagai “hilangnya Tujuh Kata” dari Pembukaan UUD 1945, yang asalnya merupakan naskah Piagam Jakarta. Banyak yang menyesalkan hilangnya “Tujuh Kata” hasil kesepakatan para tokoh bangsa di BPUPK. Tujuh kata itu ialah: (Ketuhanan), dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Dalam buku “Pancasila: Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”, saya telah menguraikan cukup jelas kisah penghapusan “tujuh kata” tersebut. Tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam perundingan dengan Bung Hatta pada 18 Agustus 1945, akhirnya mau menerima penghapusan “Tujuh Kata” itu untuk menyelamatkan Proklamasi Kemerdekaan dan keutuhan NKRI yang baru merdeka.
Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menceritakan tekanan untuk mengubah Piagam Jakarta: “… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Seperti dimaklumi, rumusan sila pertama kemudian menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Meskipun penerapan syariat Islam tidak disebutkan lagi, tokoh-tokoh Islam kemudian memperjelas makna sila pertama itu sebagai “Tauhid” dalam ajaran Islam. Itu ditegaskan oleh banyak tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan juga diputuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo, tahun 1983.

Jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa dimaknai sebagai konsep Tauhid Islam, sebagaimana dipahami oleh para tokoh Muslim, maka ini artinya, negara berkewajiban memperkuat iman dan taqwa umat Islam. Inilah yang kemudian ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3 tentang tujuan pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.
Konsep Tauhid Islam berpijak di atas prinsip ”Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasuulullah” (Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah. Bukan Tuhan yang lain. Hanya Allah semata.
Tauhid artinya Tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang Maha Kuasa sebagai satu-satunya Tuhan. Orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, disebut orang musyrik. Dan syirik adalah tindakan zalim yang sangat besar. (QS 31:13).
”Memang aniaya besarlah orang kepada dirinya kalau dia mengakui ada lagi Tuhan selain Allah, padahal selain Allah itu adalah alam belaka. Dia aniaya atas dirinya sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan jiwanya dari segala sesuatu, selain Allah,” tulis Prof. Hamka dalam tafsir Al Azhar.
Konsep Tauhid Islam juga tidak bisa dipisahkan dengan pengakuan akan kenabian Muhammad saw. Padahal, dalam konsepsi Tauhid Islam, setelah diutusnya Muhammad saw, tidak mungkin seorang dapat mengenal Allah dan dapat mengetahui cara beribadah kepada Allah dengan benar, kecuali melalui nabi-Nya tersebut. Karena itu, Imam al-Ghazali dalam Fashlut Tafriqah menegaskan: ”Saya perlu menegaskan bahwa kufur itu adalah mendustakan Rasulullah saw dalam segala ajaran yang beliau bawa. Sedangkan iman adalah membenarkan (tashdiq) kepada seluruh ajaran yang beliau sampaikan.” (Lihat, Imam al-Ghazali, Tauhidullah: Risalah Suci Hujjatul Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998).
Sebagai implementasi dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bukan hanya paham “kebebasan beragama” yang diakui, tetapi juga negara berkewajiban melindungi ajaran-ajaran agama, sebagaimana diamanahkan dalam UU No 1/PNPS/1965, tentang Penodaan Agama. Jadi, negara tidak sepatutnya menyamakan kedudukan atau membiarkan perkembangan ajaran-ajaran yang menodai agama Islam, seperti aliran Ahmadiyah atau Baha’iyah.


Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sama kedudukannya dengan sila-sila lainnya. Tahun 1976, pemerintah RI membentuk Panitia Lima yang menerbitkan buku Uraian Pancasila. Anggota Panitia Lima ialah: Mohammad Hatta, Prof. H.A. Subardjo Djoyoadisuryo SH, Mr. Alex Andries Maramis, Prof. Sunario SH, dan Prof. Abdoel Gafar Pringgodigdo SH.

Dalam uraiannya tentang kedudukan sila pertama, Panitia Lima merumuskan: ”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktik hidup dari dasar yang memimpin tadi.
Dalam susunan sekarang ini dasar kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul, berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya tak dapat terpisah dari itu, sebab ia harus dipandang sebagai kelanjutan dalam praktik daripada cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dasar-dasar ini sebagai pedoman, pada hakekatnya, pemerintah negara kita tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia dan persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, ada senantiasa terasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar. Akibat daripada urutan yang lima pasal itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah dengan perubahan kata-kata, politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya.” (Lihat, Dr. Muhammad Hatta, Pengertian Pancasila, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, cetakan keempat).

Jadi, menurut rumusan Tim Lima pimpinan Bung Harta tersebut: ”Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik…” Juga, ditegaskan: ”Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya sekedar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan dan lainnya. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya.”
Seorang penulis Kristen, I.J. Satyabudi, dalam bukunya Kontroversi Nama Allah, memiliki cara pandang tersendiri tentang perumusan sila pertama Pancasila. Ia menulis: “Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”! Kata Maha Esa itu memang harus berarti Satu.

Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun Sila Pertama ini.” (I.J. Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Tangerang: Wacana Press, 2004).
Jadi, dalam soal “Tujuh Kata” itu para tokoh Islam “kalah” atau “mengalah”? Silakan disimpulkan sendiri. (Depok, 17 Agustus 2021).

Editor’ Sudono Syueb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *