Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
dewandakwahjatim.com – Haji Agus Salim adalah tokoh hebat dan unik. Beliau dikenal sebagai cendekiawan hebat, ulama, diplomat ulung, dan juga guru sejati. Mohammad Natsir mengakui ia banyak menerima didikan langsung dalam soal keislaman, politik, dan kepemimpinan dari Haji Agus Salim.
Buya Hamka menceritakan, dalam buku 100 Tahun Haji Agus Salim, bahwa Haji Agus Salim-lah yang menyuruhnya segera balik ke Indonesia. Padahal, Hamka baru beberapa bulan tinggal di Mekkah. Ketika itu, tahun 1927, Hamka melarikan diri dari kampung halamannya, dan pergi ke Makkah untuk menetap di sana.
Hamka sempat tinggal beberapa bulan di Makkah, dan bermaksud tinggal lebih lama. Dalam buku Kenang-Kenangan Hidup, Hamka berkisah, bahwa Haji Agus Salim menyarankannya agar segera pulang ke tanah air. Sebab, di tanah air banyak pekerjaan penting berhubungan dengan pergerakan, studi dan perjuangan. Ketika itu, Haji Agus Salim sedang bertugas sebagai pegawai konsul Belanda di Jeddah.
Juga, dinasehatkan agar Hamka mengembangkan diri di tanah air. Beberapa puluh tahun kemudian, Hamka membenarkan dan berterimakasih atas nasehat Haji Agus Salim itu. Hamka memang kemudian belajar agama Islam kepada guru-guru terbaik, seperti Ki Bagus Hadikusumo, HOS Tjokroaminoto, Buya AR Sutan Mansur, dan sebagainya. Ia pun langsung terjun dalam dakwah di tengah masyarakat, sejak usia muda.
Dua cerita itu menunjukkan bahwa Haji Agus Salim adalah seorang guru sejati. Dalam buku “Manusia dalam Kemelut Sejarah” (LP3ES, 1994), Mr. Mohammad Roem, seorang tokoh Islam dan juga diplomat ulung, menulis satu artikel menarik tentang Haji Agus Salim dengan judul: “Memimpin Adalah Menderita: “Kesaksian Haji Agus Salim.” Bahasa Belandanya: “leiden is lijden.”
Pak Roem berkisah, bahwa ia mula-mula datang ke rumah Haji Agus Salim diajak oleh Kasman Singodimedjo. Ia banyak belajar tentang Islam dari Haji Agus Salim. Menurut kesaksian Pak Roem, Haji Agus Salim berkali-kali pindah kontrakan rumah. Hidupnya sangat sederhana. Padahal, ia sudah dikenal sebagai tokoh yang dihormati.
Sebagai anak muda yang baru aktif kuliah, Mohammad Roem berkisah tentang pelajaran yang diberikan Haji Agus Salim: “Pelajaran diberikan dalam bahasa Belanda yang baik dan jelas oleh orang yang mampu, tidak saja mengambil intisari agama, tetapi juga memberi inspirasi kepada golongan muda akan tugasnya di hari kemudian. Inilah selamanya yang menjadi pelajaran-pelajaran Haji Agus Salim. Tidak saja kami menyadari dari pelajaran-pelajarannya, tetapi semakin lama, kami semakin mengenal Haji Agus Salim, jelas kami melihat bahwa seluruh kehidupannya – termasuk kehidupan keluarganya – ditumpahkan kepada tugas-tugas yang dia pikul sebagai pemimpin umat.”
Semakin lama, Mohammad Roem semakin mengenal dekat dengan Haji Agus Salim dan keluarganya, terutama anak-anaknya. Ia pun berulangkali berkunjung ke rumah tokoh yang satu ini, baik sebagai anggota Jong Islamieten Bond (JIB) atau sebagai kawan anak-anaknya. Setiap mendengar uraian Haji Agus Salim, kata Pak Roem, “Selalu terasa kenikmatan mendapat pelajaran dan petunjuk-petunjuk baru.”
Secara khusus, menarik menyimak pemaparan Mohammad Roem tentang pendidikan anak-anak Haji Agus Salim. Meskipun dididik dengan pendidikan Belanda yang tinggi, tetapi Haji Agus Salim justru mendidik sendiri seluruh anaknya di rumah. Anak-anaknya tidak disekolahkan. Uniknya, anak-anaknya dididik dengan bahasa Belanda.
Pak Roem berkisah, tahun 1926, saat berkunjung ke rumah Haji Agus Salim, ia menjumpai salah satu anaknya, Syauket (4 tahun) sudah berbicara dalam bahasa Belanda. Ternyata, sejak anak-anaknya dilahirkan, Haji Agus Salim berbicara dalam bahasa Belanda dengan mereka. Ketika itu, Haji Agus Salim dikaruniai enam anak.
“Haji Agus Salim menerangkan, bahwa ia sendiri sudah melalui jalan “berlumpur”, akibat pelajaran kolonial. Ia tidak tega anak-anaknya melalui jalan serupa dan akan memberi pelajaran sendiri kepada anak-anaknya. Di waktu itu bahasa Belanda tidak mungkin mendapat pelajaran yang wajar dalam masyarakat. Orang yang tidak tahu bahasa Belanda dianggap orang rendahan. Malah yang tidak tahu bahasa Belanda merasa rendah diri. Dalam golongan terpelajar, bahasa yang dipakai dalam hidup sehari-hari juga bahasa Belanda,” tulis Pak Roem.
Menurut Pak Roem, setiap orang yang berkunjung ke rumah Haji Agus Salim akan heran karena anak-anaknya yang masih kecil-kecil sudah lancar dan bagus berbahasa Belanda. Bukan hanya itu, mereka juga memiliki keinginan kuat untuk membaca buku-buku serius. “Tentu saja sebabnya adalah karena gurunya adalah Haji Agus Salim sendiri,” tulis Mohammad Roem.
Suatu saat, Pak Roem mendekati anak Haji Agus Salim bernama Totok (13 tahun), yang sedang membaca buku Mahabharata dalam bahasa Belanda. Itu bacaan yang dibaca oleh anak-anak SMA Belanda (AMS) atau bahkan lebih. Anak-anak Haji Agus Salim juga hafal banyak sajak dan lagu-lagu dalam bahasa Belanda dan Jerman. Bukan hanya itu, anak-anak itu juga ditanamkan rasa percaya diri sebagai orang Indonesia dan tidak merasa rendah diri menghadapi bangsa Barat. Setelah Indonesia merdeka, anak bungsu Haji Agus Salim disekolahkan ke sekolah rakyat.
Menurut Mohammad Roem, Haji Agus Salim mempunyai sikap yang sama dengan Ki Hajar Dewantara, Kyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain dalam memandang pendidikan bentukan kolonial. “Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda mempunyai maksud mencetak tenaga-tenaga yang diperlukan masyarakat yang dikuasai Belanda. Masyarakat kolonial memerlukan karyawan kasar, rendah, menengah, dan atas, sampai insinyur. Juga juru tulis, dan birokrat yang bekerja di kantor, di bawah pimpinan Belanda. Kecuali kecakapan teknis, mereka itu dibekali dengan mentalitas untuk dapat menjalankan tujuan pemerintah kolonial,” tulis Mohammad Roem.
Pandangan, sikap, dan praktik pendidikan Haji Agus Salim ini tentu bisa kita kaji dengan cermat. Secara umum, Haji Agus Salim memberikan keteladanan yang luar biasa dalam pendidikan keluarga dan juga kesederhanaan hidup sebagai pemimpin. Haji Agus Salim bukan anti-sekolah. Terbukti, anak bungsunya nantinya dimasukkan ke sekolah rakyat.
Dengan ilmu dan pengalamannya, Haji Agus Salim memiliki kepercayaan diri yang besar untuk mendidik anak-anaknya sendiri di rumah. Ia berhasil menanamkan disiplin diri dan sikap cinta ilmu kepada anak-anaknya. Juga, sikap percaya diri sebagai orang muslim dan bangsa Indonesia yang tidak rela dipandang rendah oleh bangsa Barat.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah hidup Haji Agus Salim ini. (Depok, 14 Agustus 2021)
Editor: Sudono Syueb